Perempuan Menuntut DPR Menghentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja dan Melakukan Pengawasan Kebijakan Penanganan Penyebaran COVID 19

Penyataan Sikap Solidaritas Perempuan

Di tengah pandemi COVID-19 yang per 2 April 2020 telah menewaskan 45,693 orang di seluruh dunia dan 181 orang di Indonesia,[1] anggota DPR RI tetap bersikeras melakukan sidang Paripurna dan menyerahkan RUU Cipta Kerja ke Badan Legislasi (Baleg). Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ahmad Baidowi mengatakan akan segara membentuk panitia kerja (Panja) untuk membahas RUU ini.[2] Tetap berlangsungnya pembahasan RUU Cipta Kerja ini, merupakan bentuk tiadanya simpati wakil rakyat dan pengabaian hak partisipasi masyarakat. Hal ini dikarenakan pembahasan tetap berjalan,  saat diterapkannya pembatasan sosial berskala besar dengan disertai pemberian kewenangan kepada Kepolisian untuk implementasinya. Sehingga masyarakat, khususnya masyarakat yang berpotensi terdampak akan sulit untuk memantau dan mengkritisi prosesnya, langsung maupun secara virtual. Selain itu, tetap berjalannya pembahasan RUU ini juga menunjukkan DPR memanfaatkan wabah COVID-19 untuk mempercepat proses pembahasan dan perumusan berbagai kebijakan yang selama ini mendapat penolakan dari masyarakat sipil, di antaranya RUU Cipta Kerja, RUU Minerba dan Revisi KUHP. Inter Parliamentary Union telah mengingatkan bahwa situasi krisis seringkali menggoda parlemen untuk mengambil jalan pintas dan mengabaikan proses demokrasi atas nama kedaruratan. Nampaknya peringatan ini diabaikan oleh DPR hingga terus melaju hanya untuk mengabdi pada kepentingan investasi.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang pertama kali disebut Jokowi di Pidato pelatikannya sebagai presiden 2019-2023, secara total RUU Cipta Kerja ini telah menyelaraskan 79 UU dan 1.203 pasal, dan terdiri dari 15 Bab dan 174 Pasal. Dalam perjalannya RUU ini mengalami berbagai penolakan dari masyarakat, karena memberikan segala kemudahan untuk pengusaha, dengan menghilangkan segala bentuk kebijakan yang menghambat investasi, serta berpotensi melanggar HAM, terutama hak azasi perempuan yang selama ini sudah mengalami ketidakadilan gender akibat budaya patriarki. 

RUU Cipta Kerja ini sudah bermasalah sedari awal, pada saat pembentukannya tidak adanya informasi yang jelas dan lengkap mengenai RUU ini, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Berbagai persoalan dari RUU ini, antara lain:

Pertama, Berpotensi Menghancurkan Lingkungan Hidup dan Sumber Kehidupan Perempuan, dengan tidak menjadikan AMDAL sebagai kewajiban. Padahal, AMDAL menjadi satu-satunya instrumen yang membuka ruang bagi masyarakat untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, termasuk lingkungan yang sehat. Termasuk di dalamnya memuat kewajiban perusahaan untuk melakukan konsultasi dengan masyarakat terdampak, serta membuka ruang untuk masukan bahkan keberatan masyarakat terhadap proyek masuk ke wilayah kehidupan mereka. Bila selama ini saja AMDAL masih dianggap belum bisa menjamin serta melindungi hak perempuan atas lingkungan dan sumber daya alam, maka dengan tidak diwajibkannya AMDAL untuk kegiatan industri yang beresiko berdampak pada lingkungan hidup, membuat perempuan semakin kehilangan akses dan kontrolnya atas lingkungan dan sumber daya alam.

Kedua, Mengancam Kedaulatan Perempuan atas Tanah dan Pangan. Saat ini saja sudah terjadi ketimpangan kepemilikan antara masyarakat dengan investor. Ketimpangan kepemilikan tanah juga terjadi antara perempuan dan laki-laki, di mana penelitian Solidaritas Perempuan 2019, menunjukkan bahwa dalam tanah milik bersama, hanya 24,2% bukti kepemilikan yang atas nama perempuan, paling banyak tanah bersama bukti kepemilikannya atas nama suami[3]. Selain itu dengan semakin mudahnya investor mendapatkan tanah /lahan otomatis akan meningkatkan konflik agraria, karena lahan-lahan yang disiapkan oleh pemerintah ini, sudah dapat dipastikan adalah lahan-lahan yang sudah ditempati dan dikelola oleh masyarakat. Proses pembebasan lahan, dan penggusuran masyarakat atas nama kepentingan umum, pembangunan infrastruktur dipastikan akan semakin massif terjadi. Dalam situasi ini perempuan kerap kali mengalami tindak kekerasan dan intimidasi dari aparat atau pihak saat melakukan proses pengambilalihan tanah. Data Solidaritas Perempuan 2019, memperlihatkan bahwa 68% perempuan mengalami intimidasi dan tindak kekerasan.

