Refleksi Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Jakarta, 26 November 2012
Setiap 25 November -10 Desember, seluruh dunia memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dimana perempuan diseluruh dunia menyuarakan dan memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai cara. Namun, faktanya hingga saat ini, kekerasan masih terus terjadi diberbagai belahan dunia, yang terlihat dengan semakin memburuknya situasi dan rentannya perempuan mengalami kekerasan yang disebabkan oleh Negara. Kejadian yang menjadi perhatian seluruh pejuang HAM di dunia saat ini adalah peperangan yang terjadi di Palestina, akibat serangan Israel yang dilakukan oleh militer dengan cara membabibuta, menjadi perhatian seluruh pejuang HAM di seluruh dunia. Peperangan telah mengorbankan nyawa masyarakat sipil perempuan dan anak. Bahkan tidak sedikit perempuan yang mengalami trauma berkepanjangan akibat perang dan serangan yang dilakukan oleh tentara/militer Israel.
Sementara di Indonesia, yang sudah meratifikasi Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) sejak tahun 1984, dalam implementasinya masih belum dapat melindungi perempuan dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh individu secara langsung maupun Negara melalui kebijakan-kebijakan patriarkhis dan berorientasi pada pasar. Sistem patriarkhi yang tercermin dalam kebijakan ditingkat Nasional maupun Lokal, menghasilkan praktek -praktek dan tindakan yang mengabaikan hak-hak perempuan, memperkuat kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan (HAP), serta mengancam sumber-sumber dan keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya perempuan. Kepentingan aktor-aktor global melalui perusahaan multinasional dan transnasional, dalam berbagai perjanjian internasional seperti FTA, G-20, dll, sangat jelas terlihat melalui pola pembangunan yang terjadi di Indonesia saat ini. Sistem tersebut selanjutnya mendapatkan dukungan lembaga keuangan internasional (World Bank, Asia Development Bank, dan sebagainya), terlihat dengan jumlah hutang Indonesia per-2012 telah mencapai Rp 1.944,14 trilliun.
Berbagai pelanggaran HAM dan HAP akibat kebijakan pembangunan yang dikeluarkan oleh Negara, terlihat dengan semakin banyaknya konflik sumberdaya alam, pengrusakan dan pencemaran lingkungan, perampasan lahan, penggusuran sumber kehidupan perempuan/tempat tinggal dan kekerasan baik fisik, seksual, psikis maupun ekonomi yang terjadi terhadap perempuan. Hingga Juli 2012, telah terjadi 115 kasus konflik lahan[1] yang melibatkan aktor-aktor globalisasi tersebut dengan mendapatkan perlindungan dari Negara melalui pelibatan aparat militer untuk mengawal keamanan seluruh proses kerja pemilik modal dengan cara intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat khususnya perempuan dan para pembela HAM. Seperti yang terjadi di perusahaan tambang, proyek infrastruktur, proyek-proyek iklim, misalya REDD+, dan perkebunan skala besar, dimana 2 perempuan menjadi korban penembakan karena timbulnya konflik antara warga dan perusahaan PTPN Cinta Manis Kab. Ogan Ilir-Sumatera Selatan.
Situasi lain, adalah peran negara dalam perampasan hak perempuan atas pangan. Negara melalui kebijakannya telah melakukan pembiaran perampasan hak perempuan atas pangan dan penghancuran sistem pengelolaan pangan perempuan, yang dilakukan perusahaan-perusahaan dan lembaga keuangan internasional. Penguasaan sektor pangan dari produksi hingga distribusi, seperti benih, telah menghilangkan hak perempuan atas pengelolaan pangannya. Indonesia telah kehilangan lahan pertanian sekitar 8,2 juta hektar untuk memenuhi kebutuhan pangan, namun hal tersebut tidak menjadi kekhawatiran negara. Bahkan negara terus melakukan praktek-praktek alih fungsi lahan produktif atas nama pembangunan, salah satunya dengan disahkannya UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, UU Pangan, termasuk MP3EI. Walaupun dalam UU No 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian produktif, menegaskan bahwa alih fungsi lahan seharusnya tidak memakai lahan-lahan pertanian produktif, namun kebijakan tersebut belum terimplementasi sampai saat ini.
Hilangnya sumber-sumber kehidupan dibeberapa wilayah di Indonesia, telah mendorong perempuan untuk bermigrasi ke Luar Negeri, meskipun tanpa jaminan perlindungan hak dan rentan kekerasan. Keputusan perempuan untuk melakukan migrasi, juga dilatarbelakangi oleh peran gender perempuan sebagai perawat dan memastikan kebutuhan keluarga tercukupi. Ratifikasi Konvensi Migran 1990 pada April 2012 lalu, belum diikuti dengan implementasi yang cukup, termasuk dalam hal harmonisasi kebijakan, dalam rangka mewujudkan perlindungan yang komprehensif bagi Buruh Migran. Berbagai Pelanggaran hak dan kekerasan terus dialami buruh migran perempuan seperti gaji yang tidak dibayar, penganiayaan, pemukulan, perkosaan termasuk, kasus BMP Malaysia yang dilakukan oleh Polisi Malaysia. BMP bahkan mengalami kriminalisasi dan ancaman hukuman mati, termasuk kekerasan dalam proses peemriksaan di kantor polisi. Dalam kasus kriminalisasi yang ditangani Solidaritas Perempuan misalnya, seorang BMP yang bekerja di Timur Tengah, dituduh memunuh. Dia ditangkap, dan dipenjara untuk tuduhan yang tidak ia lakukan. Dia dipukuli, tidak boleh tidur selama lima hari, serta dipaksa mengaku melakukan pembunuhan.
