Pernyataan Sikap Komite Aksi Iwd 2017 “Perempuan Bergerak Untuk Perubahan”

iwd2017

8 Maret yang ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional merupakan pengakuan politik seluruh dunia terhadap perjuangan perempuan. 8 Maret 2017, perjuangan perempuan menjadi masih sangat relevan melihat berbagai penindasan dan ketidakadilan yang terus dialami perempuan di berbagai konteks dan sektor secara berlapis. Karenanya, perjuangan perempuan adalah lintas kelas, lintas sektor, lintas isu serta lintas wilayah, sehingga penting bagi Komite Aksi IWD 2017 mengangkat isu interseksionalitas.

Hari perempuan terus berhadapan dengan perampasan sumber-sumber kehidupan yang diakibatkan massifnya industri ekstraktif, seperti perusahaan tambang, kelapa sawit, tebu, maupun proyek infrastruktur pembangunan jalan, bandara serta reklamasi pantai, penguasaan sumber mata air oleh swasta, yang difasilitasi oleh negara melalui kebijakan maupun perjanjian perdagangan bebas. Ladang dan hutan sebagai sumber kehidupan perempuan pun dirampas dengan dalih pencegahan laju perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.

Perempuan petani semakin kehilangan hak-haknya dalam pengelolaan dan kedaulatan pangan serta sumber daya alam. Mereka berhadapan dengan alih fungsi lahan, perampasan tanah, penyeragaman bibit, hingga konflik agraria yang mengusir dan meminggirkan perempuan dari sumber-sumber kehidupan. Pada saat bersamaan, perampasan ruang penghidupan masyarakat pesisir pun terus terjadi, perempuan nelayan didorong masuk dalam skema pemiskinan terstruktur yang dilakukan oleh negara.  Dampak terberat ditanggung oleh perempuan nelayan, yang bukan hanya kehilangan akses terhadap sumber penghidupan keluarga nelayan, tapi juga kehilangan akses terhadap pengelolaan wilayah pesisir yang adil dan berkelanjutan.

Dalam situasi penghancuran dan perampasan sumber kehidupan perempuan, perempuan harus mencari alternatif sumber penghidupan di kota hingga menjadi Buruh Migran. Dalam kasus kekerasan terhadap buruh migran korban terbesar adalah perempuan pekerja rumah tangga. Kerentanan yang tidak terlepas dari perspektif patriarkis yang melemahkan perempuan. Belum lagi penindasan berlapis yang dialami buruh migran seperti penyiksaan, kekerasan dalam berbagai bentuk, tidak mendapatkan gaji, penipuan, eksploitasi, hingga kriminalisasi dan ancaman hukuman mati.

Tak hanya ruang hidup, pembatasan ruang gerak dan ruang ekspresi bagi perempuan menjadi isu yang besar dengan banyaknya kasus-kasus yang terus terjadi, menyerang perempuan khususnya perempuan aktivis atau perempuan pembela HAM. Setidaknya dalam 15 tahun terakhir, menguatnya kelompok fudamentalis mengakibatkan meningkatnya tindakan intoleransi dan praktik diskriminatif di masyarakat dan juga melalui ranah hukum. Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi atas nama agama dan moralitas. Perempuan kerap menjadi sasaran tindakan diskriminatif di masyarakat dan terdapat 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, di berbagai tempat di Indonesia.

Kriminalisasi juga terjadi pada perempuan di berbagai konteks, antara lain perempuan buruh migran, perempuan netizen, perempuan dengan orientasi seksual dan ekpresi jender berbeda, perempuan minoritas agama, hingga perempuan yang hidup di wilayah dengan kebijakan syariah. Kriminalisasi dilakukan dengan menggunakan berbagai kebijakan, seperti UU ITE, hingga kebijakan daerah yang menyasar seksualitas perempuan.  Pasal-pasal karet di KUHP pun sering digunakan untuk meredam gerakan sosial yang dibangun oleh perempuan baik perjuangan yang berbasis gender maupun dalam sektor lain, seperti sektor agraria dan lingkungan, perjuangan hak atas berpendapat dan berekspresi dan lainnya. Kriminalisasi yang dialami perempuan berdampak pada ketidakadilan berlapis, di mana perempuan yang dikriminalisasi juga mengalami stigma dan diskriminasi, jauh lebih berat daripada laki-laki. Perempuan yang dilekatkan dengan peran penjaga keluarga dan komunitas juga mengalami beban dan ketidakadilan berlapis ketika keluarga, suami atau ayahnya mengalami kriminalisasi.

Intimidasi dan Diskriminasi juga kerap dialami oleh perempuan korban NAPZA, Transpuan, perempuan lesbian, serta perempuan dari kelompok agama, dan kelompok minoritas lainnya dari mulai keluarga, masyarakat, hingga negara. Mereka juga rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi ekonomi, bahkan rentan mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Mereka tidak bisa menikmati hak-haknya sebagai warga negara, mulai dari akses pendidikan, pekerjaan yang layak hingga tempat tinggal. Perempuan dalam kelompok minoritas juga hidup dengan penuh ketakutan dan jauh dari rasa aman dan tidak memperoleh hukum yang adil apabila mereka menjadi korban kekerasan.

