Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera
Jakarta, 10 Desember 2016. Solidaritas Perempuan menegaskan pentingnya keberagaman dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat untuk mencapai kedaulatan perempuan. Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewy di tengah peringatan Hari HAM dan sekaligus hari ulang tahun Solidaritas Perempuan yang ke-26 di Rawabadak – Jakarta Utara.
Selama 26 tahun Solidaritas Perempuan bekerja bersama perempuan akar rumput, banyak menemukan fakta pelanggaran hak perempuan yang masih terus terjadi. Bahkan kekerasan terhadap perempuan grafiknya terus meningkat, baik di ranah keluarga, masyarakat, tempat kerja. termasuk kekerasan negara melalui kebijakan ataupun proyek/programnya. Kekerasan terus terjadi akibat negara tidak melindungi hak perempuan, bahkan cenderung melakukan pembiaran atas tindak kekerasan yang terjadi.
Pantauan Solidaritas Perempuan terhadap Hak Perempuan atas Rasa Aman di transportasi publik (Kopaja dan Metromini) di Jakarta, menunjukkan 88,64% masyarakat di 5 wilayah di Jakarta tidak mendapatkan keamanan saat mengakses transportasi publik. 59% menyatakan pernah mengalami ataupun terancam mengalami kekerasan seksual di transportasi publik, berupa pelecehan seksual, perkosaan, sentuhan cabul yang melecehkan, ataupun tatapan yang membuat tidak nyaman.[1]
Di Aceh kebijakan negara yang diskriminatif terhadap perempuan, juga telah berdampak pada rasa aman perempuan, salah satunya Qanun Jinayat. Hingga November 2016, sedikitnya telah mengakibatkan 185 orang dicambuk di Aceh. Substansi maupun implementasi kebijakan ini telah mengakibatkan kekerasan berlapis terhadap perempuan.
Ancaman terhadap rasa aman juga dirasakan perempuan akibat menguatnya intoleransi dan hilangnya nilai penghormatan terhadap keberagaman. Hal ini telah menyebabkan penindasan dan kekerasan berlapis terhadap perempuan, mulai tingkat keluarga, komunitas, tempat kerja, hingga negara. Berbagai intimidasi, kriminalisasi, pelarangan keluar malam, pembubaran diskusi, maupun pemaksaan berpakaian tertentu, semakin membuat perempuan terbungkam, membatasi ruang gerak dan akses perempuan atas sumber kehidupannya, serta memperkuat kekerasan, ketidakadilan dan penindasan yang dialami perempuan.
Padahal, saat ini perempuan juga harus berhadapan dengan perampasan sumber-sumber kehidupannya akibat perampasan tanah oleh perkebunan skala besar, pertambangan, proyek iklim, maupun reklamasi. Di Sukamulya misalnya, menjelang Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, perempuan di sana justru mengalami kekerasan yang dilakukan oleh negara. Mereka diusir, diancam, dan diintimidasi untuk keluar dari tempat tinggal dan lahan pertanian mereka yang subur.
Sementara, di Teluk Jakarta dan Pantai Losari Makassar, proyek reklamasi telah menghilangkan sumber kehidupan perempuan pengupas kerang. Begitu pun yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, di mana perempuan berhadapan dengan perampasan dan penghancuran sumber-sumber produksi. Lahan produktif yang dialihfungsikan menjadi perumahan, pembangunan infrastruktur dan kawasan pariwisata, menjadikan perempuan tidak dapat mengelola wilayahnya untuk sumber kehidupan termasuk sumber ekonominya.
Dalam situasi di atas, perempuan dan laki-laki sama-sama mengalami kekerasan, namun perempuan mengalami situasi berbeda. “Peran perempuan yang dilekatkan sebagai perawat dan penjaga keluarga dan komunitas memberikan beban tersendiri dan berlapis bagi perempuan,” ungkap Puspa Dewy. Selain itu, saat terjadi dampak ekonomi dan sosial akibat konflik lahan, perempuan juga memiliki beban lebih karena perempuan yang selama ini berperan dalam penyediaan pangan dan kebutuhan keluarga lainnya, harus mencari cara untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga di tengah kondisi sawah yang dirampas dan dialih fungsikan.
Perempuan yang kehilangan sumber kehidupannya, terpaksa harus bekerja keras untuk tetap dapat menghidupi keluarga. Perempuan seringkali kemudian menjadi buruh migran di luar negeri dengan perlindungan yang sangat minim dari Negara, sehingga rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran hak.
Menurut data Puslitfo BNP2TKI, data pengaduan yang diterima BNP2TKI sepanjang tahun 2015 berjumlah 4.894 pengaduan, meningkat dari tahun 2014 yang berjumlah 3.953 pengaduan.[2] Sementara, Sepanjang Februari 2012 hingga Februari 2015, Solidaritas Perempuan menangani 106 kasus kekerasan dan pelanggaran hak Perempuan Buruh Migran. Kasus terbanyak adalah trafficking yang diikuti dengan kasus-kasus ketenagakerjaan dan hilang kontak. Tak hanya itu, SP juga menangani kasus Buruh Migran yang dikriminalisasi dan terancam hukuman mati, dan kasus kekerasan fisik yang menyebabkan kematian[3]
Kekerasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan semakin berlapis akibat terpinggirnya perempuan dari ruang-ruang pengambilan keputusan, di tingkat keluarga, masyarakat, hingga negara. Penempatan perempuan di ranah domestik berdampak pada terbatasnya akses perempuan atas informasi yang berputar di ruang-ruang publik, seperti dalam rapat-rapat desa, musyawarah desa, maupun rapat pengambilan keputusan lainnya. Misalnya saja, dalam proses pembahasan Qanun Jinayat, berdasarkan pemantauan[4] SP di Aceh, bahwa 48,6% perempuan tidak mendapatkan informasi dan penjelasan mengenai Qanun Jinayat. Salah satu dampaknya adalah lahirnya kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Menguatnya intoleransi akan mengakibatkan perempuan semakin tidak memiliki ruang untuk menyuarakan situasi mereka, apalagi untuk mengambil keputusan. Hal ini akan mengancam Keberagaman pengetahuan dan kearifan lokal, identitas politik, dan keyakinan, sehingga perempuan semakin terkungkung di dalam budaya patriarki yang tidak hanya melemahkan, tetapi juga memiskinkan perempuan.
“Ancaman terhadap keberagaman yang dilakukan oleh sekelompok orang, termasuk negara, sudah semestinya mendapatkan perhatian serius karena menghilangkan nilai-nilai solidaritas yang penting dalam mencapai tujuan bernegara yang adil bagi seluruh rakyat” tegas Puspa Dewy. “Di sisi lain, keberagaman juga tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan apapun termasuk kepentingan politik dan ekonomi sekelompok elit saja,” pungkasnya.
Narahubung:
Ega Melindo 081288794813
[3] Solidaritas Perempuan, Menggugat Tanggung Jawab Negata Atas Perlindungan Buruh Migran Dan Anggota Keluarganya, 2015
[4] Pemantauan dilakukan selama 5 bulan, untuk melihat bagaimana dampak Qanun Jinayat terhadap hak perempuan atas rasa aman. Pemantauan di Aceh melibatkan 1163 perempuan yang melaporkan situasinya melalui sistem pemantauan berbasis web system data. Hasil Pemantauan dapat dilihat di https://indonesiasp.elva.org/