Peringatan Hari Perdagangan orang Sedunia 2024: Potret Buruk Penanganan Kasus Perdagangan Orang terhadap Buruh Migran

RILIS MEDIA
Serikat Buruh Migran Indonesia dan Solidaritas Perempuan

Jakarta, 30 Juli 2024 – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Solidaritas Perempuan (SP) menggelar kampanye damai dengan melakukan flashmob dan memberikan informasi melalui pelbagai  poster terkait bahaya perdagangan orang pada momen Car Free Day di Bundaran HI. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan resiko serta maraknya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Indonesia darurat perdagangan orang [1] sehingga butuh kewaspadaan dari masyarakat serta penegakan hukum dari pemerintah terhadap pelaku.

Pada Minggu, 28 Juli 2024, kampanye damai diadakan dengan peserta membawa spanduk dan poster menentang praktik TPPO serta mengedukasi masyarakat tentang isu ini. Puncak acara adalah pengumpulan tanda tangan di atas kain putih sebagai bentuk solidaritas untuk mendorong pemerintah lebih serius menangani kasus TPPO dan melindungi buruh migran, terutama perempuan yang rentan menjadi korban perdagangan orang.

“Perdagangan orang adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Modus operandi perdagangan orang saat ini semakin kompleks, termasuk peran penting keamanan digital dalam praktik-praktiknya. Informasi yang tidak jelas sering kali diperoleh melalui platform digital yang dimanfaatkan oleh oknum untuk merekrut calon korban. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan fungsi keamanan digital guna memfilter informasi yang tidak akurat, terutama dalam menghadapi kasus perdagangan orang dengan modus penipuan online.” jelas Yunita, Koordinator Advokasi SBMI

Berdasarkan Data Penanganan Kasus SBMI dan SP selama tahun 2019-2024, lebih dari 1.800 orang buruh migran Indonesia yang terindikasi kuat sebagai korban TPPO. Temuan kasus Solidaritas Perempuan terdapat peningkatan  tren migrasi non prosedural di sektor informal sebesar 87%.

Pada tahun 2024, Indonesia naik ke tier 2 dalam laporan TPPO Kementerian Luar Negeri AS, sebelumnya berada di tier 2 watchlist. Hal ini mencerminkan perbaikan dalam perlindungan, pencegahan, dan penuntutan kasus TPPO, meski masih terdapat 14 rekomendasi prioritas, seperti revisi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 untuk menghapus persyaratan demonstrasi kekerasan, penipuan, atau pemaksaan dalam perdagangan seks anak, serta peningkatan upaya penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan perdagangan manusia.[2] Pun pada data BP2MI menunjukkan 88,4% korban perdagangan orang adalah perempuan, dengan 91% di antaranya dewasa, mayoritas mengalami eksploitasi kerja paksa (95%) dan eksploitasi seksual (5%). Menurut Data Kasus SBMI 2023, terdapat 344 kasus perdagangan orang, dengan 76% korban laki-laki dan 24% perempuan.

Pada riset SBMI yang berjudul Potret Implementasi Hukum dan Peran Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia mengungkap beberapa isu kritis terkait kerangka hukum TPPO. Terdapat kesenjangan antara Protokol Palermo dan UU No. 21 Tahun 2007 dalam hal pembuktian eksploitasi. Perbedaan ini menunjukkan perlunya harmonisasi hukum nasional dengan standar internasional untuk meningkatkan efektivitas penanganan TPPO di Indonesia. [3]

“Negara harus lebih serius dalam menangani tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pengawasan dalam menjalankan upaya pencegahan, penindakan dan pemulihan harus ditingkatkan untuk meminimalisir kasus TPPO, dengan penegakan hukum yang tegas terhadap oknum yang terlibat. Jangan hanya menindak eksekutor di lapangan, tetapi juga harus mengungkap siapa pemegang kendali di balik kejahatan ini, karena TPPO merupakan kejahatan yang terorganisir dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif untuk penanganannya.” tutur Hariyanto Suwarno Suwarno, Ketua Umum SBMI

Menurut Hariyanto Suwarno, dalam melakukan upaya pencegahan dan penindakan TPPO peran serta masyarakat sangat  harapkan dan selain itu peran serta masyarakat yang melakukan pencegahan dan penindakan harus  dilindungi oleh hukum sesuai dengan mandat UU 21/2007, “Khusus dalam peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia tahun 2024 ini diharapkan menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan aksi nyata dari semua pihak dalam memerangi TPPO dan melindungi buruh migran, termasuk perempuan buruh migran Indonesia.” tambah Hariyanto Suwarno

Ketua Solidaritas Perempuan Armayanti Sanusi menegaskan,  “Situasi perdagangan orang yang banyak dialami oleh perempuan buruh migran dan keluarga tidak terlepas dari persoalan pemiskinan struktural oleh negara melalui proyek iklim dan proyek pembangunan yang berorientasi pada investasi sehingga berdampak pada penghancuran rang kelola dan sumber ekonomi perempuan atas sumber daya alam dan lingkungan, mengakibatkan  pemaksaan sistematik bagi arus feminisasi migrasi. Temuan kasus Solidaritas Perempuan sepanjang tahun 2024, terdapat peningkatan  tren migrasi non prosedural di sektor informal sebesar 87% akibat dari diberlakukannya Kepmenaker No. 260 tahun 2015. Di sisi lain lemahnya supremasi hukum sistem di dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi Pekerja migran Indonesia. Negara harus segera melakukan langkah nyata memperkuat mekanisme tata kelola layanan migrasi aman yang berkeadilan gender di seluruh level pemerintahan sebagai upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan bagi korban TPPO, serta menerbitkan SK pencabutan Kepmenaker 260/2015 karena merupakan kebijakan yang  diskriminatif bagi Perempuan yang menjadi Buruh Migran”

SBMI dan Solidaritas Perempuan pada Peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Tahun 2024 menyampaikan tujuh (7) tuntutan utama kepada pemerintah untuk mengatasi masalah perdagangan orang di Indonesia, yakni: 

  1. Pemerintah RI harus mengimplementasikan UU Nomor 18 Tahun 2017  tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, beserta turunannya secara maksimal;
  2. Pemerintah harus bisa memastikan gugus tugas TPPO dapat melakukan pencegahan TPPO dan penanganan TPPO yang berkeadilan, menjunjung tinggi HAM, serta berdampak nyata bagi buruh migran indonesia;
  3. Pemerintah harus segera memperbaiki tata kelola penanganan Buruh Migran Yang menjadi Korban TPPO, hingga ke tingkat pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota):
  4. Pemerintah harus memastikan setiap Buruh Migran Indonesia mendapat perlindungan dari segala bentuk TPPO di negara penempatan:
  5. Pemerintah memastikan dan menjamin pemenuhan hak restitusi dan reintegrasi bagi korban TPPO.
  6. Pemerintah harus segera mengeluarkan SK pencabutan peraturan Kepmenaker No. 260 tahun 2015 yang mendiskriminasi Perempuan yang menjadi Buruh Migran di sektor informal
  7. Pemerintah segera melakukan koherensi  kebijakan dan koordinasi lintas kementerian  untuk memastikan kebijakan perlindungan  yang saling mendukung  bagi PMI dan memutus penyebab  struktural bagi migrasi paksa yang berujung pada TPPO.

 

 

Narahubung:
Kirana – Koordinator Media Kampanye SBMI (0823-84034349/kiranaan@sbmi.id)
Solidaritas Perempuan (0812-8078-8634)

[1]https://www.cnnindonesia.com/internasional/20240329095145-106-1080363/interpol-darurat-perdagangan-orang-mafia-di-asean-raup-rp47586-t
[2] https://www.state.gov/reports/2024-trafficking-in-persons-report/indonesia/
[3]https://sbmi.or.id/sbmi-luncurkan-penelitian-terkait-penegakan-hukum-dan-layanan-pelindungan-korban-tppo/

Translate »