Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan “Menuntut Keadilan untuk Erwiana dan seluruh Buruh Migran Perempuan Indonesia”

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera

Menuntut Keadilan untuk Erwiana dan seluruh Buruh Migran Perempuan Indonesia
Hongkong, “Kota dengan Peradaban Perbudakan Modern”
Menjadi Tidak “Aman bagi Buruh Migran Perempuan

Tanggal 12 Januari, Lagu Indonesia Raya dan lagu kebangsaan lainnya bergema di depan gedung pemerintahan Hong Kong. Bendera merah putih berkibar diantara ribuan massa dan lagu-lagu kebangsaan terus bergema. Kantor KJRI Hongkong didemo lebih dari 300.000 pekerja migran di HongKong, setengahnya berasal dari Indonesia dan mayoritas perempuan.
Demonstrasi itu akhirnya berhasil mendesak Konjen Hong Kong Chalief Akbar Tjandradiningrat untuk berjanji akan memberikan bantuan hukum untuk Erwiana dan mendesak agen penyalurnya PT Graha Ayu Karsa membiayai seluruh biaya pengobatan Erwiana di Indonesia.

Buruh Migran Perempuan (BMP) berasal dari Desa Pucangan, Kecamatan Ngerambe, Ngawi, Jawa Timur ini, berangkat ke Hongkong pada tanggal 13 Mei 2013. Kehidupan Erwiana selama bekerja 8 (delapan) bulan di Hong Kong telah berubah. Setiap hari, Erwiana hanya diberi jatah makan satu kali, roti dua kali, dan minum hanya satu botol. Erwiana harus bekerja terus tanpa henti, hanya diperbolehkan istirahat selama 4 (empat) jam setiap harinya. Masih belum cukup sampai disitu, sejak awal Erwiana sering dipukul, dimarahi dan disiksa oleh Majikannya.

Atas perlakukan yang dihadapinya, Erwiana telah melakukan berbagai tindakan, seperti melarikan diri dari rumah dan menghubungi pihak PJTKI di Indonesia, dan menyampaikan penganiayaan fisik dan psikis akibat perlakuan majikan. Namun, solusi yang ditawarkan PJTKI, hanya memperburuk situasi Erwiana, dimana PJTKI kembali menyerahkan persoalan kepada agen Erwiana di Hongkong. Pihak agen mengembalikan Erwiana ke rumah majikan dengan alasan Erwiana belum habis masa potongan gaji. Penderitaan Erwiana pun harus berlanjut demi membayar potongan gaji yang seharusnya menjadi haknya.

Penganiayaan dan kekerasan yang dialami Erwiana, mengakibatkan tubuhnya nyaris lumpuh. Namun, Erwina tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan bantuan lainnya. Erwiana malah dipulangkan oleh majikan pada 9 Januari lalu. Pertemuan dengan sesama BMP Indonesia di Bandaralah yang akhirnya mengakibatkan kasus ini terungkap.

Sayangnya, pemerintahBNP2TKI tak berbuat banyak, bahkan melupakan pentingnya perlindungan BMP. Bahkan disaat pemerintah lambat merespons kasus-kasus pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap para BMP, BNP2TKI malah menyarankan korban untuk menempuh jalan damai. Dalam situs resmi BNP2TKI (http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9283-bnp2tki-kawal-kasus-tki-erwiana.html) yang saat ini telah dihapus, Christofel de Haan, Direktur Pelayanan dan Pengaduan BNP2TKI.menyatakan “Sejujurnya, kami lebih berharap agar keluarga menempuh jalur damai dengan majikannya daripada menempuh jalur hukum yang memerlukan waktu yang lama. Upaya ini tentu selain lebih cepat juga akan membawa manfaat bagi keluarga berupa uang yang besarnya bisa disepakati melalui pengacara yang ditunjuk oleh KJRI Hongkong nantinya.Pernyataan BNP2TKI, telah melukai hati dan rasa keadilan bagi BMP dan keluarganya. Penganiayaan merupakan tindak pidana, kejahatan yang tidak bisa dibayar dengan uang sebesar apapun.

