REFLEKSI ATAS PERSETUJUAN PROYEK PEMBANGUNAN JALAN REGIONAL : ADB MENGABAIKAN HAK PEREMPUAN, MASYARAKAT LOKAL DAN HAK MASYARAKAT ADAT
Wednesday, 30 November 2011 15:41
Solidaritas Perempuan menyatakan kekecewaanya kepada ADB, akibat disetujuinya Regional Road Development Project. Persetujuan proyek pembangunan jalan regional pada 24 November 2011 oleh ADB, adalah satu bukti ADB tidak mengakui hak – hak perempuan, masyarakat lokal dan hak – hak masyarakat adat.
Menurut ADB, proyek ini memiliki kategori A dalam penggusuran, yang artinya ini berpotensi dampak besar terhadap sumber – sumber kehidupan perempuan di area proyek pada ratusan jiwa, namun hampir tidak ada langkah – langkah konkrit yang dilakukan ADB untuk memastikan hak – hak masyarakat, khususnya hak atas informasi dan keterlibatan aktif dalam proyek. Dengan pinjaman sebesar USD 180 juta atau setara IDR 1,6 triliun, proyek yang dilaksanakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur ADB telah mengorbankan dan mengabaikan hak – hak perempuan, hak masyarakat adat dan lokal.
ADB memiliki sejumlah aturan perlindungan dan kebijakan komunikasi publik, namun dengan persetujuan proyek ini semakin membuktikan bahwa ADB tidak bersungguh – sungguh untuk menjalankan kebijakan tersebut. Press release ADB untuk persetujuan proyek yang diterbitkan pada 25 November 2011, mengatakan bahwa proyek pembangunan jalan regional, untuk membangun kehidupan yang lebih baik untuk komunitas, namun, hal tersebut dapat dikatakan pembohongan publik, karena ADB dengan sadar telah mengabaikan mengabaikan hak – hak masyarakat lokal, perempuan, dan hak masyarakat adat, dalam proses perencanaan proyek pembangunan jalan regional tersebut.
Keprihatinan terkait potensi dampak penggusuran, kerusakan lingkungan dan permasalahan cacatnya proses konsultasi dan keterbukaan informasi juga telah disampaikan oleh masyarakat adat di Kalimantan Barat, serta organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah melalui surat keprihatinan kepada ADB, namun surat tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam persetujuan proyek.
ADB mengklaim bahwa telah dilakukan 31 konsultasi bersama masyarakat di area wilayah proyek, namun berdasarkan dokumen ADB ternyata 77% dari “konsultasi” tersebut hanya dihadiri 1 – 2 orang, 77% dari peserta yang terlibat “konsultasi” adalah pejabat pemerintah, dan tidak ada dokumen yang disediakan kepada peserta, sebelum proses konsultasi dilakukan, bahkan dalam konsultasi bersama masyarakat adat dan NGO di Kalimantan Barat, ADB dan pemerintah tidak memberikan ruang untuk diskusi tanya jawab, dan meminta persetujuan masyarakat terkait proyek tersebut. Selain itu, keterlibatan perempuan sangat minim bahkan hampir tidak tercatat dalam dokumen ADB untuk persiapan proyek ini. Pada salah satu konsultasi yang dilakukan oleh ADB, keterlibatan perempuan kurang dari sepertiga dari total peserta. Hal ini jelas merupakan pelanggaran atas kebijakan Gender dan Pembangunan, yang mengatakan bahwa setidaknya 50 % keterwakilan perempuan saat perencanaan dan pengungkapan informasi rencana penggusuran dan meminta pendapat perempuan.
Masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat adat, juga tidak mendapatkan informasi yang jelas, akurat dan tepat waktu, tentang rencana proyek tersebut. Bahasa Inggris yang dipergunakan dalam dokumen proyek, sangat mempersulit masyarakat terkena dampak untuk memahami informasi proyek dalam dokumen. Ini menunjukkan bahwa ADB sangat tidak mengakui hak atas informasi bagi masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat adat, dan ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas kebijakan Komunikasi Publik ADB.
Tidak hanya itu, kurangnya informasi mengenai situasi sosial, ekonomi dan budaya bagi perempuan terkena dampak, juga menunjukkan ketidakseriusan ADB dalam melibatkan dan mengurangi ketidak adilan terhadap perempuan. Tidak adanya informasi tersebut semakin menghilangkan dan tidak mengakui situasi yang khusus dialami perempuan, terutama yang berdampak dengan adanya proyek tersebut.
Begitupun dengan pengakuan terhadap masyarakat adat. Walaupun ADB memiliki aturan perlindungan tentang masyarakat adat, namun kenyataannya ADB tidak sepenuhnya melindungi hak – hak masyarakat adat. Hal ini terlihat bahwa dalam dokumen tidak cukup informasi yang disampaikan tentang situasi sosial dan budaya masyarakat adat, termasuk perempuan adat. ADB tidak mencantumkan jumlah masyarakat adat termasuk perempuan adat yang potensi terkena dampak proyek, serta tidak adanya langkah – langkah mitigasi yang jelas untuk menjamin hak – hak masyarakat adat. Ini jelas menunjukkan bahwa ADB telah melanggar aturan perlindungan tentang masyarakat adat.
Fakta – fakta diatas, hanya salah satu contoh dari sekian banyak pelanggaran hak – hak masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat adat, yang dilakukan oleh ADB. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa sederet kebijakan ADB, seperti Kebijakan Komunikasi Publik, Aturan Perlindungan Masyarakat adat, dan Kebijakan Gender dan Pembangunan, hanyalah “lip service” belaka. Oleh karena itu, dalam menyikapi persetujuan proyek pembangunan jalan regional, Solidaritas Perempuan mengatakan :
- Dewan Direktur ADB segera meninjau ulang kembali persetujuan proyek, mengingat banyaknya permasalahan yang masih terjadi dan pelanggaran kebijakan ADB dalam perencanan proyek pembangunan jalan regional.
- ADB tidak memberikan dana terlebih dahulu hingga semua ketentuan dan syarat untuk pelaksanaan sebuah proyek yang didanai oleh ADB terpenuhi, termasuk menyediakan dokumen dalam bahasa Indonesia, memastikan keterbukaan informasi dan proses konsultasi dilakukan pada perempuan, masyarakat lokal, dan masyarakat adat yang berpotensi terkena dampak, dan memastikan informasi situasi ekonomi, sosial, politik dan budaya perempuan yang berpotensi terkena dampak, termuat dalam keseluruhan dokumen pelaksanaan proyek.
Jakarta, 29 November 2011
Hormat Kami,
Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Contact Person :
Wardarina (0857 8212 9723), email : wardarina@solidaritasperempuan.org
Puspa Dewy (0852 6024 1597), email : pdewy@solidaritasperempuan.org