Perempuan Menyuarakan Islam Moderat; Catatan Singkat The International Young Muslim Women Forum

Solidaritas Perempuan, selama ini bekerja untuk mendorong penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan tak hanya melalui praktik-praktik yang diskriminatif, namun juga kebijakan yang diskriminatif dan tentunya keduanya saling terkait satu sama lain. Namun ada benang merah yang bisa dilihat oleh keduanya yaitu paham agama yang tidak berpihak kepada perempuan. Solidaritas Perempuan melihat, penting untuk terus mengembangkan interpretasi agama yang adil terhadap perempuan. Oleh sebab itu keterlibatan Solidaritas Perempuan dalam pertemuan dengan ulama perempuan atau perempuan muslim sedunia yang diadakan oleh salah satu organisasi massa keagamaan yang moderat menurut saya. Organisasi keagamaan Fatayat NU menginisiasi kegiatan untuk mencari para perempuan muda agar bisa menyuarakan Islam yang moderat dengan tetap berpegang pada nilai-nilai toleransi, keseimbangan, moderat dan berwawasan Islam Nusantara (Islam di Nusantara). Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, Fatayat NU menginisiasi kegiatan The International Young Muslim Women Forum yang dilaksanakan di Hotel Aryaduta Jakarta pada tanggal 24-28 Oktober 2018.

Di acara tersebut, ada kurang lebih 20 peserta perempuan muda yang hadir, 170 peserta dari Indonesia dan 30 peserta yang lain dari luar negeri seperti dari Malaysia, Filipina, Jerman, Australia, Virginia Amerika, India, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, Sri Langka, Hongkong, Azaibaejan, Turky, Sudan dan Iran. Adapun peserta yang di dalam negeri merupakan perwakilan pengurus wilayah Fatayat di 34 propinsi, peserta terpilih karena kualitas paper sebanyak 50 orang, dari lembaga badan otonom NU sebanyak 30 orang dan dari anggota Fatayat NU internasional sebanyak 15 orang. Sementara dari Solidaritas Perempuan ada 2 perwakilan, yaitu saya sendiri, saya sebagai peserta dari peserta terpilih dan Donna yang terpilih dari jaringan Fatayat NU. Kami sangat beruntung dan bersyukur menjadi peserta terpilih. Saya terpilih berdasarkan paper yang saya kumpulkan, tidak sedikit teman-teman saya yang tidak terpilih menjadi peserta di forum perempuan muda internasional tersebut.

Acara yang berjalan selama 3 hari ini dibuka langsung oleh bapak Presiden Republik Indonesia, bapak Joko Widodo ditemani oleh beberapa menteri kabinet seperti bapak Lukman Hakim Syaifuddin (Kemenag), Ibu Retno Marsudi (Kemenlu) dan Bapak Imam Nahrowi (Kementerian pemuda & olahraga). Dalam sambutannya, bapak Presiden menyampaikan bahwa bapak Presiden bangga dengan perempuan karena dalam ajang perlombaan Asean Games, 12 mendali emas diraih oleh atlet perempuan. Meski saya berharap pidatonya akan lebih jauh menyebutkan soal pemenuhan hak perempuan yang saat ini hilang karena paham radikalisme dan banyaknya kebijakan diskriminatif.

Diperhelatan forum pertemuan perempuan muda internasional ini, terdapat beberapa tema pembahasan yang sangat menarik. Saya akan membaginya ke beberapa item pembahasan:

Perempuan Agen Perdamaian

Pada tema ini, ada empat narasumber yang diundang untuk menjadi pembicara dalam persoalan perempuan dan agen perdamaian dunia. Rozana Isa menjabat sebagai Direktur Sister in Islam (SIS) di Malaysia, menjelaskan tentang tantangan mempromosikan hak asasi perempuan dan kesetaraan gender dalam perspektif islam di Malaysia. Menurutnya, mewujudkan kesetaraan gender di Malaysia berdasarkan dengan pengalaman yang telah dilakukan oleh Sister in Islam tidaklah mudah, banyak sekali tantangan-tantangan yang dihadapi meskipun seperti yang kita ketahui bahwa Malaysia penduduknya adalah mayoritas muslim. Hal yang sangat sulit dirubah di Malaysia adalah pandangan tentang poligami, menurut Rozana, poligami bukanlah anjuran Al-Qur’an karena melanggar hak asasi perempuan dalam Islam. Oleh karena itu SIS beberapa kali sempat mempublikasikan hasil tulisan pandangan kontekstual terhadap beberapa isu yang diskriminatif terhadap perempuan.Rozana juga mengungkapkan bahwa saat ini Malaysia dibawah pemerintahan kelompok yang selama ini menjadi oposisi di Malaysia, namun tetap saja keberpihakan terhadap perempuan tidak mengalami perubahan. Rozana juga menyebutkan upaya yang dilakukan oleh SIS ini kemudian memunculkan “budaya debat publik” didalam masyarakat, dimana sebelumnya masyarakat hanya menerima apa yang disampaikan oleh pemuka agama. Selain itu, upaya yang dilakukan juga berdampak pada mengurangi hagemoni otoritas ulama tradisional dan negara atas masalah agama. Salah satu yang menarik adalah setiap serangan yang dilakukan oleh kelompok radikal atau ekstrimisme kemudian dijadikan sebagai ruang diskusi dan debat untuk mempertahankan dukungan.Hal yang menarik, menurut SIS radikalisasi itu terbagi menjadi 2 bagian ; 1) dengan kekerasan 2) tanpa kekerasan. Parahnya radikalisasi yang tidak dengan kekerasan justru berakar lebih dalam, cepat menyebar melalui medsos dan bahkan kadang-kadang diambil atau digunakan oleh para otoritas pengambil kebijakan, didukung kelompok minoritas dan terlihat berperspektif HAM.