Ketiga, Pengabaian terhadap Hak Buruh dan Eksploitasi Perempuan Buruh/Pekerja, Omnibus Law RUU Cipta Kerja dikesankan oleh Pemerintah untuk kepentingan membuka lapangan pekerjaan.[4] Tapi faktanya yang diakomodir adalah kepentungan pengusaha dengan fleksibilitas tenaga kerja yang menggambarkan kemudahan dalam melakukan rekrutmen maupun pemutusan hubungan kerja. Antara lain status kontrak tanpa batas, penghapusan perlindungan upah dan PHK, serta pemotongan jumlah pesangon. Lebih buruk bahkan pada RUU Cipta Kerja ini tidak dikenal cuti karena haid[5] atau keguguran[6] karena hanya menyebutkan cuti tahunan dan cuti panjang lainnya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Tentu ini sebuah langkah mundur karena tidak menjadi sebuah kewajiban bagi pengusaha.

Keempat, Menyingkirkan Perempuan dan Memperkuat Ketidakadilan Gender, karena di dalam RUU ini,  Negara secara sengaja meninggalkan kelompok perempuan. Penyebutan perempuan hanya ditemukan pada Pasal 153 ayat (1) huruf e.[7] Ketentuan mengenai larangan PHK bagi pekerja/buruh perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan ataupun menyusui sudah menjadi bagian dari regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Sebaliknya, Integrasi prinsip keadilan gender yang dibutuhkan tidak ada di dalam pasal-pasalnya. Tidak ada pasal yang menjamin dan memastikan akses perempuan terkait informasi dan partisipasi penuh di dalam menentukan wilayah kelola mereka selama ini dijadikan sebagai lahan untuk investasi.

Selain itu, Proses pembentukan RUU Cipta Lapangan Kerja yang tidak pertisipatif semenjak awal, bahkan saat ini dilakukan dengan memafaatkan situsi pandemi Covid-19, tidak hanya melanggar prinsip pembentukkan perundang-undangan, tetapi juga bentuk pemberangusan Demokrasi dan ruang partisipasi publik.

Dengan berbagai persoalan hari ini, DPR seharusnya tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Wabah atau pandemi Covid-19 ini tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan masyarakat, tetapi memiliki dampak di berbagai aspek, di mana perempuan mengalami dampak yang berlapis. Perempuan, yang seringkali dilekatkan pada peran di ranah domestik, di antaranya bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarga, termasuk pangan. Hal ini menempatkan perempuan menjadi rentan terhadap penyebaran COVID 19 melalui interaksi sosial secara langsung.[8] DPR dan pemerintah seharusnya menjalankan fungsinya untuk memastikan keselamatan dan hak-hak rakyat. Untuk itu, Solidaritas Perempuan mendesak DPR RI untuk :

  1. Menunda fungsi legislasi dengan menghentikan pembahasan kebijakan yang tidak terkait langsung dengan penanganan pandemi COVID-19, diantaranya RUU Cipta Kerja, RUU Minerba, RUU Pertanahan, dan revisi KUHP.
  2. Memprioritaskan perumusan kebijakan dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah untuk melakukan penanganan penyebaran COVID 19 yang cepat dan efektif terkait menyediakan fasilitas layanan kesehatan baik fisik maupun psikologis, untuk membantu kelompok paling rentan, seperti lansia, anak-anak, perempuan hamil dan menyusui, serta perempuan pekerja informal, dan perempuan pekerja migran di luar negeri.
  3. Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintah dalam melakukan penanganan pandemi Covid19 yang yang komprehensif dengan berorientasi pada pemenuhan hak dasar masyarakat. Termasuk mengenai jaminan kesejahteraan mereka, saat situasi darurat, maupun pasca situasi darurat, seperti memastikan ketersediaan dan kestabilan harga pangan, akses terhadap air dan sanitasi, memastikan perekonomian masyarakat menengah ke bawah tetap bergerak, seperti UKM atau pekerja di sektor informal yang terdampak dengan adanya kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID 19, serta memberikan bantuan sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk dapat hidup layak.

 

Jakarta, 3 April 2020,

  

Dinda Nuurannisa Yura
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

 

[1] https://www.covid19.go.id/
[2] https://news.detik.com/berita/d-4962721/tok-anggota-dpr-sepakat-ruu-omnibus-law-ciptaker-dibawa-ke-baleg
[3] Data Hasil Riset Aksi Partisipatif Berperspektif Feminis (FPAR) di Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah dengan total 592 responden di 9 desa.
[4] https://www.medcom.id/ekonomi/makro/yNLGML1K-bocoran-ruu-law-cipta-lapangan-kerja
[5] Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pada Pasal 93 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan. Pengusaha juga wajib membayar upah jika pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.  
[6] Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. 
[7] Pasal ini mengatur mengenai larangan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja/buruh perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
[8] Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan: Gagapnya Negara dalam Penanganan Covid-19, Bencana bagi Perempuan dapat diunduh di: http://www.solidaritasperempuan.org/gagapnya-negara-dalam-penanganan-covid-19-bencana-bagi-perempuan/

Translate »