Siaran Pers
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri
Makassar, 20 Januari 2015. Sebanyak 50 orang perwakilan Pemimpin Solidaritas Perempuan diseluruh Indonesia dan 100 orang stakeholder di Sulawesi Selatan, hadir dan mempertanyakan kepada pemerintah Sulsel terkait dengan program dan kebijakan isu perubahan iklim di Sulsesi selatan, dalam acara Dialog Publik yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan di Hotel Continent, Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan didesak untuk memastikan kebijakan yang sensitif dan responsif gender dalam merespon perubahan iklim. Propinsi Sulawesi Selatan yang hampir setengahnya merupakan kawasan hutan sehingga berpotensi besar sebagai wilayah penyumbang emisi dengan resiko deforestasi akibat kerusakan hutan, kebakaran lahan dan alih fungsi kawasan hutan. Di sisi lain, Propinsi Sulawesi Selatan juga menjadi propinsi yang memiliki kerentanan tinggi atas dampak perubahan iklim, yang salah satunya adalah karena dikelilingi oleh kawasan pesisir dan juga menumpukan ekonominya pada sektor pertanian. Hal ini menunjukkan juga tingginya kebutuhan masyarakat Sulawesi Selatan terkait adaptasi perubahan iklim. Apalagi dampak perubahan iklim paling besar dirasakan oleh perempuan.
Kehidupan perempuan Nelayan bergantung pada kondisi dan cuaca alam, di mana hasil dan jumlah tangkapan tidak menentu dan penghasilan menurun berdampak pada meningkatnya beban perempuan untuk memenuhi ekonomi keluarga. Perempuan pesisir melakukan pekerjaan lain mencari kepiting dan ikan, budi daya udang/rumput laut, jual ikan; mengolah kerang hijau ikan asap/kering. “Tidak menentunya penghasilan yang dapat diperoleh nelayan, akibat cuaca buruk atau gelombang pasang, membuat perempuan lah yang harus mencari kerjaan lain, seperti jadi tukang batu, buruh cuci, mencari sampah dan lain-lainnya, untuk memastikan bagaimana makanan itu tetap ada di atas meja. Pemerintah bukannya mengatasi persoalan itu justru mengeluarkan kebijakan yang semakin menutup akses nelayan untuk melaut, seperti reklamasi pantai dan penutupan jalan.” Ungkap Syamsuniar, salah satu perempuan yang tinggal di kawasan pesisir kota Makassar.
Perempuan petani kesulitan menentukan musim tanam, karena musim tidak menentu. Kekeringan dan curah hujan yang tidak menentu serta meningkatnya hama wereng menyebabkan terjadinya gagal panen juga berdampak terhadap penghasilan. Dan lagi-lagi, perempuan yang kemudian meningkat bebannya untuk memastikan tersedianya pangan untuk keluarga. Seperti yang terjadi Di Sabbangparu, ada persemaian yang diulang sampai 3 kali pada tahun 2010 karena banjir, sehingga ada penambahan biaya benih dan pupuk untuk persemaian ulang (Data Puslitbang Distan Sulsel, 2011). Hal ini terjadi karena pengaruh kejadian iklim ekstrim sering kali menstimulasi ledakan beberapa hama dan penyakit utama tanaman padi yang berdampak pada biaya produksi juga semakin meningkat. Namun, hingga kini belum ada kebijakan yang jelas melindungi hak dan kepentingan perempuan terutama dalam menghadapi situasi perubahan iklim, khususnya di Sulawesi Selatan.
Padahal perempuan juga memiliki inisiatif dalam menghadapi perubahan iklim. Perempuan Mangasa, Kabupaten Gowa menyiasati Jika curah hujan tinggi, tanaman jangka pendek (sayur-sayuran) ditutup dengan plastik, untuk menahan kelembaban. “Perempuan merupakan pihak yang paling terkena dampak dari perubahan iklim, dan karenanya memiliki inisiatif tinggi dalam menghadapi perubahan iklim, namun hingga kini belum menjadi pemangku kepentingan utama dalam merespon perubahan iklim. Itulah yang memunculkan inisiatif Solidaritas Perempuan untuk mengembangkan standar aturan perlindungan perempuan untuk kebijakan dan program iklim. Hal ini salah satunya adalah untuk memastikan partisipasi penuh perempuan pengambilan keputusan serta perumusan kebijakan perubahan iklim.” Ungkap Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
“Dalam RPJMD Sulsel 2013 – 2018, memasukkan pengarusutamaan gender menjadi analisis, tetapi kemudian belum ada langkah konkrit yang dilihat dalam merespon situasi perubahan iklim yang terjadi di Sulawesi Selatan, kalaupun ada itu masih sebatas wacana. Untuk itu, penting bagi Pemerintah Sulawesi Selatan untuk segera mengeluarkan kebijakan yang sensitive dan responsive gender dalam merespon perubahan iklim.” tegas Nur Asiah, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar dalam Dialog Publik Solidaritas Perempuan di Hotel Continent hari ini.
CP: Aisyah (085255216656)