emudian Hilda Rolobessy, pembicara dari PW. Fatayat NU Ambon menjelaskan tentang perempuan dan resolusi konflik di Ambon. Kemudian pembicara dari luar negeri adalah Parasto Yari dari Social Peace,Afghanistan menjelaskan tentang perempuan Afghanistan dalam mewujudkan perdamaian. Parasto juga bercerita bahwa dalam sebuah penelitian di Afghanistan menyebutka bahwa perempuan hanya memegang peran yang kecil didalam perdamaian. Sementara itu pemerintah sudah mulai melibatkan perempuan sejk tahun 2001. Perempuan hanya berada pada ruang privat. Sementara didalam pemerintahan dan pengambil kebijakan hanya melibatkan 15 oang perempuan dari 65 orang yang ada.  Perempuan juga mendapatkan akses yang sedikit didalam hukum. Sehingga banyak perempuan korban perkosaan justru mati karena “rajam” dan dituduh tidak memiliki moral yang baik di Afghanistan. Selain itu rendahnya pendidikan dan akses kesehatan bagi perempuan membuat akses perempuan pada pemerintahan, pernikahan paksa dan kekerasan masih menjadi tantangan bagi perempuan.

Sayangnya tak hanya itu menurut Parasto, perempuan, kelompok muda dan kelompok marginal kemudian tidak banyak dilibatkan dalam proses perdamaian. Padahal banyak organisasi masyarakat sipil di Afghanistan sebagian besarnya menguatkan perempuan karena pelibatan perempuan dalam proses perdamaian dinilai sangatlah penting. Perdamaian tidaklah hanya penting untuk menghentikan pertengkaran dan juga perang. Namun juga bagaimana keberlanjutan menjaga perdamaian itu sendiri. Perempuan dan kelompok muda sesungguhnya memiliki peran penting khususnya di negara berkembang seperti Afghanistan.

Setelah itu baru kemudian Badriyah Fayumi dari Pondok Pesantren Mahasina menjelaskan tentang Islam Nusantara.

Dalam pemaparan Badriyah Fayumi, ia sebelumnya menjelaskan tentang Islam yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Aqidah, Akhlak dan Syari’ah. Aqidah kita biasa menyebutnya sebagai teologi atau iman atau keyakinan. Dalam wilayah aqidah, aqidah bersifat tetap dan tidak bisa dirubah, sehingga rukun Iman dalam aliran agama Islam tetaplah ada enam, tidak berkurang dan tidak ditambah. Dalam wilayah yang lebih luas, aqidah ini kemudian menjadi ilmu kalam atau pemikiran aliran-aliran Islam. Kemudian Akhlak, terdapat dua makna yaitu al-khoir (nilai-nilai kebaikan) dan al-ma’ruf (penerapan nilai). Yang al-khoir ini bersifat universal untuk semua umat manusia seperti jujur, sabar, syukur dan menghormati kedua orang tua, sedangkan al-ma’ruf bersifat kontekstual dan dipengaruhi oleh tradisi dan budaya setempat, ia bersifat lokal dan temporal seperti perkawinan, upacara kematian dan lain sebagainya. Kemudian yang ketiga, dalam wilayah syari’ah (hukum) terbagi menjadi dua pembahasan yaitu universal dan kontekstual. Yang universal seperti sholat, puasa dan zakat, sedangkat yang kontekstual seperti bacaan sholat, durasi waktu puasa dan jumlah zakat. Perbedaan tersebut berdasarkan dengan perubahan ruang, waktu dan keadaan.

