Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan “Hentikan Kekerasan Negara terhadap Perempuan, Akhiri WTO”

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
“Hentikan Kekerasan Negara terhadap Perempuan, Akhiri WTO”
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Setiap tahunnya pada 25 November, dunia memperingati Hari untuk PenghaDSC_0246pusan Kekerasan terhadap Perempuan. Peringatan ini merupakan seruan aksi dari perempuan-perempuan di seluruh dunia yang hingga kini mengalami kekerasan dan ketidakadilan dalam hidupnya di berbagai ranah kehidupan baik yang dilakukan oleh individu, Negara maupun non-Negara. UN Women mencatat jumlah yang sungguh mencengangkan, yaitu mencapai 70% dari perempuan di dunia mengalami kekerasan dalam hidupnya. Kofi Annan ketika menjadi Sekjen PBB telah menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat ditolerir sedikit pun.

Gerakan perempuan selama ini bekerja keras untuk mengeluarkan persoalan kekerasan di ranah domestik menjadi persoalan publik. Masyarakat terutama negara harus bertanggung jawab dalam upaya penghapusannya. Walaupun ada kemajuan yang patut diapresiasi, UU PKDRT misalnya. Namun sayangnya kekerasan terhadap perempuan masih dimaknai sempit yaitu kekerasan fisik, seksual ataupun verbal yang dilakukan oleh orang per orang/kelompok terhadap perempuan. Fakta bahwa perempuan terus kehilangan akses dan kontrolnya terhadap sumber-sumber kehidupan akibat kebijakan negara terus diabaikan.

Salah satu bentuk nyata adalah kekerasan negara terhadap perempuan yang muncul akibat keanggotaan Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) dan perdagangan bebas. Sejak WTO dibentuk, sudah banyak kasus yang menunjukkan dampak negatif dan pelanggaran hak dari perdagangan bebas. Petani kehilangan lahan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit maupun tambang dan terus merugi karena dumping dan banjir impor pangan murah, kehilangan kontrol dalam pengelolaan benih lokal; nelayan tradisional semakin terhimpit hidupnya tanpa subsidi dari Pemerintah, hilangnya otonomi tubuh perempuan; bahkan alam pun menjadi korban dari rezim perdagangan bebas karena terus dieksploitasi dan menjadi komoditas yang menguntungkan dan didominasi oleh pemilik modal. Situasi ini mendorong meningkatnya buruh migran tanpa perlindungan negara. Rezim perdagangan bebas telah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perusahaan-perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan ADB untuk merampas sumber kehidupan rakyat dan mengabaikan perlindungan hak-hak warga Negara, khususnya perempuan.

Di antara situasi tersebut, perempuan adalah kelompok masyarakat yang paling rentan terkena dampak, namun situasi dan pengalaman perempuan tidak pernah diperhitungkan. Padahal secara nyata terlihat di pasar-pasar tradisional perempuan menjadi penggeraknya. Para perempuan menggerakkan pasar dengan saling gotong-royong, yang tentunya hal ini bertentangan dengan konsep persaingan dalam perdagangan internasional. Sistem maupun kebijakan perdagangan selalu buta gender karena tidak pernah memperhitungkan situasi dan pengalaman perempuan, dan mengabaikan dampak kebijakan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Mekanisme dan kebijakan WTO telah menghilangkan sumber-sumber kehidupan perempuan. Negara hanya berfokus pada regulasi dan perjanjian perdagangan, mengabaikan persoalan lebih luas, nilai dan faktor yang relevan terhadap keadilan dan pembangunan. Negara tidak pernah melakukan analisis gender dan menganggap bahwa pengetahuan dan pengalaman perempuan tidak penting untuk didengarkan dan diperhatikan. Dalam konteks inilah negara telah melakukan pelanggaran dan pengabaian hak perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan memperkuat ketidakadilan gender melalui kebijakan yang dihasilkannya.

Untuk itu, dalam rangka memperingati Hari untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Internasional, Solidaritas Perempuan menuntut negara untuk:

  1. Menghentikan kekerasan negara terhadap perempuan dengan melakukan evaluasi terhadap perjanjian perdagangan bebas yang merugikan kepentingan rakyat, terutama perempuan dan mendorong Indonesia keluar dari keanggotaan WTO;
  2. Memperjuangkan kepentingan rakyat dan perempuan Indonesia dalam negosiasi-negosiasi yang akan dilakukan dalam rangkaian Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX WTO, tidak memberikan perlakukan khusus dan istimewa kepada perusahaan-perusahaan transnasional, lembaga keuangan internasional ataupun kepentingan asing.
  3. Menciptakan dan mewujudkan ekonomi adil yang berpihak kepada kepentingan perempuan, berdasarkan pengalaman dan kearifan lokal perempuan.

Jakarta, 20 November 2013

Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

CP: Arieska (arieska@solidaritasperempuan.org)

Translate »