Seluruh sistem masyarakat jelas menunjukkan bahwa perempuan di dalam konteks apapun dijadikan warga kelas dua, mengalami penindasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Perempuan memiliki karya, kerja, dan peran signifikan dalam roda kehidupan ekonomi, sosial dan politik masyarakat, sehingga harus diperhitungkan sebagai bagian dari sendi kehidupan yang substansial dengan kotribusi bagi kehidupan perekonomian negara dan dunia. Perjuangan perempuan adalah perjuangan kelas, perjuangan politik yang tidak dapat dipisahkan dari solidaritas politik antar sektor meliputi semua kelompok perempuan, sehingga pembebasan perempuan adalah pembebasan seluruh perempuan tanpa terkecuali terlepas dari identitas yang melekat pada diri perempuan. Untuk itu diperlukan kerja dan solidaritas politik antar sektor, antar isu, antar wilayah, melihat bahwa persoalan satu perempuan adalah persoalan bagi seluruh perempuan secara global.

Sebagai bagian dari perempuan pejuang hak perempuan, maka kita wajib merayakan 8 Maret sebagai bagian dari perjuangan internasional dalam pembebasan kaum perempuan dan perjuangan perempuan dalam menuntut keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun.

Berdasarkan persoalan-persoalan di atas, Komite Aksi IWD 2017 yang terdiri dari berbagai elemen perempuan lintas sektor menuntut kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk:

  1. Mengakui peran perempuan dalam politik, melibatkan dan mengakomodir kepentingan perempuan dalam berbagai forum pengambilan keputusan, khususnya mengenai kepentingan politik dan kehidupan perempuan.
  2. Mengakui peran dan kontribusi sosial dan ekonomi yang signifikan melalui pekerjaan perempuan baik di ruang domestik dan publik.
  3. Wujudkan Kebijakan yang berpihak dan adil bagi perempuan, di antaranya melalui: RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga, RUU Pertanahan, Reforma Agraria dan Kebijakan Iklim yang Adil Gender, Revisi RUU Perikanan, serta peraturan maupun kebijakan tentang napza yang berperspektif korban dan keadilan gender.
  4. Mengevaluasi dan mencabut kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, di antaranya Roadmap Zero Domestic Workers, Kepmen Penghentian Penempatan PRT Migran di Negara Timur Tengah, Qanun Jinayat, Perda Etika Berbusana di Kendari, perda-perda ketertban umum maupun larangan prostitusi yang didalamnya memuat asumsi dan stigma negatif terhadap perempuan dan LGBT, serta Perdes Hukum Cambuk di Desa Padang, Sulawesi Selatan.
  5. Menghapus hukuman mati, dan mewujudkan aparat penegak hukum yang berperspektif keadilan gender serta sistem peradilan yang sensitif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan, termasuk perempuan pengguna napza, Trans+, dan kelompok minoritas lainnya.
  6. Menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk, rasial, kelas sosial, orientasi seksual, ekspresi gender, agama lokal/penghayat keyakinan leluhur, difable, ODHA, baik dalam mengakses pendidikan, akses informasi termasuk informasi Hak Kesehatan Reproduksi, pekerjaan, pelayanan kesehatan, maupun melalui kurikulum pendidikan dan sosialisasi yang mencakup hak-hak perempuan dan berkeadilan gender.
  7. Menghentikan proyek-proyek atas nama pembangunan yang merampas ruang hidup dan wilayah kelola perempuan, di antaranya Pertambangan, Pembangunan Pabrik Semen, Ekspansi Perkebunan Skala Besar, NCICD, Reklamasi dan privatisasi wilayah pesisir.
  8. Mewujudkan penyelesaian konflik agraria dengan prinsip keadilan gender dan antar generasi, dan wujudkan tanah untuk Perempuan.
  9. STOP komitmen perjanjian perdagangan bebas yang menghilangkan kedaulatan perempuan, di antaranya RCEP dan TPP.
  10. Segera usut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM, hukum dan adili pelanggar HAM masa lalu, dan Tolak Dewan Kerukunan Nasional.
  11. Mengakui dan melindungi pilihan politik perempuan dan wujudkan perlindungan bagi perempuan di wilayah konflik, khususnya perempuan Papua, Aceh, dan Poso.
  12. Menghapus diskriminasi upah dan mewujudkan Jaminan Perlindungan Hak Perempuan Buruh Jaminan Keamanan Kerja serta Kerja Layak terhadap Perempuan Buruh, baik di sektor Formal maupun Informal.
  13. Mewujudkan layanan kesehatan yang aman, ramah, nyaman terhadap perempuan dan remaja perempuan termasuk layanan kesehatan reproduksi.

Komite Aksi IWD 2017
#IWD2017  #BeBoldForChange
#SehariTanpa Perempuan
#PerempuanBersatuUntukPerubahan

Tidak ada Pembebasan Rakyat Sejati Tanpa Pembebasan Perempuan

Contact Person:
Puspa Dewy: 085260241597
Veronica:081281000929

Translate »