Dalam konteks Islam di Indonesia, apa yang telah disampaikan oleh Badriyah Fayumi tersebut mengindikasikan sebagai anjuran bahwa jargon Islam nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Karena dalam Islam telah dikontekstualisasikan ke budaya dan tradisi masyarakat Indonesia yang berbeda dengan budaya dan tradisi masyarakat Arab kala Islam turun. Adapun nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam Islam Nusantara adalah berpikir cara pandang moderat, toleran, seimbang, mengedepankan musyawarah dan terbuka dengan hal-hal yang baru. Dalam konteks diri perempuan, perempuan Indonesia diharapkan memiliki asa dan nilai-nilai islam nusantara yang memiliki cara pandang terbuka dengan perubahan.

Kepemimpinan Perempuan
Tema yang kedua ini cukup menarik karena berkaitan dengan kepemimpinan perempuan. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa masih sedikit perempuan yang menduduki posisi sebagai pemimpin. Di Indonesia, pertama kalinya perempuan menjadi gubernur adalah Khofifah Indar Parawansa. Dan di dunia politik Indonesia, 30% perempuan diharapkan duduk di senayan sebagai perwakilan rakyat. Pada sesi kali ini, narasumber yang dihadirkan sebanyak empat orang dengan tema pembahasan yang berbeda-beda. 

Tammy Kenyatta dari Staf Kedutaan Besar Amerika Serikat Untuk Indonesia menyampaikan tantangan perempuan muslim dalam tata aturan kepemimpinan. Tammy menyampaikan bagaimana kedutaan Amerika berkomitmen untuk mendorong kepemimpinan perempuan. Dia juga menyampaikan hasil penelitian bagaimana perempuan lebih banyak yang menggunakan media sehingga penting untuk memaksimalkan penggunaan media sebagai sebuah sarana untuk mendapatkan informasi lebih banyak bagi perempuan dimanapun didunia. Sehingga sala satu upaya yang dilakukan oleh kedutaan Amerika yaitu memberikan peningkatan kapasitas bagi perempuan untuk dapat menggunakan media secara maksimal. Kemudian,  Leila Haidar founder of the Youth Foundation of Azeirbaijan menyampaikan bahwa adanya tata aturan untuk pemuda yang ingin menjadi pemimpin di Azerbaijan. Kemudian Abida Rafique dari Asian Resource Forum Kashmir (ARFK) Pakistan menjelaskan tentang bagaimana melahirkan pemimpin perempuan di Kashmir. Beberapa hal yang dilakukan oleh organisasi ARFK antara lain adalah melakukan kegiatan perdamaian (peace talk) dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah, melakukan kampanye di media untuk mempromosikan hak asasi perempuan, memberikan pendidikan untuk anak-anak, menyampaikan perubahan iklim di Pakistan,  melakukan training perdamaian dan resolusi konflik, memberikan pendidikan kepada  perempuan dan melakukan training pendidikan untuk menemukan pemimpin perempuan.

Abida menyampaikan tentang bagaimana perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dan berdiskusi secara bersama tentang perdamaian dan apa saja hal penting yang akan dilakukan. Khasmir secara otoritas negara masuk kedalam wilayah Pakistan meski sempat menjadi wilayah yang berada diantara konflik India dan Pakistan. Beberapa hal yang sebenarnya menggelitik keingintahuan saya ketika melihat presentasi Abida, 1)Soal relasi kuasa laki-laki dan perempuan dalam konteks Muslim di Khasmir, apalagi Pakistan memiliki “Honour Killing”, dimana  perempuan didalam keluarga dapat dibunuh oleh anggota keluarga atau komunitas yang lainnya kalah dianggap menjatuhkan “marwah” keluarga sehingga “honour killing” dianggap sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki nama baik keluarga. 2)Persoalan tentang bagaimana organisasi Abida di Pakistan memberikan penguatan kepada perempuan baik untuk posisi perempuan maupun perdamaian, dimana negara tersebut juga masuk negara yang memiliki budaya yang sangat partriarkhi apalagi paska berkuasanya para taliban. Dan untuk pertanyaan kedua ini, sebenarnya saya tertarik karena saya pernah membaca buku berjudul “BADSHAH” yang menceritakan tentang tokoh perdamaian di konflik antara India-Pakistan dimana Badshah saat itu merupakan sahabat dari Mahatma Gandhi. Pakistan dan India merupakan wilayah yang termasuk memiliki suku Pasto yang suka berperang pada saat itu, sehingga tak mudah mengajak masyarakat disana untuk menjadi agen perdamaian meskipun ada beberapa perubahan. Namun peran perempuan dalam perdamaian memang sangat sedikit sekali terlihat.

