Pada 29 Januari 2013 kembali terjadi kekerasan aparat dan kriminalisasi terhadap aktivis dan petani dalam kasus konflik agraria antara Petani Ogan Ilir dengan PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis. Beberapa aktivis dan petani mengalami pemukulan dan saat ini masih ditahan di Polda Sumsel. Kekerasan dan kriminalisasi ini diawali dengan aksi petani yang diikuti kurang lebih 500 petani melakukan long march dari simpang Polda menuju Polda Sumsel. Aksi di depan kantor Polda Sumsel ini diisi dengan pembacaan yasin dan orasi, menuntut agar POLDA Sumsel segera mencopot Kapolres Ogan Ilir, AKBP Denni Dharmapala, yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi berdarah 27 Juli 2012 di Desa Limbang Jaya – Ogan Ilir yang menyebabkan meninggalnya Angga bin Dharmawan (13 Th), teramputasinya lengan kanan Rusman (36 Th), dan beberapa warga lainnya mengalami luka tembak, puluhan orang dikriminalisasi, serta hampir banyak rakyat mengalami traumatik yang dalam hingga saat ini. Selain itu pada aksi ini, petani juga menuntut agar tanah rakyat Desa Betung yang telah dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis dikembalikan pada warga; dan secara mutlak menghentikan turut campur Polri/TNI dalam konflik agraria. Namun, tiba-tiba polisi membubarkan massa dengan melakukan penyerbuan, pemukulan dan penangkapan pada beberapa aktivis dan petani.[1] Ada 14 aktivis dan petani yang mengalami tindak kekerasan Polses Sumsel, di mana salah satunya adalah perempuan yang mengalami memar di tubuhnya.
Aksi ini juga merupakan kepanjangan dari terjadinya kekerasan aparat dan pengrusakan yang terjadi di Desa Betung beberapa hari sebelumnya. Perampasan lahan yang berujung pada hilangnya akses dan kontrol masyarakat, laki-laki dan perempuan, terhadap lahan sumber penghidupan mereka. Warga menjadi kehilangan mata pencaharianya sebagai petani. Karena itulah warga bersatu memperjuangkan hak mereka atas lahan. Namun, ironisnya aksi mereka ini dianggap melawan hukum sehingga terjadi kriminalisasi, pemukulan, dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat negara, yang mana bertentangan dengan kewajiban negara yang seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara yang sedang memperjuangkan haknya. Peristiwa kekerasan dan kriminalisasi ini bukan lah yang pertama dan telah menjadi peristiwa yang berkepanjangan di dalam konflik agraria antara Petani Ogan Ilir dengan PTPN VII Cinta Manis.
Peristiwa berdarah yang terjadi pada 27 Juli 2012 di Desa Limbang Jaya tersebut, di mana korban penembakannya pun termasuk perempuan dan anak-anak, masih menyisakan trauma mendalam bagi masyarakat Ogan ilir, laki-laki dan perempuan. Situasi perempuan di dalam konflik agraria tidak pernah dijadikan perhatian oleh negara, termasuk yang terjadi di Ogan Ilir. Padahal perempuan selalu berada di garis terdepan di dalam memperjuangkan tanahnya demi kelangsungan hidup keluarganya. Perempuan pun menjadi tameng ekonomi dan keamanan keluarga, apabila para laki-laki ditahan polisi ataupun menyembunyikan diri untuk menghindari kriminalisasi. Karena mereka harus menghidupi keluarganya. Selain itu, para perempuan harus menjaga rumah dan menjawab pertanyaan dari brimob yang sedang melakukan penyisiran mencari suami-suami mereka. Mereka harus menghadapi intimidasi dan mengalami ketakutan untuk beraktivitas di luar rumah, karena khawatir akan ditangkap karena melakukan aksi. Padahal mereka hanya mempertahankan apa yang menjadi haknya. Tidak ada upaya dari negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan atau bahkan melakukan pemulihan terhadap dampak yang terjadi akibat tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan aparatnya.
Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan aparat negara, baik terhadap laki-laki, perempuan maupun anak-anak demi melindungi perusahaan sangat tidak dapat diterima dan harus segera dihentikan. Konflik agraria yang terus dilanggengkan oleh negara tanpa adanya upaya penyelesaian yang adil bagi warga akan semakin memiskinkan masyarakat petani kita. Konflik agraria yang dipenuhi oleh kekerasan aparat dan kriminalisasi ini jelas menunjukkan bahwa negara ini telah melakukan kekerasan negara serta mengabaikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak bagi warga negaranya.
Solidaritas Perempuan menilai bahwa negara telah melakukan pembiaran atas kekerasan dan pelanggaran HAM dan HAP yang dilakukan oleh aparat negara dan perusahaan terhadap warga Ogan Ilir – Sumatera Selatan, dan menuntut:
- Pembebasan semua aktivis dan petani yang sampai saat ini ditahan di Polda Sumsel.
- Pengusutan dan tindakan tegas pelaku kriminalisasi, penangkapan, dan pemukulan aktivis dan petani Ogan Ilir, serta pemulihan fisik dan psikis bagi korban kekerasan dan penangkapan, dengan pendekatan khusus bagi korban perempuan
- Kembalikan tanah kepada Petani Ogan Ilir.
- Penghentian segala bentuk kekerasan dan militerisme pada warga negara, khususnya perempuan dan menarik aparat kepolisian/militer dari wilayah konflik agraria
- Jaminan perlindungan bagi petani dan anggota keluarganya yang memperjuangkan hak-haknya atas tanah
- Reforma agraria sejati yang berkeadilan gender
Jakarta, 31 Januari 2013
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan