Ibu Sutinah lahir di Ponjong Gunung Kidul – Wonosari. Akibat kesulitan ekonomi yang dialami oleh perempuan di wilayah pegunungan kapur Wonosari ini, Sutinah bertekad untuk meninggalkan kampung halamannya dan membangun usaha di wilayah Parangtritis – Bantul. Pada tahun 2001, Sutinah mulai menetap di pesisir pantai Parangtritis – Dusun Mancingan dan membeli sepetak tanah tanpa sertifikat. Kemudian Ibu Sutinah memulai usahanya berjualan mie ayam untuk menopang kehidupannya. Sampai tahun 2006, usaha Ibu Sutinah mengalami kemajuan yang pesat karena daerah Mancingan merupakan daerah pariwisata Parangtritis dan Parangkusumo yang banyak mendatangkan pengunjung.
Pemerintah Kabupaten Bantul, Yogyakarta merencanakan pembangunan Mega Proyek Parangtritis yang bernilai ratusan miliar. Rencana pembangunan tersebut nyatanya telah mengancam kehidupan masyarakat yang ada di sekitar Parangtritis. Hal ini dikarenakan masyarakat yang tinggal di sekitar Parangtritis tersebut menggantungkan sumber penghidupannya dengan berdagang di sekitar kawasan pantai tersebut dan selama ini kegiatan perdagangan di sekitar pantai Parangtritis banyak dilakukan oleh perempuan.
Rencana pembangunan tersebut berdampak pada penggusuran tempat tinggal dan sumber mata pencaharian terhadap ratusan kepala keluarga yang bermukim di sekitar pantai. Sejak tahun 2006 telah terjadi setidaknya dua kali penggusuran di wilayah sepanjang pantai Parangtritis. Penggusuran tersebut menimpa tujuh unit rumah di wilayah Dusun Balong – Desa Mancingan. Kemudian pada tahun 2007, penggusuran berulang terjadi di wilayah yang sama dan menimpa 89 rumah. Masyarakat yang menjadi korban penggusuran saat ini mengalami kesulitan ekonomi karena pendapatan mereka (khususnya di sektor perdagangan) menurun hingga 70%. Padahal 60% dari perempuan yang tinggal di wilayah sepanjang pantai Parangtritis ini bergantung pada hasil berdagang.
Penggusuran dilakukan oleh Satpol PP[1] dengan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi. Bentuk pelanggaran di antaranya yakni menggunakan intimidasi dan ancaman hingga pemukulan yang sering dilakukan selama proses penggusuran dilakukan.
Berbagai bentuk kekerasan di atas tidak membuat masyarakat terkena dampak, mundur utuk memperjuangkan hak-hak mereka. Adalah Ibu Sutinah, yang sampai saat ini masih terus berjuang mempertahankan tanah, tempat tinggal dan sumber mata pencahariannya yang digusur.
Setelah tahun 2006, Mega Proyek Parangtritis mengancam sejumlah wilayah dimana termasuk didalamnya adalah dusun Mancingan. Dalam kondisi tak menentu, masyarakat yang tinggal di Dusun Mancingan kemudian membentuk sebuah organisasi yang bernama “Ngudi Rejeki” dan Aliansi Rakyat SOMASI TOP. Di tahun yang sama, terdapat 7 rumah yang dirobohkan. Kemudian menyusul 91 keluarga yang rumahnya ikut dirobohkan pada tahun 2007. Ibu Sutinah sendiri yang tempat tinggal dan warung usahanya tergusur, ikut tergabung dalam aliansi tersebut untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai pemilik warung di Mancingan.
Relokasi dilakukan oleh pemerintah dengan paksa tanpa adanya sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat terkena dampak, termasuk Ibu Sutinah. Hingga saat ini, Ibu Sutinah belum mendapatkan haknya terkait dengan rumah dan tempat usahanya sebagai penopang kehidupannya. Ibu Sutinah hanya menempati kios kecil yang dikontraknya di daerah Mancingan Parangkusumo – Bantul.
Kemudian di tahun 2010, muncul lagi kebijakan yang berkelanjutan terkait Mega Proyek Parangtritis sehingga terjadi lagi penggusuran. Adalah Ibu Sutinah kembali berada di garis depan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat terutama perempuan yang akan menjadi korban penggusuran. Sutinah dan masyarakat yang menggantung hidupnya di sepanjang pantai Parangtritis-Parangkusumo-Parangdog mendirikan “Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran” yang biasa disingkat ARMP. Ibu Sutinah juga memimpin aksi demonstrasi lebih dari 100 orang ke DPRD Provinsi Yogyakarta untuk menuntut hak mereka atas tanah dan penghidupannya yang telah terampas. Selain itu, mereka juga melakukan aksi kebudayaan yang berisi pesan penolakan terhadap penggusuran. Tidak berhenti di situ, mereka juga melakukan ialog dengan Pemerintah Provinsi Yogyakarta. Upaya kali ini membuahkan kemenangan kecil. Pemerintah bersetuju untuk menghentikan penggusuran hingga permasalahan sertifikasi lahan dapat diselesaikan.
Pengalaman Ibu Sutinah, dalam memperjuangkan haknya atas tanah, dan tempat tinggal, serta sumber mata pencaharian, dari kepentingan – kepentingan pihak swasta, dan pemerintah daerah. Keberpihakan pemerintah daerah terhadap pihak swasta, sangat jelas terlihat melalui kebijakan dan proyek – proyek pariwisata, termasuk dalam menyediakan pembangunan infrastruktur (jalan) dan menjamin keamanan investasi melalui penyediaan aparat keamanan/militer, dan satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Padahal kebijakan dan proyek tersebut, memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan perempuan.
Penggusuran tempat tinggal, sumber mata pencaharian, dan asset lainnya, pengambilalihan lahan secara paksa, telah mengancam keberlangsungan kehidupan perempuan. Hal tersebut, sangat disadari oleh Ibu Sutinah, sehingga Ibu Sutinah mulai membangun kekuatan untuk melawan kepentingan pihak swasta, dan kebijakan daerah tersebut.
Tidak hanya itu, dengan melihat berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan dan masyarakat luas, menjadikan semangat ibu Sutinah untuk memperjuangkan hak mereka semakin besar. Ini terlihat dengan keterlibatan ibu Sutinah di berbagai gerakan rakyat – yang selama ini di dominasi laki-laki – dan dengan tegas menyampaikan pendapat dan suaranya kepada pengambil kebijakan di DPRD Kab. Bantul. Kesadaran akan hak – haknya yang telah dirampas oleh pemerintah daerah dan pihak swasta, membuat ibu Sutinah bertindak untuk merebut haknya kembali.
Menjadi pemimpin perempuan, tentunya banyak tantangan yang dihadapi oleh Ibu Sutinah, mulai dari kepercayaan komunitas, termasuk perempuan di desanya atas perjuangan ibu Sutinah, hingga menjadi pemimpin di gerakan, yang selama ini hanya dipimpin oleh laki – laki. Namun, dengan tindakan dan aksi – aksi yang dilakukan Ibu Sutinah, mulai terbangun kepercayaan terhadap kemampuan ibu Sutinah menjadi pemimpin, baik bagi perempuan maupun masyarakat secara luas di komunitasnya.
[1] Satuan Kepolisian Pamong Praja