Menurut Abida, Khasmir merupakan wilayah yang lebih maju dari Pakistan dan India sehingga laki-laki dan perempuan saling bekerja sama untuk mewujudkan perdamaian. Namun organisasinya tetap melakukan penguatan perempuan di tingkatan akar rumput dan juga terus menyuar

Kemudian Chusnunia Chalim, seorang perempuan yang menduduki posisi saat ini sebagai Bupati Kabupaten Lampung Timur dan kemudian akan segera disahkan sebagai wakil gubernur Lampung. Ia menyampaikan tentang politik kesetaraan gender dalam mewujudkan perempuan Lampung yang sejahtera. Dalam prsentasinya, ibu Nunik panggilan akrab Bupati Lampung Timur lebih banyak menyampaikan tentang apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Lampung Timur kepada perempuan-perempuan di daerahnya. Adapun yang telah dilakukan oleh Bupati lampung Timur adalah pertama, mengkampanyekan Gerakan Malu Menganggur (GMM), untuk mengimplementasikan gerakan ini, Bupati menyuruh kepada ibu-ibu untuk membiasakan melakukan sesuatu yang bernilai ekonomi seperti menanam bunga di pot, membuat karangan bunga dan lain sebagainya. Kedua, industri rumahan seperti produksi abon. Ketiga, membentuk kampung yang ramah anak. Keempat, membentuk forum bermain anak dengan cara menyediakan tempat-tempat bermain anak-anak. Kelima, memonitoring kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ibu Ninuk menyampaikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin perempuan dan harus mulai bekerja dan menyentuh kesejahteraan masyarakat dengan tidak lupa menggandeng banyak pihak termasuk tokoh-tokoh yang mendukung kepemimpinan perempuan.

Pendidikan Inklusif Untuk Perempuan
Pada sesi ketiga ini membahas tentang pendidikan inklusi untuk kaum perempuan. Pendidikan menjadi sangat penting bagi perempuan, karena hingga kini, pendidikan masih diyakini sebagai  salah satu cara yang paling efektif untuk keluar dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Perempuan yang cerdas dan berpengetahuan adalah salah satu contoh perempuan berdaulat.

Pada sesi ini narasumber yang dihadirkan adalah pertama, Nisa Feliciafaris, P.hD dari Fakultas Pendidikan di Universitas Sampoerna tema yang dibahas adalah “Kontribusi Komunitas Pendidikan untuk pendidikan inklusi di Indonesia”. Pada presentasinya, narasumber menjelaskan tentang pendidikan inklusi yang sekarang semakin banyak dibicarakan di masyarakat khususnya bagaimana pendidikan yang inklusi bagi kelompok disabilitas. Dalam presentasinya narasumber juga menyampaikan bagaimana pendidikan inklusi ini juga dapat meningkatkan kemampuan menerima keberagaman bagi anak-anak. Hal yang menarik bahwa sistem pendidikan yang inklusi ini juga dapat memberikan kesempatan anak berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan.  Selain itu juga mengasah emosi, sosial dan spiritual bagi murid lainnya. Kedua, Baiq Mulianah, M.Pd.I dari Pondok Pesantren NU al-Mansyuriyah NTB tema yang dibahas adalah tentang “Tata Aturan Pesantren Untuk Mengakhiri Pernikahan Anak”. Pembahasan ini menarik buat saya karena membahas tentang “Posisi Perempuan Dalam Tradisi Merarik: Aksi Nyata Menyelamatkan Perempuan” 

Dari semua pembahasan yang telah disampaikan oleh narasumber. Ada satu pembahasan yang menarik untuk saya sampaikan kepada kawan-kawan di Perserikatan Solidaritas Perempuan, yaitu tentang tradisi perkawinan merarik di Lombok NTB. Tradisi perkawinan merarik menarik untuk dibahas lebih lanjut karena dalam konteks kehidupan sosial, perkawinan sangat erat berkaitan dengan otoritas tubuh perempuan dalam menentukan pilihannya sendiri apakah ia menikah atau tidak. Apalagi dalam konteks wilayah NTB yang masih tinggi kasus poligami, kekerasan terhadap perempuan dan kasus perkawinan anak. Meskipun Lombok telah memiliki aturan usia perkawinan bagi perempuan yaitu, 18 tahun. Sementara UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang ada di tingkat Nasional masih mencantumkan perempuan usia yang menikah 16 tahun.

Tradisi kawin lari di Lombok NTB masih lestari hingga kini. Masyarakat Lombok biasa menyebutnya dengan kawin Merarik. Merarik adalah tradisi perkawinan masyarakat suku sasak di Lombok dengan cara melarikan anak perempuan untuk dinikahi. Dalam kultur masyarakat Sasak, perempuan sasak tidak memiliki peran sosial yang diperhitungkan dalam realitas kehidupan masyarakat. Sehingga perempuan Sasak diatur dalam tata aturan sosial yang dampaknya banyak “merugikan” pihak perempuan sasak sendiri. Salah satu contoh tata aturan tersebut adalah adanya aturan tidak tertulis bahwa perempuan sasak “harus” menikah dengan laki-laki yang sekufu atau setara atau semarga atau sekasta. Karena susahnya perempuan sasak menikah dengan lelaki sekufu, maka tidak sedikit perempuan sasak yang mendapat label “Moso”, yaitu perempuan perawan tua.

