Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan “Dalam Menjadi Perempuan Tanpa Rasa Was-was

Thursday, 08 December 2011 14:31

Sunat Perempuan Sebagai Bentuk Kekerasan dan Pelanggaran Hak Seksual Perempuan

Solidaritas Perempuan (SP) membangun rangkaian kampanye Menjadi Perempuan Tanpa Rasa Was-was dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung sejak 25 November 2011 – 10 Desember 2011. Dalam kampanye ini, SP bertujuan untuk memberikan pendidikan kritis mengenai kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi yang dialami oleh perempuan. Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang masih menjadi polemik adalah sunat perempuan.

Praktik ini masih dilakukan karena didukung oleh tradisi budaya di Indonesia. Padahal, sunat perempuan baik secara ritus simbolis atau tidak merupakan bentuk penghapusan hak seksual perempuan, penstereotipan gender, dan sumber masalah dalam kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, nilai agama manapun tidak menganjurkan praktik ini. Laporan Amnesty International 2010 bertajuk Tak Ada Pilihan: Hambatan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia mencatat sunat perempuan kembali marak beberapa tahun terakhir ini. Kembalinya fenomena ini dijustifikasi oleh tafsir agama yang keliru dan kelamin perempuan tetap dianggap kotor sehingga perlu “dibersihkan” sehingga meskipun dianggap hanya sebagai ritus simbolik, pendarahan pun masih terjadi dan menyebabkan luka.

Medikalisasi sunat perempuan oleh tenaga kesehatan sesungguhnya telah dilarang melalui Surat Edaran tentang laranan Medikalisasai Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan Nomor HK.00.07.1.3.1047a yang dirilis oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan tahun 2006. Hanya saja, selang 4 tahun kemudian, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 justri diterbitkan setahuan sebelumnya. Permenkes ini meregulasi praktik medikalisasi sunat perempuan dan berlaku lebih tinggi ketimbang Surat Edaran sebelumnya. Dari kajian SP, permenkes ini dikeluarkan secara tergesa-gesa sehingga kecacatan hukum terlihat di setiap elemen peraturannya.

Pertama, permenkes ini dibuat dengan tujuan melindungi perempuan. Padahal, sebagaimana dikemukakan di atas sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak memiliki manfaat dari segi kesehatan. Sesuai dengan ratifikasi CEDAW UU No. 7 Tahun 1984, negara bertugas untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari bentuk-bentuk kekerasan yang dijustifikasi oleh budaya dan agama. Permenkes ini juga melanggar hak anak yang dilindungi oleh negara melalui UU perlindungan anak.

Kedua, permenkes ini mendefinisikan sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Faktanya, tindakan menggores ini tentunya akan menimbulkan rasa sakit (apalagi bagi seorang bayi), terutama jika itu dilakukan di daerah yang sensitif. Dampaknya menjadi hubungan yang inkonsisten dengan pasal 3 ayat 2 yakni setiap pelaksaan sunat perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diinformasikan kemungkinan terjadinya pendarahan, infeksi, dan rasa nyeri.

Ketiga, permenkes ini secara eksplisit menyatakan bahwa setiap pelaksaan sunat perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang disunat, orangtua, dan/atau walinya. Pertimbangan anak dalam pilihan disunat atau tidak menjadi bentuk keanehan sebab seorang bayi atau balita belum dapat berkomunikasi secara jelas mengenai perasaannya apalagi untuk dimintai pertimbangan dalam keputusan yang kemudian akan mempengaruhi kehidupan seksualnya kelak.

Keempat, soal keahlian tenaga kesehatan dalam medikalisasi sunat perempuan. Kenyataannya, para tenaga kesehatan yang melakukan praktik sunat perempuan ini tidak mendapatkan pendidikan mengenai sunat ketika mereka menimba ilmu mengenai medis. Mereka mendapatkan pelajaran itu ketika sudah berpraktek, dilakukan secara trial/error dari senior-senior mereka terdahulu yang sudah pernah melakukan praktik sunat perempuan.

Faktor kecacatan hukum di atas juga memperlihatkan pergantian tata negara melalui kabinet tidak menjamin piranti negara yang berperspektif dan keluar dari langkah progresif penegakan hak asasi perempuan. Rantai kekerasan terhadap perempuan kini telah dilegalkan oleh negara. Pembatasan otoritas tubuh perempuan atas hak seksualnya telah diregulasi oleh negara. Hak yang paling privat dimiliki oleh perempuan kini dibatasi oleh kekuasaan, atas nama perlindungan.

Melalui kampanye Menjadi Perempuan Tanpa Rasa Was-was, Solidaritas Perempuan yang konsern terhadap perjuangan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan mendesak pemerintah untuk:

  1. Mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan
  2. Secara konsisten memberlakukan Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan Nomor HK.00.07.1.3.1047a tahun 2006 dan memperbaharuinya menjadi peraturan dengan kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.

Jakarta, 1 Desember 2011

Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan (SP)

Contact Person:
Andi Cipta A. +6285693006315/ iam_indonesian@yahoo.com

Translate »