Pernyataan Sikap “Menggugat Tanggung Jawab Negara atas Kekerasan dan Pelanggaran Hak Buruh Migran Perempuan”

Untuk disiarkan segera
Catatan Penanganan Kasus Bcatahu-spuruh Migran (Oktober 2011 – November 2012)

Hingga November  2012, penempatan buruh migran berlangsung tanpa jaminan perlindungan dan masih memposisikan buruh migran dalam situasi kondisi kerja yang buruk seperti mengalami kekerasan, gaji tidak dibayar, kriminalisasi, hingga ancaman hukuman mati. Minimnya perlindungan pada proses migrasi,  semakin menempatkan buruh migran perempuan rentan menjadi korban trafficking., bahkan rentan terhadap infeksi HIV/Aids

Sebagai organisasi yang sejak tahun 1990 bekerja untuk penguatan dan advokasi perlindungan Buruh Migran, Solidaritas Perempuan (SP) melakukan berbagai strategi, salah satunya melalui kerja-kerja penanganan kasus kekerasan dan pelanggaran hak Buruh Migran Perempuan (BMP). Pada tanggal 13 Desember 2012, SP meluncurkan Catatan Tahunan Penanganan Kasus Buruh Migran yang ditangani SP sepanjang periode Oktober 2011 hingga November 2012.  Perkembangan kasus yang ditangani SP menunjukan bahwa buruh migran, terutama perempuan, masih berada dalam situasi rentan dan terus mengalami kekerasan dan pelanggaran atas hak-haknya.

Sepanjang tahun Oktober 2011 hingga November 2012, SP telah menangani 38 buruh migran korban kekerasan dan pelanggaran. SP mencatat terdapat  19  (sembilan belas) jenis kasus pelanggaran yaitu antara lain; Trafficking (18 ), gaji ditahan oleh majikan (14), over kontrak (10), penganiayaan (10), gaji tidak dibayar (3), disekap (2), depresi (3), hilang kontak (3), dipenjara (2), dipindah-pindah  majikan (2). Pelanggaran juga terjadi pada kasus pemotongan gaji sepihak oleh agen yang di luar negeri (Taiwan), kasus kekerasan seksual, kecelakaan kerja, sakit dan meninggal dunia karena sakit (masing-masing 1). Kasus Trafficking adalah kasus terbanyak, dialami oleh korban asal negara Indonesia, Kamboja dan Cina. Disusul dengan kasus gaji tidak dibayar atau ditahan oleh majikan, over kontrak, serta penganiayaan.  SP juga masih melanjutkan proses penanganan 25 kasus yang dilaporkan sebelum tahun 2012, yaitu kasus tahun 2010 sebanyak 3 kasus dan kasus tahun 2011 sebanyak 22 kasus.

Kebijakan Belum Efektif, Paradigma Komoditisasi Buruh Migran masih Kental

Masih maraknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak BMP, tidak terlepas dari kebijakan yang belum melindungi dan masih menempatkan mereka sebagai komoditas ekonomi. Perlu diakui, selama 2012 pemerintah dan DPR telah melakukan 3 langkah penting terkait perlindungan hak-hak buruh migran, yaitu: 1) meratifikasi Konvensi Migran 1990 melalui UU. No. 6 tahun 2012; 2) DPR membentuk Pansus RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) dan; 3) mengeluarkan Permenakertrans mengenai Tata Cara Kepulangan TKI dari Negara Penempatan Secara Mandiri ke Daerah Asal, yang memungkinkan buruh migran tidak harus melalui terminal khusus yang eksploitatif  ketika pulang. Namun demikian, langkah-langkah tersebut tidak disertai tindak lanjut konkret sehingga langkah-langkah yang telah diambil belum dirasakan manfaatnya oleh buruh migran dan keluarganya.Bahkan perkembangan peraturan ini beserta mekanisme pelaksanaannya juga belum terinformasi kepada publik terutama Buruh Migran dan keluarganya.

