“Damai Utang Namun Memiskinkan Perempuan”
Monday, 28 November 2011 11:42
Masuknya Indonesia menjadi anggota World Bank sejak tahun 1954 (dalam hal ini IBRD – 1954 dan IDA – 1968) dan menjadi anggota Asian Development Bank (ADB) sejak tahun 1966, menjadi titik awal jeratan utang di Indonesia. Hal ini terlihat dengan jumlah utang Indonesia hingga Juli 2011 telah mencapai mencapai Rp 1.733,64 triliun, naik Rp 56,79 triliun dibanding Desember 2010[1], dimana Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank/ADB) dan Bank Dunia (World Bank) merupakan kreditur Indonesia terbesar, dimana jumlah utang Indonesia ke ADB mencapai USD 10,81 miliar dan World Bank sebesar USD 11,36 miliar.
Banyaknya jumlah dana yang diterima Indonesia dari lembaga keuangan internasional tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, bahkan sebaliknya, kehidupan masyarakat di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Kesimpulan yang cukup mengejutkan keluar dari the 2000 bipartisan Congressional International Financial Advisory Commission (the Meltzer Commission) yang menyatakan bahwa terkait keberlanjutan proyek, setidaknya Paling sedikit 70% proyek ADB di Indonesia, tidak menghasilkan keuntungan ekonomi atau sosial jangka panjang, dan malah membawa bencana kepada Indonesia yang memang sudah sangat terbebani utang[3]. Tidak dipungkiri lagi, bahwa jeratan hutang ADB dan World Bank, telah membuat kehidupan perempuan di Indonesia semakin parah. Jumlah penduduk miskin di Indonesia semakin meningkat. Pada 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 40,4 juta orang, dan pada 2010 menjadi 43,1 juta orang, atau meningkat sekitar 2,7 juta orang [4]. Pembayaran utang yang dibebankan pada anggaran negara jelas berimplikasi pada berkurangnya anggaran untuk kesejahteraan rakyat, baik yang melalui subsidi maupun pelayanan dasar. Terlihat pula dalam APBN 2011 yang mengalokasikan pembayaran bunga utang luar negeri mencapai 3,3% dari total belanja negara, sedangkan subsidi pangan hanya 1,7% dan kewajiban pelayanan publik hanya 0,2%. Belum lagi penindasan dan kekerasan terhadap perempuan, kerap terjadi karena dampak dari proyek yang didanai oleh ADB dan World Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini juga berdampak pada semakin miskinnya rakyat Indonesia, khususnya perempuan.
Hal tersebut juga dialami oleh masyarakat Aceh, mengingat sejumlah proyek yang dilakukan di Aceh menggunakan dana dari World Bank dan ADB. Program rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh pasca tsunami yang terjadi pada Deseber 2004, yang disebut dengan Earthquake dan Tsunami Emergency Support Project (ETESP), meliputi sektor pertanian, perikanan, irigasi, pengembangan usaha kecil dan mikro, perumahan, sanitasi dan air bersih, kesehatan, pendidikan, perhubungan, tenaga listrik, tata ruang dan pengelolaan lingkungan
serta tata kelola pengawasan. Dengan total dana sebesar USD 291 juta, ternyata proyek ADB di Aceh masih menyisakan permasalahan bagi masyarakat aceh, termasuk perempuan. Seperti laporan Lembaga Bantuan Hukum Aceh tahun 2008 tentang kasus pembebasan lahan untuk pembangunan jalan di desa Ulee Lheu Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, yang mengatakan masih terdapat 10 KK yang belum mendapatkan ganti rugi atas proyek tersebut.
Permasalahan tersebut juga terjadi pada program tambak, yang sampai saat ini masih menimbulkan permasalahan dimasyarakat, seperti ganti rugi lahan, dan pengelolaan tambak yang merusak lingkungan. Ini terjadi karena selama ini, ADB tidak secara sungguh – sungguh melibatkan masyarakat, terutama perempuan. Padahal didalam kebijakan ADB jelas mengatakan pentingnya keterlibatan masyarakat dan perempuan dalam setiap proyek yang didanai oleh ADB.
Belum lagi ADB dan World Bank telah berkomitmen untuk memberikan sebesar USD 3,6 juta pada kegiatan REDD+ Readiness Preparation Support. Tidak hanya Bank Dunia, ADB dan IFC juga telah menyediakan dana untuk proyek – proyek REDD di Indonesia. Seperti penyediaan Tehnical Asistensi untuk “Forest Investment Strategy” oleh ADB sebesar USD 225.000,-. Berdasarkan pengalaman dari beberapa daerah, seperti Jambi dan Kalimantan, yang telah melakukan proyek persiapan REDD, telah menimbulkan berbagai permasalahan, seperti konflik lahan, penggusuran masyarakat adat, bahkan tidak jarang yang berakhir pada kekerasan.
Hutan merupakan identitas bagi masyarakat adat dan perempuan adat. Pemanfaatan dan Jika pemerintah Aceh menggunakan dana World Bank dan ADB pada pelaksanaan proyek percontohan REDD Ulu Masen, maka akan semakin menambah sederetan permasalahan yang ada di Aceh, serta menguatkan kekerasan terhadap perempuan.
Oleh karena itu Solidaritas Perempuan Aceh dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyatakan sikap, sebagai berikut, yaitu :
- Mendesak pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus akibat proyek ADB, World Bank dan proyek dana hutang lain yang merugikan masyarakat di Aceh.
- Mendorong perempuan Aceh untuk terlibat aktif didalam perencanaan pembangunan di Aceh dan merespon terhadap segala kebijakan yang tidak adil terhadap perempuan.
- Pemerintah Aceh tidak menggunakan dana – dana utang, baik yang didanai World Bank maupun ADB dalam pelaksanaan proyek REDD di Aceh.
Banda Aceh, 27 November 2011
Badan Eksekutif Komunitas
Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh
Ketua Badan Eksekutif Komunitas
Donna Swita Hardiani
081360684549