Thursday, 21 April 2011 14:24
Perenungan Kartini:
Hentikan Penggunaan Tubuh Perempuan Sebagai Alat Politik Negara atas Nama Agama.
“…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..”[1] – Kartini
Hari kelahiran Kartini, yang jatuh pada tanggal 21 April, dimaknai Solidaritas Perempuan sebagai momen melakukan renungan terhadap gagasan Kartini sesuai dengan realitas konteks perempuan masa kini. Besarnya kepentingan atas nama agama terhadap tubuh perempuan telah disadari Kartini. Menurutnya, kepentingan inilah yang membatasi pilihan dan otonomi perempuan. Berulang kali pemikirannya soal pembatasan perempuan atas nama agama tertuang dalam bukunya. Pun saat Kartini telah tiada, tubuh Kartini dinodai oleh sejarah dan selalu dilekatkan dengan kepentingan politik bercitarasa patriarkis baik atas negara maupun atas nama agama.
Tidak berhenti pada politisasi tubuh Kartini, reformasi politik yang memberikan janji keadilan pada seluruh warga negaranya justru memperlebar jurang diskriminasi terhadap perempuan. Negara malah mengorbankan tubuh-tubuh perempuan lain dalam bentuk kebijakan diskriminatif dan pembiaran pada praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan atas nama agama. Formula perlindungan dan moralitas perempuan digunakan negara untuk menutup akses terhadap perempuan. Tubuh perempuan sebagai tiang negara selalu menjadi jargon bermuatan motif terselubung untuk mengekang mobilitas dan ruang gerak perempuan.
Hal ini memperlihatkan bahwa hambatan atas nama agama tidak hanya dialami Kartini dan perempuan pada masa itu namun juga pada perempuan di masa kini. Otonomi tubuh perempuan selalu menjadi persoalan krusial sehingga penting untuk diatur oleh negara. Kebebasan perempuan selalu dinilai sebagai ancaman degradasi bangsa. Nilai ini yang menjelaskan mengapa negara gemar memproduksi kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Secara simultan, kebijakan diskriminatif ini kemudian dibarengi dengan segala rupa praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual, psikologis, sosial, dan fisik terhadap perempuan. Hal ini terjadi di Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Tangerang, Jogjakarta, dan berbagai wilayah lainnya. Indonesia kini memiliki 156 perda-perdes diskriminatif dan puluhan raperda diskriminasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Relevansi antara dosa dan politik atas nama agama menjadi buah sindiran Kartini. Sindirannya ditujukan pada aktor-aktor hipokrit di balik kepentingan politisasi tubuh perempuan. Hal ini dikarenakan para aktor politisasi memiliki standar ganda dalam menilai moralitas perempuan.
Kita dapat menemukannya pada kasus Doktorandus Haji Arifinto yang menonton film pornografi di tengah rapat paripurna DPR. Ironinya, Doktorandus Haji Arifinto adalah anggota DPR yang berlatarbelakang partai politik pengusung agama sebagai ideologi negara. Partai politiknya adalah juga fraksi tergencar memproduksi UU Pornografi sekaligus bersuara paling lantang soal moralitas perempuan.
Standar ganda moralitas perempuan dinilai Kartini sebagai penghambat. Kesadaran ini kemudian dituliskannya: “pada setiap zaman, selalu ada gadis-gadis pemberontak”. Pemberontakan perempuan bukan ancaman melainkan sebuah indikasi gerakan perubahan sosial. Pendidikan bagi Kartini adalah sarana pembebasan, namun bagi negara, pendidikan terbaik bagi perempuan adalah benteng moralitasnya. Kontradiksilah ini yang harus dibenahi untuk mewujudkan cita-cita Kartini.
Melalui kampanye Kartini Untuk Selamanya, Solidaritas Perempuan yang konsern terhadap perjuangan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan mendesak pemerintah untuk:
- Mencabut seluruh kebijakan-peraturan diskriminatif yang mengancam perempuan dan keberagaman karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
- Menindak hukum bagi para pembuat kebijakan yang tidak konsisten menjalankan fungsi-fungsi tata kelola negara dan menggunakan tubuh perempuan sebagai objek
- memberikan perlindungan atas kebebasan dan ruang gerakan, terhindar dari berbagai bentuk ancaman sebagai wujud perlindungan hak konstitusi sebagai perempuan, sebagai kelompok minoritas, dan sebagai warga negara Indonesia
Jakarta, 21 April 2011
Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan (SP)
Contact Person:
Andi Cipta A. +6285693006315/ iam_indonesian@yahoo.com