Kekerasan atau militerisme juga berdampak pada buruh migran perempuan yang bekerja di negara konflik atau perang. Ancaman keselamatan bagi buruh migran perempuan yang bekerja negara konflik/perang belum menjadi perhatian serius negara. Saat ini, SP menangani 5 kasus BMP di Suriah. Mereka terancam keselamatannya, dilarang pulang, kehilangan kontak dengan keluarga, serta bekerja dalam situasi rentan dan berbahaya di pengungsian.
Ketidakadilan terhadap perempuan semakin menguat dengan kebijakan-kebijakan diskriminatif dan mengatasnamakan agama. Hingga 2012, terdapat 282 kebijakan diskriminatif, baik di nasional maupun daerah[2]. Kebijakan yang mengontrol tubuh, pikiran, tindakan dan hasil kerja perempuan, semakin memperkuat peran Negara dalam membatasi perempuan dalam mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dan kebijakan tersebut berpotensi menghancurkan pluralisme di Indonesia. Pembiaran Negara terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan moralitas, terlihat dengan lebih dari 92 kasus kekerasan diberbagai wilayah di Indonesia yang mengancam kebebasan menjalankan keyakinannya.
Kekerasan dan pelanggaran hak perempuan di berbagai wilayah di Indonesia, akan semakin meningkat dan tidak terkontrol dengan tidak adanya tindakan tegas atau pembiaran dari negara. Sejumlah konvensi telah dirativikasi oleh pemerintah Indonesi seperti UU No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Sipil dan Politik, dan Ratifikasi Konvensi Migran PBB 1990. Ironisnya, ratifikasi konvensi tesebut tidak menjadi acuan dalam merancang dan membuat kebijakan Negara yang memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap HAM dan HAP. Dukungan terhadap aktor-aktor globalisasi yang melibatkan militer dalam pengamanan, akan menjadi ancaman masyarakat khususnya perempuan akan semakin rentan mengalami kekerasan, pelecehan dan sebagainya. Cara bertindak yang dilakukan oleh kelompok masyarakat diberbagai wilayah di Indonesia juga menggunakan pola pendekatan militerisme, yang mencirikan tindakan kekerasan
Solidaritas Perempuan dalam rangka memperingati kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mendesak Negara untuk segera :
- Mencabut segala kebijakan pembangunan yang merupakan intervensi dari aktor-aktor global yang berpotensi melanggengkan kekerasan dan ketidak adilan terhadap perempuan di berbagai ranah dan wilayah di Indonesia.
- Memperhatikan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat khususnya perempuan, diantaranya kebijakan yang semakin meminggirkan dan menghilangkan akses dan control perempuan terhadap lingkungan dan sumberdaya alam, pengelolaan pangan, perlindungan terhadap buruh migran perempuan dan keluarganya, dan penghentian segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan pendekatan militerisme dalam seluruh tindakannya, termasuk mengkaji ulang kebijakan kerjasama Menteri Lingkungan Hidup dengan TNI
- Mengusut dan menyelesaikan dengan tuntas berbagai praktek kekerasan yang dialami oleh masyarakat, perempuan dan aktivis pembela HAM dan HAP yang dikriminalisasi atas pembelaan yang dilakukan.
- Memaksimalkan implementasi seluruh konvensi yang telah diratifikasi oleh pemerintah yang bertujuan untuk menghentikan tindakan diskriminasif dan penghentian kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya, termasuk perlindungan terhadap buruh migran perempuan dinegara konflik atau peperangan.
- Segera Melakukan Harmonisasi kebijakan dengan berdasar pada Konvensi Migran 1990, dan CEDAW, terutama di dalam revisi UU No. 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
- Membangun sistem perlindungan yang komprehensif bagi perempuan, termasuk perempuan petani, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan yang hidup diwilayah kebijakan diskriminatif, dan buruh migran perempuan.
- Menghentikan segala bentuk keterlibatan lembaga keuangan internasional dalam kebijakan maupun rencana pembangunan di Indonesia, dan mendorong Negara Indonesia untuk keluar dari keanggotan World Bank dan Asia Development Bank.
Jakarta, 26 November 2012
Hormat Kami,
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Kontak Person :
Div. Pangan : Ade Herlina (081310088232)
Div. Polotisasi Agama : Donna Swita (081317710690)
Div. Migrasi, Trafficking & AIDS :Thaufiek Zulbahary (08121934205)
Div. Perempuan dan Konflik Sumber Daya Alam : Aliza (0818129770)
[1] Data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Juli 2012
[2] Data Komnas Perempuan, 2012