Karena labelling dan stigma yang mencitrakan perempuan sebagai pihak yang negative dalam kultur dan norma masyarakat sasak, sehingga tidak sedikit pula perempuan Sasak yang dengan “sukarela” dilarikan oleh laki-laki yang sama-sama saling menyanyangi meskipun secara kultur tidak sekufu. Pada kasus kawin lari (merarik) yang demikian inilah yang kemudian menimbulkan dampak buruk yang berkepanjangan bagi perempuan. Dampak-dampak buruk perkawinan merarik disampaikan oleh tokoh Fatayat NU Lombok ustadzah Baiq Mulianah Taqiudin dari Pondok Pesantren Al-Mansyuriyah Lombok dalam acara The International Young Muslim Women Forum pada tanggal 26 Oktober 2018 di Hotel Aryaduta Jakarta.

Meskipun perempuan sasak dengan suka rela atau dengan kesepakatan bersama dengan pihak laki-laki untuk dilarikan (merarik), tapi dalam norma masyarakat sasak, adalah aib manakala perempuan sasak yang telah dilarikan oleh pihak laki-laki tapi tidak dinikahi. Disini terdapat ambiguitas pada diri perempuan sasak dalam kultur masyarakat Lombok, disatu sisi ia harus mengikuti budaya agar tidak dicap sebagai “Moso” (perawan tua), disisi yang lain ia akan diberi label buruk manakala tidak menikah dengan laki-laki yang telah mengajaknya lari. Stigma yang demikian inilah yang akan menjadikan diri pribadi perempuan sasak terbelah. Akibatnya, perempuan sasak tidak memiliki otoritas dan kedaulatan atas tubuhnya sendiri, ia harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh norma dan budaya setempat.

Ustadzah Baiq Mulianah juga memaparkan secara rinci beberapa kasus merarik yang anak perempuan sasak ada pada posisi sebagai korban. Pertama, kasus anak perempuan sasak yang berusia 13 tahun, mendesak kepada pihak sekolah dan kepada orang tuanya untuk segera menikah karena telah dilarikan oleh laki-laki. Desakan tersebut bukan tanpa alasan, ia takut jika nanti melahirkan seorang anak tanpa adanya bapak karena ketika dilarikan oleh laki-laki, si anak perempuan “dipaksa” untuk tidur bersama. Kedua, anak perempuan Sasak memiliki orang tua yang bercerai dan ibuknya kerja sebagai buruh migran di Hongkong dan lama putus komunikasi. Anak perempuan ini tinggal bersama neneknya yang setiap hari ia harus bekerja di ladang untuk membantu ekonomi sang nenek, di usianya ke-15 tahun, ia memutuskan untuk berhenti sekolah dan ingin menikah dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga. Ketiga, anak perempuan sasak usia 12 tahun yang memiliki badan bongsor, lebih besar dari badan teman-temannya di bawa lari dan diperkosa oleh seorang seorang bapak-bapak yang berprofesi sebagai sopir beranak 3.

Tiga kasus yang dipaparkan diatas memilukan hati siapapun yang mendengar. Bagaimana tidak?. Budaya merarik telah menyisakan luka yang mendalam kepada anak perempuan. Dengan berbagai alasan stigma, labelling, membantu ekonomi keluarga maupun alasan lainnya, semua itu telah menjadikan budaya merarik tumbuh subur di Lombok.

Pada contoh kasus yang demikian inilah Ustadzah Baiq Mulianah berperan. Beliau melakukan beberapa terobosan yang “mungkin” belum dilakukan dilakukan perempuan-perempuan lain di Lombok. Sebagai tokoh agama yang memiliki strata sosial tinggi, keluarga besarnya memiliki yayasan pondok pesantren dengan anak sekolah formal dibawahnya, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah hingga ke jenjang Perguruan Tinggi Al-Mansyuriyah. Ustadzah Baiq melakukan strategi menyelamatkan anak perempuan sasak dari perkawinan Merarik melalui pintu pendidikan.   

Ustadzah Baiq bersama keluarganya dan teman-temannya di Lombok menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak perempuan sasak dari kelas ekonomi miskin dengan cara memasukkan ke pondok pesantren miliknya dan sekolah formal di pesantren tersebut, memberikan bantuan beasiswa pendidikan gratis, memberikan bantuan gratis makan untuk santri miskin, memberikan motivasi kepada para santrinya untuk selalu memupuk dan menumbuhkan rasa percaya diri dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak seperti orang tua, masyarakat, kepala desa, kepala camat dan bupati untuk bergandeng tangan menuntaskan persoalan kawin merarik untuk menyelamatkan anak-anak perempuan sasak di masa yang akan datang.

