Perempuan Menuntut Reforma Agraria Adil Gender Tanpa Bank Dunia

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Dalam rangka Memperingati Hari Tani Nasional 2018
Untuk disiarkan segera
 

Jakarta, 24 September 2018

“Reforma Agraria Adil Gender tidak akan terwujud jika melibatkan Bank Dunia yang merupakan aktor perampasan tanah dan pelanggaran HAM.”

Jakarta, 24 September 2018, bertempat di depan istana Negara, Solidaritas Perempuan melakukan aksi untuk memperingati hari Tani Nasional, ikut hadir pula perempuan pejuang agraria dari Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan daerah pesisir Jakarta.

58 tahun sejak ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Cita-cita Reforma Agraria Sejati, untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, termasuk di dalamnya mencakup jaminan hak perempuan atas tanah, masih belum tercapai. Sebaliknya, pola pembangunan yang berorientasi pada modal mengakibatkan sebagian besar tanah di Indonesia dimiliki dan dikuasai oleh investor, baik untuk aktivitas pertambangan, infrastruktur, perkebunan skala besar, dan aktivitas sektor kehutanan, seperti Hutan Tanaman Industri (HTI). Masuknya investasi dan juga pembangunan infrastruktur ke wilayah kelola masyarakat, berdampak kepada terjadi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah.

Hal ini telah berlangsung semakin masif dalam beberapa dekade Indonesia, bahkan empat tahun kepemimpinan Jokowi- JK, ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia semakin meningkat. Ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia, bukan hanya terjadi antara penguasa dan pemodal dengan rakyat, tapi juga terjadi antara laki-laki dan perempuan. yang terjadi antara lain di Desa Barati, Kecamatan Pamona Tenggara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, di mana perbandingan penguasaan tanah di Barati sendiri masih didominasi oleh laki-laki dengan perbandingan 90:10 (Data SP Poso, 2016). Perempuan yang mempunyai alas hak kepemilikan atas tanah hanya jika dia adalah seorang janda ataupun anak gadis yang mendapat warisan dari orang tua. Situasi serupa juga terjadi di Desa Seri Bandung, Kabupaten Ogan Ilir – Sumatera Selatan, di mana surat keterangan hak usaha atas tanah atas nama perempuan hanya 15,7%, sedangkan atas nama laki-laki 84,3% (Data SP Palembang, 2015).

Hingga hari ini, perampasan lahan, dan ruang hidup masyarakat masih terus belangsung, tanpa adanya upaya penyelesaian konflik yang adil dan berorientasi pada hak-hak masyarakat, terlebi perempuan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 659 konflik agraria sepanjang 2017, dengan luasan mencapai 520.491,87 hektar (ha). Selama pemerintahan Jokowi-JK dari 2015-2017, telah terjadi sebanyak 1.361 konflik agraria. Kondflik agraria  ini menimbulkan ketidakadilan dan dampak berlapis bagi perempuan yang kehilangan sumber-sumber kehidupan. Margaretha Winda dari Kalimantan Tengah menegaskan bahwa “perempuan Dayak memiliki keterikatan dengan hutan, tapi hutan sekarang sudah dimasuki oleh para investor, selain perusahaan sawit, tambang, proyek perhutanan atas nama konservasi, yang membatasi perempuan akses hutan, padahal perempuan selama inilah yang menjaga dan merawat hutan, karena perempuan memikirkan keberlanjutan anak dan cucu mereka”.

Reforma agraria yang dijanjikan di dalam Nawacita empat tahun lalu, hanya berhenti pada program sertifikasi tanpa pembongkaran tata kepemilikan dan penguasaan tanah yang merupakan jalan Reforma Agraria itu sendiri. Program sertifikasi ini, tidak dapat dimaknai sebagai usaha untuk memperkuat akses masyararakat atas tanah, tapi sebaliknya justru akan meningkatkan kesenjangan kepemilikan tanah, karena mempercepat proses komodifikasi tanah, karena mempermudah jual beli tanah antara individu dengan Investor.  Selain itu, Di sisi lain, program ini juga tidak menyentuh tanah-tanah yang sedang berkonflik, karena dikooptasi investor, maupun direbut oleh negara. Berbagai upaya perempuan untuk mendorong Reforma Agraria sejati pun tidak direspon degan langkah konkret dari negara.