Pemerintah tidak tegas dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kekerasan yang dialami oleh Erwiana. Keadilan masih sangat jauh bagi Erwiana. Presiden SBY, misalnya, hanya menelepon keluarga Erwiana, tanpa adanya tindakan tegas atas penyelesaian kasus ini. Sebagai Kepala Negara dan Kepala pemerintahan, SBY bertanggung jawab atas perlindungan Buruh Migran dan keluarganya melalui kebijakan dan implementasi kebijakan yang benar-benar berpihak pada buruh migran. Mengingat kasus kekerasan dan pelanggaran hak tidak hanya dialami oleh Erwiana. Sepanjang 2013, SP telah menangani 54 kasus kekerasan dan pelanggaran hak BMP. Dari 54 kasus tersebut, baru 27 kasus yang selesai, hal ini membuktikan lambatnya respon pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak BMP sebagai warga Negara Indonesia. Kasus-Kasus Buruh Migran terus bermunculan menandakan tidak adanya perlindungan yang memadai bagi mereka. Kasus Erwiana, hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami para BMP dan keluarganya, terutama yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kasus ini secara nyata telah memperlihatkan bahwa perbudakan modern masih berlangsung.

Lambannya respon dan sikap tidak tegas pemerintah, telah menunjukan paradigma dan kinerja pemerintah dalam menanggapi kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak Buruh Migran dna keluarganya. Alih-alih memandang Buruh Migran sebagai waga Negara yang hak-haknya harus dipenuhi, dilindungi, dan dihormati, pemerintah masih melihat Buruh Migran sebagai komoditas ekonomi yang dihitung sebagai deretan angka remitansi. Bahkan menjelang 2014, Buruh Migran juga menjadi sasaran komoditas politik untuk perolehan kertas suara. Alhasil, langkah-langkah yang dilakukan terhadap Buruh Migran masih parsial, dan tidak mampu melindungi Buruh Migran secara komprehensif.

Kasus kekerasan dan pelanggaran hak BMP yang terjadi tidak terlepas dari kebijakan yang berlaku saat ini. Meski Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, namun Indonesia masih menggunakan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang secara nyata belum sepenuhnya mengacu pada Konvensi Migran PBB 1990. Di bawah pengaturan UU tersebut, sistem migrasi Indonesia layaknya trafficking yang dilegalisasi oleh UU. Pasalnya, UU tersebut menyerahkan tanggung jawab dalam seluruh proses vital migrasi kepada pihak swasta, tanpa adanya mekanisme pengawasan yang jelas dan memadai.

Janji pemerintah dan DPR untuk segera revisi UU No. 39 Tahun 2004 juga masih berupa janji tanpa arti. Pembahasan yang panjang sejak prolegnas tahun 2009, hanya menghasilkan judul RUU. Tidak hanya itu, janji presiden SBY di hadapan dunia pada 16 Juni 2011 pada saat lahirnya Konvensi ILO No. 189 tentang kerja layak tidak juga terealisasi.

Untuk itu, Solidaritas Perempuan menuntut pemerintah untuk segera mewujudkan perlindungan yang komprehensif bagi Buruh Migran dan keluarganya dengan:

  1. Revisi UU No 39 Tahun 2004 dengan menjamin hak-hak Buruh Migran sebagaimana termuat di dalam Konvensi Migran 90, CEDAW, dan Konvensi ILO No. 189
  2. Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT
  3. Bahas dan sahkan UU Perlindungan PRT yang mengaku Pekerja Rumah Tangga sebagai Pekerja dengan hak-hak dan kondisi kerja layak, serta benar-benar melindungi Pekerja Rumah Tangga baik di dalam maupun di luar negeri
  4. Wujudkan mekanisme pengawasan dan pendampingan untuk menjamin perlindungan hak bagi Buruh Migran di luar negeri.
  5. Penyelesaian kasus Erwiana secara tuntas dan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak Erwiana sebagai Buruh Migran Perempuan terpenuhi.

Jakarta, 24 Januari 2013

 

Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

CP: Nisaa Yura (081380709637), Andriyeni (08126790950)

Translate »