Menurut saya, apa yang telah dilakukan oleh ustadzah Baiq Mulianah merupakan contoh nyata, bagaimana anak perempuan dan perempuan secara umum menjadi korban dalam struktur dan budaya masyarakat, dan menyelamatkan anak-anak perempuan melalui stategi pendidikan adalah cara yang lebih efektif karena pendidikan adalah bekal untuk hidup lebih baik di masa yang akan datang.

 Disamping itu, mewujudkan Islam yang moderat yang penuh dengan kedamaian, dan menjadi penentram bagi seluruh umat tidak hanya sebatas disampaikan melalui ceramah diatas mimbar dan podium masjid, melainkan harus dilakukan dengan aksi nyata. Salah satu aksi nyata mewujudkan Islam moderat bagi kehidupan perempuan dimasa yang akan datang adalah dengan cara menyelamatkan perempuan dari tradisi (perkawinan merarik) yang membelenggu otoritas tubuh perempuan.  Ketiga, Heni Sri Sundari, ia adalah pendiri Tha Smart Farmer Kids in Action & Agro Edu Jampang Community”, ia membahas tentang “Mengakhiri Kemiskinan Melalui Pendidikan”. Keempat, Natasya Hill dari Football United Australia, ia membahas tentang “Respecting Diversity, Promoting Multiculturalism Among The Youth Through Sports”. Upaya yang di perkenalkan oleh Natasha juga sangat menarik menurut saya terutama jika dikaitkan dengan isu seksualitas perempuan. Natasha dan kelompoknya yang merupakan pengungsi dari Turki yang bermigrasi ke Australia kemudian menciptakan cara untuk dapat bergaul dengan cara yang canggung yaitu olah raga. Menurutnya orang juga tak perlu kaku dalam melakukan perkenalan antara satu dengan yang lainnya karena orang sama-sama melakukan kegiatan olah raga. Orang tidak akan bisara ras, agama atau hal lainnya yang selama ini membatasi antara satu orang dengan orang lainnya. Kita bisa mengajak siapa saja bergabung. Pendekatan itu kemudian juga menjadi jalannya penguatan di komunitas terutama perempuan. Selain itu bola selalu dianggap permainan anak lelaki namun dia membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi pemain sepak bola. Bahkan Natasha pelatih bola di komunitasnya. Cerita Natasha sangat menginspirasi menurut saya dimana saat ini banyak kebijakan yang menyasar tubuh perempuan dan mendorong perempuan hanya di ruang-ruang domestik, tentunya cerita Natasha memperlihatkan mungkin kita harus memiliki cara-cara baru untuk mengajak banyak orang yang beragama untuk mendukung kerja-kerja kita, salah satunya melalui olah raga.

Kelima, Nurul Andriyani dari NGO Disabilitas SAPDA Yogyakarta, ia membahas tentang “Advokasi Pendidikan Inklusi”.

Akses Kesehatan untuk Perempuan
Pada sesi kempat ini, tema yang disajikan adalah tentang kesehatan perempuan. Tema ini menjadi penting karena persoalan akses kesehatan dan layanan kesehatan dari pemerintah untuk perempuan dan anak perempuan di banyak Negara terutama di Indonesia menjadi persoalan yang krusial. Tidak semua perempuan mendapat akses kesehatan seperti yang digembar gemborkan oleh pemerintah, bahwa akses kesehatan untuk mereka kelompok rentan termasuk perempuan. Oleh karena ini pada sesi ini, panitia Pengurus Pusat Fatayat menghadirkan tema kesehatan untuk menjadi bahan diskusi pada sesi ini.

Narasumber yang dihadirkan adalah mereka pakar kesehatan. Diantaranya adalah pertama, Dr. Novy H.C. Daulima seorang ahli psikologi yang membahas tentang “Bringing Health Services Closer in the Remote Areas of Indonesia”. Kedua, ketua PP. Fatayat Anggia Ermarini, MKM, ia membahas tentang “Peran Pemimpin Agama Perempuan Dalam Menuntaskan Stunting di Indonesia: Kasus di Brebes Jawa Tengah”. Ketiga, Ninuk Mardiana Pambudy dari Media Kompas, ia membahas tentang “Bahasa Media Menyajikan Pengalaman kesehatan Perempuan”.

Pada pembahasan yang dilakukan oleh Dr. Novy memaparkan tentang mental health sebagai salah satu bagian dari disabilitas di Indonesia. Banyaknya kasus mental health kemudian juga menempatkan  banyaknya kasus pemasungan di kampung-kampung dimana pasien emudian dibawa ke rumah sakit jiwa. Namun setelah pasien dikembalikan kepada keluarga setelah menjalani perawatan, keluarga kembai melakukan pemasungan terhadap pasien. Padahal pasien yang dibawah perawatan dapat diatasi tanpa harus dipasung. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap kasus mental health sebenarnya memperlihatakan bagaimana masyarakat belum paham terkait mental health. Sayangnya Dr. Novy juga tidak menyebutkan bagaimana mengidentifikasikan orang dengan mental health dan bagaimana cara pertolongan awal yang harus dilakukan.

