Perlindungan Lingkungan dan Perempuan Bukan Komoditas Politik

Perempuan mengungkapkan 4 kerusakan lingkungan hidup.

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2022
Untuk Disiarkan Segera

Jakarta, 5 Juni 2022. Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 2022, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah untuk merefleksikan janji politik pada pemilu 2019 dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup, bencana iklim, dan pelanggaran HAM yang berdampak pada kehidupan perempuan dan warga negara.

Memasuki babak akhir dari periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, para elit politik mulai berlomba melakukan berbagai strategi politik dan kampanye untuk mempertahankan kursinya maupun mengamankan posisi incaran di lembaga eksekutif maupun legislatif. Namun, narasi yang muncul bukan soal perhatian  mereka terhadap suhu bumi yang semakin panas, kualitas udara yang buruk, deforestasi yang masif terjadi, maupun buruknya situasi perempuan yang terdampak  oleh  kerusakan lingkungan hidup, melainkan biasanya cenderung menampilkan drama pasangan capres-cawapres yang seolah menempatkan rakyat hanya sebagai komoditas politik—dimanfaatkan suaranya jelang pesta demokrasi dan diabaikan saat Pemilu usai.

Pada  Pemilu  2019,  pemerintahan  Jokowi  berjanji  untuk  berpihak  pada  kemanusiaan dan lingkungan   hidup   dalam   Nawacita   II.   Faktanya,   pemerintah   lebih   memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan peningkatan investasi sehingga ambisi untuk menumbuhkan ekonomi justru mengorbankan kelestarian lingkungan dan mengakibatkan ketimpangan penguasaan lahan. Fakta tersebut didukung dengan serangkaian kebijakan yang telah disahkan dan terbukti secara masif memperparah kehancuran lingkungan hidup. Beberapa catatan Solidaritas Perempuan bahaya kerusakan lingkungan yang terjadi antara lain adalah:

  1. Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Inkonstitusional dan Merusak Lingkungan

Munculnya Omnibus Law Cipta Kerja (UUCK) sebagai kitab sapu jagat menjadi produk legislatif yang merusak lingkungan nyatanya semakin mengancam posisi perempuan. Proses penyusunan hingga pengundangan dilakukan serampangan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Alih-alih menciptakan aturan yang melindungi rakyat, UUCK justru hadir guna mengeruk, merusak, dan merampas ruang hidup masyarakat yang tercantum dalam pasal per pasal. Salah satunya adalah  pelemahan AMDAL. Hal ini tentu   menjadi  langkah  mundur  sejak  Kementerian  Lingkungan  Hidup  membuat komitmen yang dituangkan dalam peraturan menteri dan secara jelas menyebut perempuan  sebagai  salah satu kelompok kepentingan yang harus dilibatkan dalam konsultasi Amdal dan KLHS.

Padahal AMDAL merupakan salah satu ruang bagi upaya masyarakat untuk mempertahankan    hak    atas    lingkungan   hidup   yang   bersih   sebagai   sumber kehidupannya. Jika dengan AMDAL saja sudah begitu banyak kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup perempuan dan masyarakat terjadi atas nama pembangunan, maka UU CK menjadi legitimasi terhadap pelanggaran hukum yang dipraktikkan pemerintah dan perusahaan selama ini.

  1. Skema Proyek  Strategis  Nasional  (PSN)  dan  Upaya  Sentralisasi  Pengelolaan Sumber Daya Alam

Keberadaan  PSN yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020 juga merupakan aturan yang berorientasi pada pembangunan ekstraktif dan infrastruktur. Rentetan  isu  agraria  dan  lingkungan  hidup akibat PSN dirasakan oleh perempuan pesisir yang secara langsung terdampak oleh Proyek Makassar Newport (MNP) yang merupakan salah satu PSN. MNP dibangun dengan mereklamasi tanah yang mengubah kondisi bentang pesisir dan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem yang tersusun   di   dalamnya.   Selain   itu,   kegiatan   reklamasi   juga   berpotensi   besar meningkatkan kekeruhan air laut. Keruhnya air merupakan salah satu indikator penting bagi Kesehatan ekosistem perairan Ketika air laut keruh maka dapat dipastikan produktivitas ekosistem juga akan menurun.