Indonesia juga sudah meratifikasi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) melalui UU no 7 tahun 1984. Bahkan secara khusus sejak 2008, konvensi ini sudah mempunyai Rekomendasi Umum No. 26 mengenai Buruh Migran Perempuan. Sangat disayangkan bahwa  Konvensi Migran dan CEDAW belum terimplementasi dengan maksimal. Lebih dari itu, paradigma pemerintah dan DPR dalam memandang buruh migran dan memandang migrasi pekerja belum banyak berubah. Paradigma lama yang memandang buruh migran sebagai komoditas masih sangat kental, padahal buruh migran adalah sebagai entitas manusia yang hak-haknya harus dihargai dan dilindungi dan dipenuhi oleh negara. .

Tak hanya itu, Indonesia masih menerapkan praktik dan legitimasi pelarangan dan atau pembatasan migrasi perempuan ke luar negeri atas dasar jenis kelamin, jenis pekerjaan, dan dikombinasikan dengan usia, status perkawinan, status kehamilan atau persalinan, status kesehatan (termasuk status HIV). Pembatasan juga dilakukan melalui persyaratan spesifik bahwa perempuan harus mendapat izin tertulis dari anggota/pihak keluarga laki-laki untuk bekerja ke luar negeri. Contoh: UU No 39 tahun 2004 tentang PPTKILN (penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri) melemahkan posisi buruh migran perempuan, membuat perempuan sulit bergerak (harus ada izin suami), mewajibkan buruh migran menjalani tes HIV dan kehamilan tanpa konseling, dan tidak diberangkatkan jika terdiagnosa positif HIV dan/ atau hamil. Lebih jauh lagi, saat ini pemerintah tengah menjalankan sebuah road map yang sasarannya disinyalir akan menghentikan penempatan buruh migrant sektor informal yang mayoritas bekerja sebagai PRT-Migran pada tahun 2017. Situasi diatas telah menunjukkan bahwa negara telah melakukan kekerasan dan pelanggaran hak perempuan, terutama buruh migran perempuan.

Pengalaman penanganan kasus SP menunjukan kendatipun  Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Migran 1990 melalui UU No. 6 tahun 2012 dan CEDAW melalui UU no. 7 tahun 1984, namun keseriusan pemerintah dalam melindungi Buruh Migran Perempuan penting dipertanyakan. Saat ini lebih dari empat juta buruh migrant Indonesia, yang mayoritas adalah perempuan, masih harus mengalami berbagai resiko dengan melakukan proses migrasi. Mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia dan menjadi tanggung jawab dan  kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak buruh migran perempuan..

Karena itu, Solidaritas Perempuan Menggugat Tanggung Jawab Negara atas Kekerasan dan Pelanggaran Hak Buruh Migran Perempuan dan Keluarganya, untuk segera:

  1. Mengubah paradigma pemerintah untuk tidak diskriminatif dan mengkomoditisasi  buruh migran, serta mengutamakan perlindungan  buruh migran yang komprehensif berdasarkan perspektif Hak Asasi Manusia dan keadilan gender;
  2. Mempercepat pembahasan RUU PPILN berdasarkan prinsip-prinsip dan pengaturan dalam Konvensi Migran PBB 1990 dan Konvensi CEDAW, khususnya Rekomendasi Umum no.26 tentang Buruh Migran Perempuan;
  3. Mengarmonisasikan seluruh peraturan perundang-undangan tentang buruh migran di Indonesia demi sistem migrasi yang aman dan berperspektif perlindungan buruh migran yang mengedepankan hak asasi manusia dan keadilan gender;
  4. Meratifikasi  Konvensi ILO no 189 mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga;
  5. Merespon cepat kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi buruh migran dan keluarganya yang terjadi disetiap tahapan migrasi  . , termasuk membangun sistem perlindungan buruh migran yang berada dalam situasi darurat, seperti karena perang, konflik politik, dan bencana alam.
  6. Membangun dan memperkuat mekanisme penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dan pelanngaran hak buruh migran, termasuk trafficking dan meningkatkan implementasi UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) untuk perlindungan  buruh migran.

Jakarta, 13 Desember 2012

(Wahidah Rustam)
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Kontak Person: Thaufiek (08121934205), Ummy (085219393413), Nisaa (085921191707)

Translate »