Kasus stunting merupakan isu yang baru di Indonesia. Berdasarkan bukti data yang telah dipaparkan oleh Anggia, bahwa 37% atau sekitar 9juta anak Indonesia mengalami stunting. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama semua pihak disegala sektor untuk mencegah kelahiran stunting. Fatayat NU merespon kasus tersebut dengan tujuan untuk mengurangi kasus stunting di Indonesia. Program pencegahan telah dilakuakn sejak tahun 2012 di kabupaten Brebes Jawa Tengah sebagai wilayah terbanyak kasus stunting. Program yang dilakukan oleh Fatayat adalah dengan cara pelibatan tokoh agama, advokasi ke pemerintah, kerjasama lintas sektoral, kerjasama dengan tokoh lintas agama, advokasi ke grass root serta membentuk Barisan Nasional Cegah Stunting. Menurut saya, apa yang telah dilakukan oleh Fatayat di Brebes Jawa Tengah menjadi contoh nyata bagaimana menyelamatkan kaum perempuan dan anak perempuan dari kasus stunting.  

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

Sesi kelima ini membahas tema tentang “Creative Ways on Women’s Economic Empowerment”. Tema menjadi menarik mengingat ekonomi menjadi alat vital kemajuan suatu bangsa, terlebih perempuan. Di sesi ini, narasumber yang diambil adalah mereka yang ahli dalam pemberdayaan ekonomi perempuan, baik secara praktis maupun teoritis. Diantara para narasumber tersebut antara lain pertama, Prof. Dr. Syeda Sultan Razia dari Banghladesh University of Engineering and Technology (BUET), ia menyampaikan tentang “The Contribution of Grameen Bank Toward Women’s Empowerment and Peace Building”. Pemaparan Prof Syida menarik menurut saya, bila selama ini orang berbicara ekonomi hanya pada satu kelompok tertentu dan untuk membangun komunitas tertentu namun Prof. Syida memiliki ide yang lain, dimana untuk membangun perekonomian masyarakat harusnya tidak terkota-kotak berdasarkan agama, kepercayaan dan sebagainya. Sehingga upaya untuk mendorong perdamaian tercapai karena sesungguhnya konflik merugikan kedua pihak yang berkonflik. Kedua, Endah W Sulistawati  dari BEKRAF (Creative Economy Agency), ia menyampaikan tentang “Supporting Women’s Creative Economy to Achieve Prosperity”. Ketiga, Diajeng Lestari, ia adalah pendiri dan pemilik (CEO) HIJUP, ia menyampaikan tentang “The Contribution of Muslim Women Enterpreneurs to the Women Empowerment”. Keempat, Shuniyya Ruhama, ia adalah pemilik Batik Shuniyya, ia menyampaikan tentang “From Local Inspirations to the Global Market”.

Dalam presentasi Diajeng Lestari, ia menyampaikan bahwa perempuan adalah penggerak ekonomi pertama dalam Islam. Hal itu bisa dilihat pada diri sosok Khatijah Istri rasulullah yang mengembangkan Islam melalui harta yang ia miliki. Mengaca kepada sosok Khatijah, tidak ada istilah saat ini perempuan miskin maupun perempuan bodoh. Karena jauh sebelum islam mencapai kejayaan emasnya, Khatijah adalah pribadi perempuan yang berdaya secara ekonomi. Kemudian, Shuniyya melalui kerja praktek yaitu memberdayakan ekonomi perempuan melalui bisnis batik, ia menyampaikan bahwa batik adalah berkah untuk bangsa. Keberkahan batik tersebut karena batik tulis itu ditulis oleh tangan-tangan perempuan yang kebanyakan pengrajin batik adalah perempuan lanjut usia. Sayangnya ini tidak dilanjutkan oleh para muda-mudi yang harusnya meneruskan kekayaaan Indonesia ini. Namun selain itu upaya meningkatkan perekonomian masyarakat melalui batik ini sebenarnya upaya menguatkan kelompok masyarakat di tingkatan akar rumput.

Pesan Damai Melalui Media Digital
Sesi yang keenam adalah media digital. Kaum muda milenial sekarang adalah generasi yang lebih sering dan lebih suka menggunakan gawai sebagai media sosial dan sebagai media bertukar informasi. Tidak salah, jika tidak sedikit kaum muda yang ikut-ikutan kegiatan yang bernuasa radikal dan tidak mencerminkan nilai-nilai humanisme hanya karena mengikuti pesan atau ceramah di Youtube dan konten gambar dari mbah google. Karena itu di acara ini, panitia mengundang berbagai narasumber untuk menyampaikan peran media digital dalam menyuarakan Islam yang rahmatan lil ‘alamien (Islam yang kasih & Islam yang damai).

