Jakarta, Villagerspost.com – 6 April 2017. Hingga hari ini, Negara masih menistakan nelayan dengan memposisikan mereka sebagai pahlawan protein bangsa. Dalam Poros Maritim yang digadang-gadang oleh Pemerintahan Jokowi-JK yang terjadi justru sebaliknya, nelayan masih dipinggirkan dan belum menjadi bagian penting dalam pengelolaan laut nasional.
Hal ini tercermin dengan jelas dalam berbagai permasalahan terkait dengan kegiatan perikanan, maupun ancaman dari sektor lain yang dibiarkan saja tanpa ada upaya serius pemerintah untuk menyelesaikannya. “Masalah alih alat tangkap yang dianggap merusak hingga hari ini belum selesai hingga berlarut-larut,” kata Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Kamis (6/4).
Marthin mengatakan, ada dua peraturan Menter Kelautan dan Perikanan menjadi pemicu keresahan nelayan. Pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Kedua, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
“Kebijakan pelarangan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan tidak dibarengi dengan solusi yang pasti dari Pemerintah,” ujarnya.
Berbagai alat tangkap yang sebelumnya dapat digunakan menjadi terlarang seperti: arad, bondes, garuk, dan gernplo, termasuk cantrang. Namun pemerintah terkesan gagap data dengan menistakan sejumlah mayoritas nelayan kecil yang menggunakan alat-alat yang dinyatakan terlarang hingga mencapai 6.933 unit kapal. Pemerintah baru mendata untuk melakukan alih alat tangkap hanya dapat mencapai 525 unit.
Kemudian, proyek infrastruktur di pesisir seperti, reklamasi di seluruh wilayah menyengsarakan nelayan kecil dan masyarakat pesisir. Berdassarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, Oktober 2016, setidaknya terdapat 28 titik reklamasi di seluruh Indonesia yang terindikasi telah melanggar ketentuan hukum dan prosedur.
“Pengadilan bahkan telah memutuskan reklamasi Teluk Jakarta yang merupakan proyek reklamasi terbesar di Indonesia sebagai proyek yang melanggar hukum dan sepatutnya dibatalkan,” tegas Marthin.
Tidak hanya melanggar hukum, proyek reklamasi juga berpotensi berdampak pada hilangnya sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Pesisir yang menjadi wilayah kelola perempuan merupakan area yang paling terdampak akibat reklamasi.
Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan mengungkapkan, saat ini, perempuan pengupas kerang di Cilincing penghasilannya menurun drastis. “Namun Pemerintah bahkan tidak bergeming dan Teluk Jakarta terancam dengan tanggul laut raksasa yang akan menutup akses masyarakat ke laut,” ujarnya.
Arieska memaparkan, selama 14 tahun Kementerian Kelautan dan Perikanan berdiri, hingga hari ini belum ada pengakuan politik terhadap posisi dan peran perempuan nelayan. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016, posisi perempuan masih dilekatkan pada pasal 45 sebagai bagian dari rumah tangga nelayan.
“Artinya menihilkan peran perempuan di sektor perikanan yang sangat signifikan. Tidak adanya pengakuan dalam regulasi nasional ini diperparah dengan tidak adanya upaya afirmasi dalam kebijakan teknis,” ujarnya.
Misalnya dalam proyek reklamasi, tidak pernah ada data terpilah gender ataupun analisis potensi dampak yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Hal ini mengindikasikan, bahwa negara belum memenuhi kepentingan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir di Indonesia.
Tak berbeda dengan proyek reklamasi, kasus perampasan ruang penghidupan nelayan terus terjadi. Seperti maraknya konsesi tambang di lebih dari 18 wilayah pesisir, privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan pariwisata di lebih dari 20 wilayah pesisir, serta proyek utang konservasi laut yang menargetkan 20 juta hektare sampai dengan tahun 2019.
Parid Ridwanuddin, dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikana (KIARA) mengatakan, proyek konservasi berbasis utang dalam praktiknya bukan hanya meminggirkan masyarakat tapi juga merampas ruang hidup mereka yang sejatinya dilindungi oleh konsitusi. “Atas nama pembangunan, ruang laut dikavling demi kepentingan investasi. Artinya, nelayan mengalami pemiskinan secara masif dan stuktural,” tegas Parid.
Sementara upaya seremonial penenggalaman kapal tidak juga kunjung membangun wibawa negara terhadap pelaku pencurian ikan. “Upaya ini tidak hanya terlihat seremonial namun sejatinya tidak menunjukkan hasil yang positif dengan masih tingginya kapal asing pencuri ikan yang masih masuk ke Indonesia,” tambahnya.
Di tahun 2015 telah berlangsung proses hukum terhadap 157 kapal ikan ilegal (84 kapal ikan asing dan 73 kapal ikan Indonesia), 113 kapal asing dan 10 unik kapal bendera Indonesia ditenggelamkan. Sementara, tahun 2016 (22 November 2016) telah menangkap 151 kapal ikan ilegal (terdiri dari 128 kapal ikan asing, 23 kapal ikan Indonesia) dengan 115 yang telah ditenggelamkan.
“Ini menunjukkan upaya penyelesaian permasalahan pencurian ikan tidak hanya dapat diselesaikan dengan sekadar penenggelaman kapal,” tegas Parid.
Karena itu, Aliansi Nelayan Tradisional, organisasi masyarakat sipil, organisasi perempuan dan pemerhati hak-hak nelayan tradisional meminta kepada pemerintah untuk melakukan beberapa langkah untuk mengangkat harkat dan derajat nelayan. Pertama, memastikan perlindungan kepada nelayan tradisional beserta dengan pekerja perikanan baik laki-laki maupun perempuan.
Kedua, mengakui identitas perempuan nelayan sebagai bagian dari subyek nelayan tanpa embel-embel yang mendomestifikasi perempuan pekerja perikanan. Ketiga, melindungi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dari kepentingan investasi untuk merampas dan mengkomodifikasi sumber daya untuk kepentingan segelintir.
Keempat, menolak segala bentuk perampasan sumber daya perikanan dengan kedok konservasi berbasis utang. Kelima, upaya Pemberantasan praktik IUU Fishing seharusnya dilakukan secara komprehensif, mulai dengan melakukan revisi terhadap kebijakan yang lemah, serta memperkuat koordinasi antara-lembaga dan menghilangkan ego-sektoral.
Terakhir, mengimplementasikan mandat Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Sumber : Villagerpost.com