Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Jakarta, 6 Maret 2020, dua hari menjelang Hari Perempuan Sedunia, sebagai sebuah momentum pengakuan akan perjuangan perempuan secara global yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Pada peringatan kali ini, Solidaritas Perempuan bergabung dengan Gerak Perempuan bersama berbagai kelompok perempuan lainnya maupun gerakan perempuan global akan turun ke jalan dan memperjuangkan hak dan kedaulatan perempuan. Bersama 12 Komunitas SP, secara serentak juga akan merayakan Hari Perempuan Sedunia dengan ‘Mogok Perempuan: Melawan Penindasan, Mewujudkan Kedaulatan’
Gagal Paham Negara: Mengatur yang Tidak Perlu Mengabaikan yang Melindungi
Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak warga negaranya. Namun tampaknya, pemerintah Indonesia telah gagal dalam memahami kewajiban tersebut. Pasalnya, pemerintah bersama DPR justru memunculkan berbagai rancangan kebijakan yang tidak dibutuhkan masyarakat. RUU Ketahanan Keluarga secara tidak hanya mengatur ranah privat, tetapi juga hendak memperkuat dan menegaskan beban berlapis yang harus ditanggung perempuan. RUU ini juga mengancam kelompok minoritas serta meninggalkan Hak Asasi Manusia dan kemanusiaan sebagai prinsip yang seharusnya menjadi dasar dalam menyusun Undang-undang.
Melalui Rancangan UU Cipta Kerja atau lebih dikenal sebagai Omnibus Law Cipta Kerja, negara juga menciptakan pengaturan yang justru akan melanggar hak-hak masyarakat terlebih perempuan. Penurunan standar-standar penting untuk hak normatif perempuan buruh, maupun kepentingan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kehidupan telah dikalahkan oleh kepentingan investasi yang meminggirkan masyarakat. Dalam situasi tersebut, maka perempuan akan menjadi pihak yang paling merasakan dampak ketidakadilan. RUU ini juga sejalan dengan berbagai rancangan kebijakan yang telah mendapatkan penolakan dari masyarakat, seperti RUU Pertanahan, Revisi UU Minerba, Revisi UU Ketengakerjaan, maupun UU Sumber Daya Air yang telah disahkan.
Bukan hanya tidak dibutuhkan masyarakat, berbagai kebijakan tersebut juga akan semakin memperkuat pemiskinan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Negara bahkan secara aktif melakukan diskriminasi terhadap perempuan, melalui kebijakan yang mengatasnamakan agama dan moralitas, namun dibuat untuk mengekang tubuh, pikiran dan ruang gerak perempuan. Qanun Jinayat adalah satu di antara lebih dari 400 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan. Kebijakan ini tidak hanya diskriminatif, tetapi juga berpotensi terhadap kriminalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Sementara, Keputusan Menteri Tenga Kerja No. 260 tahun 2015 yang mendikriminasi perempuan pekerja rumah tangga migran untuk mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan layak terus dibiarkan dan berlaku sampai sekarang. Kebijakan ini justru menambah kompleksitas persoalan dan kerentanan perempuan buruh migran serta secara jelas melanggar Konvensi Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan Kovenan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang.
Sebaliknya, kebijakan yang dibutuhkan perempuan justru tidak menjadi prioritas sehingga belum mengalami kemajuan pembahasan yang signifikan. RUU Kesetaraan Gender, seharusnya menjadi payung hukum yang penting untuk memastikan terintegrasinya kesertaraan dan keadilan gender di dalam setiap kebijakan dan program negara. Begitu pun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, serta aturan turunan Undang-undang Pelindungan Pekerja Migran mejadi penting sebagai dasar hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan, maupun memastikan hak-hak perempuan sebagai pekerja, dan warga negara.
Persoalan kebijakan hanya segelintir dari tanggung jawab negara yang lumpuh dalam menghormati, memenuhi dan melindungi perempuan. Negara juga tidak mampu mengatasi menguatnya intoleransi dan radikalisme yang tidak hanya meminggirkan, tetapi juga membunkam dan mengancurkan kedaulatan perempuan. Pasalnya penanganan terhadap kelompok radikal, cenderung dipolitisasi dan tidak sampai pada penanganan akar persoalan. Hal ini diperburuk dengan penghancuran demokrasi yang dilakukan oleh negara. Kriminalisasi, tindakan represi aparat, pelarangan dan pembatasan hak berkumpul dan berpendapat, menyertai perampasan ruang-ruang hidup, maupun perjuangan masyarakat terutama perempuan.
Buruknya kebijakan juga sejalan dengan minimnya transparansi negara, dan pelibatan masyarakat di dalam pembahasan-pembahasan kebijakan. Alhasil, negara hanya mampu menghasilkan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang, serta memperkuat pemiskinan dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Berbagai situasi di atas tidak hanya terjadi di Indonesia. Menguatnya fundamentalisme global, maupun politik ekonomi dan pola pembangunan yang memiskinkan perempuan dan menghancurkan lingkungan telah menghasilkan penindasan berlapis bagi perempuan di berbagai belahan dunia lainnya, terlebih perempuan di negara-negara berkembang. Selama ini, perempuan telah melakukan perjuangan dengan berbagai cara. Namun dengan menguatnya penindasan yang dialami perempuan, maka mogok menjadi sebuah pilihan logis. Cukup sudah perempuan terus dipinggirkan dan dibungkam. “Solidaritas Perempuan bergabung bersama gerakan Women Global Strike (Mogok Perempuan Global), karena negara telah ingkar janji untuk memajukan kesetaraan, keadilan, pembangunan dan perdamaian untuk semua perempuan. Hak untuk mogok adalah hak asasi manusia yang diakui. Ini adalah sebuah gerakan global untuk menghapus penindasan struktural, dengan melawan patriarki, neoliberalisme, globalisasi, militerisme, dan fundamentalisme. Tanpa adanya kedaulatan perempuan, maka keadilan sosial dan kedaulatan bangsa tidak akan pernah tercapai.”
Narahubung :
Ega (ega@solidaritasperempuan.org)