Narasumber yang diundang untuk menjadi pembicara pada sesi ini antara lain pertama, Muyassarah Hafidzah dari PW. Fatayat NU DIY, ia menyampaikan tentang mempromosikan Perempuan damai melalui website. Kedua, Ozge Kurbetuglo dari Turki, ia menyampaikan tentang “Influencing Youth Through Social Media”. Ketiga, Qutub Jahan dari India, ia menyampaikan tentang “Campaigning Women’s Issues Through Digital Media”. Pada sesi ini Qutub menjelaskan bagaimana cara menggunakan media sosial sebagai salah satu alat kampanye yang bisa digunakan dalam kerja-kerja kita dengan menemukan apa yang menjadi tujuan dan target yang ingin kita capai, strategi apa yang akan kita gunakan untuk mendapatkan jaringan kerja, membangun mekanisme didalam pengelolaan sosial media hingga tidak menempatkan orang yang bekerja dalam medio tersebut kedalam resiko berbahaya. Selain itu sosial media akan baik digunakan untuk mencari dukungan berbagai tindakan diskriminasi, kekerasan dan juga peghargaan terhadap korban yang kasusnya tidak terlaporkan atau selama ini kasusnya tidak tertangani/terespon dengan baik. Salah satu contoh misalnya twitter dan facebook, dimana kita bisa mengetahui siapa saja jaringan yang bekerja untuk isu yang sama dengan yang kita fokuskan. Selain itu kita bisa melihat komunitas di tingkatan mana saja dan komunitas apa saja yang tertarik mengikuti informasi yang media akan kita keluarkan. Tentunya akan lebih efektif kalau kita juga memiliki foto dan juga video-video yang kita masukkan dalam informasi media yang kita berikan. Selai itu Qutub juga menjelaskan beberapa cara untuk penanganan resiko diantaranya menutup profil kita untuk tidak dibaca oleh semua pihak selain itu juga tidak melakukan membagi dimana lokasi kita untuk keamanan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan misalnya menggunakan OBSCURA CAM untuk menyamarkan gambar korban agar tidak terpublikasi. Selain itu tidak membagikan informasi yang terlalu sensitif di media sosial termasuk juga tidak langsung percaya pada berita yang disebarkan karna bisa saja berita tersebut “hoax”. Selain itu Qutub juga membagikan beberapa tips penggunaan media sosial sebagai salah satu alat kamapanye untuk memperoleh dukungan publik.

Peran Solidaritas Perempuan dalam kegiatan
Selama berproses dalam acara konferensi internasional ini, Solidaritas Perempuan beserta beberapa peserta lain dari jaringan gerakan perempuan memasukan perspektif perempuan dan gender. Secara khusus dalam diskusi kecil maupun tematik, Solidaritas Perempuan memasukkan analisis interseksionalitas penindasan terhadap perempuan dan juga pentingnya diskusi soal gender dan seksualitas dalam pertemuan ini karena masih banyak peserta yang belum memahami tentang kesetaraan  gender sehingga posisi perempuan tetap tersubordinasi, terlabelkan dan lain sebagainya. Selain itu Solidaritas Perempuan juga mendiskusikan soal perempuan pemimpin dimana perempuan tersebut paham akan hak-haknya dan otonom terhadap keputusan miliknya dan memiliki akses dan kontrol.

Pada bagian lain bicara tentang ekstrimisme, Solidaritas Perempuan juga memasukkan kebijakan diskriminatif merupakan sebuah pola ekstrimisme yang terstruktur dan masuk kedalam kebijakan dan dibawa oleh para pengambil kebijakan. Solidaritas Perempuan yang juga berjejaring bersama RAHIMA, Kalyanamitra, CWGI,  Sister in Islam Malaysia, AWARE Singapura dan Wali Singapura serta jaringan WLUML (Women Living Under Muslim Law) terus menerus menentang kebijakan diskriminatif terutama yang mengatasnamakan agama dan menyasar seksualitas perempuan. Forum konferensi Internasional Perempuan Muda yang diadakan oleh Fatayat NU merupakan suatu langkah baik untuk meningkatkan pemahaman perempuan muda akan hak-hak perempuan dan sekaligus bagaimana perempuan memiliki cara-cara kreatif untuk meningkatkan perekonomian komunitasnya dan sekaligus bagaimana penggunaan media sosial demi kepentingan perempuan untuk mengkampanyekan penghentian kekerasan terhadap perempuan dan sekaligus menjadi alat kampanye hasil kerja komunitas perempuan yang selama ini kurang dihargai seperti batik dan sebagainya.

(Oleh : Masthuriyah Sa’dan-Donna Swita) 

Translate »