Selain  itu,  proyek  Bendungan Bener yang merampas ruang hidup perempuan dan warga Wadas juga merupakan PSN. Eksplorasi batuan Andesit di desa Wadas akan menghabisi  vegetasi  penutup  tanah  dan  membuka  peluangnya  terjadinya bencana longsor  di  desa  Wadas.  Penambangan  batuan  Andesit  di  Wadas  bisa  diartikan membuka  pintu  atau  peluang  untuk  terjadinya  bencana.  “Wadas sebagai kawasan lindung dan serta rawan bencana dirusak dengan penambangan untuk pembangunan Bendungan Bener, yang sangat membahayakan keselamatan dan memaksa kami kehilangan sumber hidup dan kehidupan yang selama ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hutan sebagai penyeimbang alam, serta tempat menanam kopi, durian, gula aren, padi, bambu yang ditunjang oleh kurang lebih 27 sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat” kata salah satu Wadon Wadas.

  1. Penanganan Krisis Iklim yang Berorientasi pada Investasi dan Pasar

Krisis iklim yang terjadi telah memperburuk dampak dari eksploitasi alam dan ekosistem yang terjadi akibat pembangunan yang patriarki. Alih-alih mengatasi krisis tersebut, justru yang terjadi pemerintah mengomoditisasi dengan mengejar pendanaan semata. Atau bahkan terjebak pada proyek-proyek solusi palsu, yang tidak mengatasi dampak perubahan iklim dan justru menimbulkan kesulitan bagi masyarakat. Transisi energi yang dirancang semata hanya mengubah sumber energi, tapi tidak melakukan perubahan sistem yang terbukti telah menghasilkan krisis. Para aktor yang selama ini mengambil keuntungan dan mencemari lingkungan hingga mengakibatkan krisis tetap mendapatkan ruang dan akses dalam skema transisi energi.

Tidak ada kepentingan rakyat, terlebih perempuan, dalam skema tersebut. Hal ini terlihat bagaimana pembangunan PLTA Poso telah menghilangkan mata pencaharian, warisan budaya,   sumber   air  bersih,  tanah,  dan  berdampak  pada  gangguan  kesehatan perempuan akibat pencemaran air di sungai poso karena aktivitas PT Poso Energi yang menggunakan bom batuan untuk memperlancar aliran air ke turbin.

  1. Eksploitasi  Lingkungan   dan   Perampasan   Sumber   Kehidupan   Perempuan Mendorong Migrasi dan Trafficking Perempuan

Masifnya eksploitasi lingkungan telah menambah deret permasalahan yang dihadapi perempuan. Tanah yang telah menghidupi dan menjadi ruang kelolanya, lambat laun habis  dirampas  guna  memperlancar  kepentingan  segelintir  golongan.  Perampasan ruang hidup tentu memiliki dampak berlapis pada perempuan, mulai dari hilangnya hak-hak atas seksualitas, hingga berdampak pada hilangnya kesempatan yang setara, hilangnya tanah dan sumber air bersih, hilangnya budaya dan adat-istiadat yang telah melekat  secara turun-temurun, hingga hilangnya mata pencaharian. Alhasil, banyak perempuan yang juga harus mencari pekerjaan ke luar negeri guna menghidupi keluarganya.

Keempat fakta di atas telah menunjukan bahwa persoalan lingkungan hidup tak pernah jadi komitmen bagi elit politik. Konsolidasi elit politik yang belakangan terjadi sesungguhnya menjadi alarm agar kita melihat janji politik pemerintah di Pemilu 2019 dan mengkritisi rekam jejak agenda perlindungan hak masyarakat khususnya tentang lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Kampanye global Hari Lingkungan Hidup Sedunia juga mengangkat tema Only One Earth yang berarti kita hanya mempunyai satu bumi sebagai tempat tinggal kita. #OnlyOneEarth juga menjadi sebuah seruan untuk perubahan kebijakan yang transformatif dan mendorong kehidupan yang lebih bersih, hijau, berkelanjutan, dan selaras dengan alam. Upaya untuk memulihkan bumi dari kerusakan dan suhu yang semakin panas mungkin dilakukan apabila pemerintah   membuka   seluas-luasnya   partisipasi   perempuan   dan   publik   dalam   upaya pelestarian lingkungan hidup.

 

Narahubung:
Zahra Zulfi 

Translate »