“Kami sudah, sudah 36 tahun berkonflik dengan PTPN VII Cinta Manis, masalah belum selesai, pemerintah malah mengeluarkan HGU baru untuk perkebunan tebu ini, sudah banyak tindak kekerasan yang terjadi di Ogan Ilir. Masyarakat tanpa tanah semakin miskin, perempuan terpaksa bekerja sebagai buruh di tanahnya sendiri dengan upah yang tidak layak untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Kami sudah menemui KSP untuk mengusulkan tanah kami dijadikan Tanah Objek Reforma Agraria, sehingga kami dapat berdaulat kembali atas tanah kami, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya” kata Emilia, Pejuang Perempuan dari Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Sedangkan untuk di kawasan hutan, janji pelepasan tanah seluas 4,1 juta hektar menjadi tanah objek reforma agraria tidak dirasakan oleh perempuan Lore Lindu. “Perempuan di Lore Lindu, sejak wilayah kelola mereka ditatapkan menjadi kawasan taman nasional, terbatasi aksesnya atas hutan, padahal selama ini mereka mengambil sumber daya hutan, seperti pandan, anggrek hutan, dan tanaman obat lainnya dari hutan, tapi karena wilayah mereka menjadi kawasan taman nasional, mereka sembunyi-sembunyi untuk masuk hutan, bahkan mereka mengalami kriminalisasi karena dianggap perambah hutan, kami berharap program reforma agraria sejati, dapat menyelesaikan permasalah ini, bukannya dengan skema Perhutanan Sosial, yang hanya melibatkan masyarakat,  sebagai mitra, bukan sebagai pemilik yang bedaulat atas tanah tersebut” ucap Artati Koordinator Program Solidaritas Perempuan Palu.

Saat ini pemerintah akan segera mengesahkan Perpres Pelaksanaan Reforma Agraria. Namun Perpres tersebut tidak mencakup prinsip keadilan gender[1], dan proses pembahasannya tidak konsultatif. Selain itu, dalam Perpres tersebut juga menuliskan keterlibatkan Lembaga Keuangan Internasioanal dalam pendanaannya. Hal itu dipertegas oleh pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil, bahwa Bank Dunia memberi pinjaman sebesar USD 200 juta atau Rp 2,9 triliun bagi program reforma agraria untuk menata Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di sepanjang perbatasan hutan[2]. Padahal, Bank Dunia merupakan aktor di balik penggusuran tanah dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Bank Dunia telah mengintervensi Indonesia dengan skema pinjaman melalui Land Management and Policy Development Project (LMPDP – Project ID P064728), yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan kepemilikan lahan serta meningkatkan layanan sertifikasi tanah dan pendaftaran, yang berpotensi mendukung pasar tanah. Bank Dunia juga merupakan aktor sistem ekonomi global yang mengeruk sumber daya alam dan menyebabkan pemiskinan masyarakat terlebih perempuan.

Di tengah harapan perempuan akan terwujudnya Reforma Agraria sejati yang adil gender Pemerintah justru memupuskannya dengan melibatkan Bank Dunia,” ujar Koordinator Program Solidaritas Perempuan Dinda Nuur Annisaa Yura. Reforma agraria, sejatinya mampu menyelesaikan persoalan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah yang saat ini terjadi. Hal ini juga perlu tertuang di dalam RUU Pertanahan yang sedang dibahas DPR, di mana prinsip keadilan gender harus termuat di dalamnya. “Kami menginginkan reforma agraria berkeadilan gender serta mendorong RUU Pertanahan yang berkeadilan gender, yang menjadikan perempuan sebagai subjek, ikut terlibat dalam perencanaan serta pengambilan keputusan dan menerima maanfaat, sehingga memperkuat hak perempuan atas tanah, bukan Reforma Agraria yang justru terjebak pada legalisasi asset dan liberalisasi sumber agraria, yang didukung oleh Bank Dunia,” lanjut Dinda,

 

Kontak Person:
Ega Melindo  : 081288794813
Nisa : 087873752282

[1] Versi Draft Juli 2018
[2] https://www.merdeka.com/uang/bank-dunia-beri-pinjaman-rp-29-triliun-untuk-ptsl.html

 

Translate »