Perempuan Menuntut Negara untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak Perempuan Buruh

Rilis Media Solidaritas Perempuan
Hari Buruh Internasional 2024

Setiap tanggal 1 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai hari buruh Internasional atau lebih dikenal dengan May Day. Bagi perempuan buruh, May Day merupakan momentum perlawanan untuk menyuarakan serta memperjuangkan ketidakadilan dan hak-haknya.

Situasi perempuan buruh di Indonesia sangat beragam dan kompleks akibat dari kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada perempuan buruh. Dengan disahkannya Undang-Undang No 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta kerja Undang-Undang ini membuka peluang kurangnya standar kerja layak dan perlindungan substantif untuk perempuan pekerja. Pengurangan perlindungan tersebut antara lain dalam bentuk penurunan standar perlindungan upah dan standar hidup layak dalam pengupahan, potensi jam kerja yang makin panjang, status kerja yang semakin fleksibel dengan skema upah satuan waktu dan/atau satuan hasil, diskriminasi terhadap pekerja disabilitas, dan potensi kemunduran perlindungan pada perempuan buruh di Indonesia. Undang-undang Ciptakerja juga mengakomodir kepentingan agenda politik ekonomi global, melalui proyek investasi, infrastruktur dan proyek energi di Indonesia. Akibatnya  banyak sumber-sumber pehidupan rakyat yang terampas oleh Negara, hingga perempuan buruh  terus mengalami penindasan dan pemiskinan sistematis.

Solidaritas Perempuan telah mendokumentasikan berbagai situasi perempuan yang terpaksa menjadi buruh di tanahnya sendiri seperti, perempuan  pesisir  Makassar harus kehilangan wilayah kelolanya karena  pembangunan  proyek reklamasi untuk pelabuhan Makassar New Port dan reklamasi CPI di Kota Makassar, akibatnya demi menyambung hidup serta memenuhi kebutuhan keluarga banyak perempuan yang memilih menjadi buruh di pelelangan ikan meski dengan upah yang minim.

Disisi Lain kebijakan investasi di pesisir teluk Bone Cungkeng Bandar Lampung telah menghancurkan ruang kelola perempuan nelayan   hingga akhir nya perempuan harus menjadi buruh perikanan di Pulau Pasaran Lampung dengan berbagai kerentanan yang dialami seperti kekerasan seksual dan diskriminasi upah.

“Berikan pengakuan,  Pelindungan jaminan  sosial, kesehatan  dan  asuransi untuk nelayan dan keluarga kami. Kami juga menolak segala bentuk penggusuran di Teluk Bone Cungkeng yang merugikan masyarakat pesisir.” ( Samsiah – Perempuan Buruh Perikanan Pulau Pasaran Lampung)

Ketimpangan penguasaan lahan oleh negara disektor perkebunan skala besar, telah mengakibatkan perampasan tanah dan konflik agraria yang berkepanjangan seperti yang dialami oleh perempuan dan masyarakat di 22 desa di Kabupaten Ogan Ilir dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII unit Cinta Manis. Selain itu perempuan petani di Takalar juga harus melakukan perjuangan panjang untuk merebut kembali kedaulatan mereka terhadap tanah yang dirampas oleh PTPN XIV. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hadir ditegah masyarakat telah berdampak terhadap perempuan petani di Ogan Ilir dan Takalar, mereka dipaksa menjadi buruh di tanahnya sendiri akibat pemiskinan strukural yang dialami.

“Saat ini saya sudah tidak bisa lagi menyekolahkan anak saya karena tanah saya yang menjadi sumber pendapatan dirampas oleh perusahaan. Kembalikan tanah kami, jangan lagi ada perpanjangan izin HGU PTPN XIV. Saya sebagai perempuan sangat menderita karena sudah tidak ada tanah, saya harus ke Makassar jadi Buruh tani bersama suami” (Daeng Lina, perempuan petani di Takalar. )

Proyek Strategis Nasional (PSN) food estate mengakibatkan perempuan di Desa mantangai hulu Kecamatan mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, terpaksa menjadi buruh tani di tanah mereka sendiri. Perempuan tidak pernah dilibatkan pada seluruh tahapan Pembangunan proyek mulai dari perencanaan sampai monitoring proyek. Padahal perempuan dayak di mantangai memiliki relasi holistik dalam mengelola hutan dan sumber daya alam secara tradisional dan kearifan lokal yang telah mereka yakini secara turun menurun.

“Ada program food estate saya tidak pernah mereka undang rapat, tidak pernah diberikan pengetahuan, sampai sekarang   tanah saya sudah digarap, pohon-pohon yang ada di atasnya sudah diratakan semua” (Ibu Dijah Perempuan petani di Desa Mantangai Hulu.)

Data Solidaritas Perempuan juga menunjukkan bahwa feminisasi migrasi timbul akibat dampak dari pola pembangunan industri ekstraktif dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan berbagai ketimpangan dan kerusakan ekologi. Feminisasi migrasi terus meluas di wilayah Indonesia, dengan berbagai situasi kerentanan yang dialami seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, pelanggaran hak kerja. Namun pemerintah masih lemah dalam mengimplementasikan kebijakan UUPMI No 18 tahun 20017 untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi perempuan buruh migran.

Situasi kekerasan dan ketidakadilan perempuan buruh migran semakin berlapis akibat kebijakan diskriminasi melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur tengah yang membawa perempuan dalam lingkaran eksploitasi dan human trafficking di seluruh tahapan migrasi.

“Kami menuntut pemerintah untuk memenuhi hak-hak buruh dan memberikan jaminan perlindungan hukum yang memadai agar kami dapat bekerja dengan bermartabat dan terhindar dari eksploitasi ditempat kerja.”  (Sugiarti– Perempuan buruh migran Lampung Timur)

Pada Hari Buruh Internasional Solidaritas Perempuan bersama perempuan buruh kembali menyuarakan kepada pemerintah pentingnya melindungi perempuan buruh di berbagai sektor, termasuk di dalamnya perempuan buruh migran, pekerja rumah tangga, buruh perkebunan kelapa sawit, buruh tani, serta buruh perikanan untuk:

  1. Mencabut  Undang  Undang  Cipta  Kerja  Nomor  6  tahun  2023  yang  merugikan  Buruh Perempuan
  2. Segera  implementasikan  secara  utuh  Undang-Undang  Nomor  18  Tahun  2017  Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
  3. Menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Kepmenaker 260 tahun 2015 yang berdampak terhadap eksploitasi Perempuan Buruh Migran.
  4. Segera   mengesahkan   Undang   Undang   Perlindungan   Pekerja   Rumah   Tangga   untuk mewujudkan perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga di dalam negeri dan di luar negeri
  5. Wujudkan kerja layak, upah layak hidup layak bagi perempuan buruh tani, buruh perikanan, buruh perkebunan, buruh migran dan pekerja rumah tangga

 

Narahubung   
Ega : 081288794813

Translate »