Perempuan Menuntut Hak Atas Air

Siaran Pers “Perempuan Menuntut Hak Atas Air”

Monday, 06 June 2011 23:16

Puluhan aktivis Solidaritas Perempuan melakukan aksi di depan kantor gubernur DKI Jakarta. Aksi ini merupakan aksi bersama dengan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta untuk mendesak Gubernur agar segera memutuskan kontrak kerja sama dengan operator air swasta dan segera mengembalikan pengelolaan air publik ke tangan negara. Aksi tersebut juga dilakukan dalam memperingati Hari Lingkungan yang jatuh pada 5 Juni 2011, serta 14 Tahun implementasi kontrak kerjasama pengelolaan air di Jakarta antara PAM Jaya dengan operator air swasta, yaitu PALYJA dan AETRA. Aksi tersebut dihadiri oleh puluhan perempuan dan laki-laki warga DKI Jakarta.

Di dalam aksi tersebut, Solidaritas Perempuan Jabotabek, menggelar aksi teatrikal dengan judul “Kembalikan Air Terakhirku”, yang menceritakan gambaran situasi perempuan dalam menghadari krisis air bersih di Jakarta, di kala air di tangan swasta. Di sela-sela aksi, 13 orang perwakilan dari tiap organisasi yang tergabung dalam Koalisi ini diterima masuk ke dalam untuk menyampaikan pernyataan sikap dan petisi kepada Gubernur DKI Jakarta. Namun, perwakilan tidak berhasil menemui Gubernur, hanya diterima oleh beberapa orang dari Biro Umum, Biro Sarana dan Prasarana Kota, dan Biro Perekonomian Setda DKI Jakarta. Koalisi Masyarakat ini mendesak Fauzi Bowo untuk segera memutuskan kontrak dengan PALYJA DAN AETRA, mengingat bahwa Pemprov sudah lama menanggung kerugian, karena PAM Jaya harus menanggung selisih antara tarif air yang ditentukan oleh pemerintah dan tagihan air yang ditagihkan oleh pihak swasta atas pelayanannya.

Tidak ada satu keuntungan pun dari adanya kerjasama dengan pihak swasta ini. “Kerugian yang ditanggung Pemprov bisa mencapai 22 trilyun rupiah”, ujar perwakilan dari Biro Sarana dan Prasarana Kota. “Sejak awal swastanisasi, baru satu kali pegawai PAM Jaya yang diperbantukan untuk Palyja mengalami kenaikan gaji pokok, dan sama sekali tidak ada transfer teknologi yang terjadi”, ungkap Masyukri, dari perwakilan Serikat Pekerja PDAM yang juga tergabung dalam Koalisi.

Selain itu, juga terungkap bahwa tidak ada perbaikan pelayanan ataupun pembangunan infrastruktur yang berarti selama pengelolaan air ini dipegang oleh pihak swasta. “Wah, beda sekali antara sekarang dengan waktu masih dipegang PAM Jaya. Waktu dipegang PAM Jaya, air tuh masih ngalir, sedangkan sejak dipegang swasta, air tuh mati terus di tempat saya. Kalaupun keluar, airnya merah atau bau, kita juga takut minumnya. Banyak kebocoran pipa yang membuat air tuh tercampur dengan air kotor.” Ungkap Ibu Encih, anggota Solidaritas Perempuan Jabotabek, yang juga merupakan warga kelurahan Rawa Badak, Tanjung Priok. “Tapi kita tetep aja musti bayar tiap bulan, sedangkan kita juga tetep harus beli air pikulan sebesar Rp. 25.000 per hari untuk menuhin kebutuhan masak, nyuci, minum, dll.” Lanjutnya dalam pertemuan dengan perwakilan Gubernur.

Sebahagian besar peserta aksi adalah perempuan, yang dengan semangat menyampaikan pengalaman dan pandangannya melalui orasi-orasi mereka. Hal ini karena memang perempuan lah yang sangat dekat dengan air. “Akibat peran gendernya dalam sistem masyarakat patriarkis, perempuan memperolah peran dan tanggung jawab produktif dan reproduktif dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam kesehariannya perempuan sangat dekat dengan air yang dipakai untuk kesehatan reproduksinya dan kegiatan dalam rumah tangga. Di berbagai kasus, tidak adanya akses air bersih telah mengakibatkan beban kerja perempuan bertambah, meningkatkan situasi kekerasan terhadap perempuan, bahkan terancamnya jiwa dan kesehatan reproduksi perempuan akibat sanitasi yang buruk.” Tegas Wardarina, Koordinator Program Solidaritas Perempuan. “Selain itu, privatisasi air mengakibatkan hilangnya fungsi penjamin kesejahteraan oleh Negara yang berdampak pada meningkatnya beban keluarga, khususnya perempuan, dan memperkuat ketidak adilan gender” lanjutnya,

“Swastanisasi air justru menghambat akses dan kontrol perempuan atas air bersih, padahal air merupakan hak asasi manusia yang seharusnya dijamin oleh negara, dan tidak dijadikan sebagai barang komoditas. Seharusnya pelayanan air untuk masyarakat dikembalikan kepada negara selaku lembaga publik,” ujar Nur Hidayah, Ketua Solidaritas Perempuan Jabotabek. “Setelah 14 tahun mengelola air di Jakarta, pihak swasta tidak mampu memberikan standar pelayanan yang layak. Justru terus merugikan masyarakat, terutama perempuan, dengan tingkat pembangunan prasarana air dan pelayanan yang rendah, namun menarik harga air yang tinggi,” tegasnya lagi.

Kontak Person :
Aliza Yuliana (email: aliza@solidaritasperempuan.org )
Nurhidayah (email: nh.dayah@gmail.com )

Translate »