Hari Nelayan Nasional 2017
Oleh : Ega Melindo
Presiden Jokowi mengumumkan di awal pemerintahannya, tekad untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. “Kita sudah terlalu lama memunggungi lautan. Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita” tegasnya di atas kapal di pelabuhan Sunda Kelapa saat ia berpidato untuk yang pertama usai ia dilantik.
Dua tahun berselang, rapat paripurna DPR RI XXI Tahun 2015-2016 pada 15 Maret 2016 mengesahkan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang diperjuangkan cukup lama oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beserta dengan para pemangku kepentingan lainnya. Sejumlah pihak menyambut baik dan menilai kehadiran UU tersebut menjadi penjelas kesimpangsiuran kewajiban negara untuk melindungi nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam. Sementara Solidaritas Perempuan secara kritis menilai bahwa UU tersebut masih mengecewakan (baca: UU Nelayan Dinilai Diskriminatif terhadap Perempuan)
Selain diskriminatif karena hanya mengakui perempuan sebagai bagian dari rumah tangga nelayan, UU ini juga tidak cukup kuat melindungi nelayan dari ancaman kehilangan pesisir dan laut sebagai sumber kehidupannya (Lebih lengkap dapat dilihat disini
Analisis tersebut nyata terlihat hari ini, nyaris setahun UU Nelayan disahkan. Negara gagal menerjemahkan poros maritim dan menistakan nelayan dengan berbagai situasi ketidakadilan yang dialami oleh nelayan, terlebih perempuan nelayan. Nelayan terus dipinggirkan, dirampas wilayah kelolanya, dicemari lautnya dan dipaksa untuk dialih-profesikan menjadi buruh pabrik, pemulung, ataupun satpam. Pahlawan protein bangsa dinistakan dan tidak menjadi bagian penting dalam pengelolaan laut nasional. Situasi perempuan nelayan lebih buruk lagi, karena tidak kunjung diperhitungkan perannya yang sangat signifikan dalam sektor kelautan dan perikanan. Perempuan masih dianggap sebagai bagian dari rumah tangga nelayan, hingga seringkali terkecualikan dari program ataupun kebijakan perlindungan dan pemberdayaan. Termasuk asuransi untuk nelayan.
Untuk itu, pada 6 April yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional, Solidaritas Perempuan bersama dengan nelayan dan organisasi masyarakat sipil lainnya melakukan aksi untuk mengingatkan pemerintahan Jokowi-JK yang sampai saat ini masih melupakan janjinya mensejahterkan nelayan.
Aksi yang dimulai sejak jam 11.00 dilakukan di depan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Momen ini dijadikan ruang oleh nelayan dari Muara Angke untuk mempertegas penolakannya terhadap proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Dalam orasinya di depan Kementerian Kelautan dan Perikanan, salah satu peserta aksi yang merupakan perempuan pengupas kerang Asmini, dengan lantang menyatakan “Ini adalah hari ulang tahun kita sebagai nelayan. Tapi kita peringati dengan duka cita. Karena hidup kita sekarang sudah susah. Melaut susah. Ekonomi susah. Dimana janjinya dulu untuk bikin nelayan sejahtera?”. Setelah bergantian orasi di depan KKP, massa aksi pun bergerak menuju istana negara. Sepanjang perjalanan itu, peserta aksi dengan lantang dan semangat meneriakkan penolakan terhadap reklamasi.
Di depan istana negara, peserta aksi kembali berorasi. Ega Melindo yang mewakili Solidaritas Perempuan menyampaikan “Bahwa kondisi penindasan dan ketidakadilan kerap dialami oleh perempuan nelayan dan perempuan pesisir, hal ini terlihat dari bagaimana pengakuan Negara terhadap keberadaan perempuan nelayan di wilayah pesisir, ditambah lagi dengan kebijakankebijakan pembangunan seperti reklamasi membuat perempuan nelayan dan perempuan pesisir mengalami beban berlapis. Hal ini dialami oleh perempuan-perempuan pengupas kerang yang pendapatannya menurun akibat adanya proyek reklamasi, selain itu bertambahnya biaya melaut karena nelayan harus melayarkan perahunya lebih jauh. Perempuan pesisir dituntut berusaha keras dalam memperoleh maupun mengelola keuangan rumah tangga nelayan. Reklamasi merupakan bentuk perampasan Negara terhadap akses dan kontol perempuan pesisir terhadap sumber-sumber kehidupannya”
Lebih lanjut Solidaritas Perempuan, bersama jaringan masyarakat sipil dan nelayan tradisional yang tergabung dalam Aliansi Peringatan Hari Nelayan Nasional menyampaikan 6 tuntutan yakni :
- Negara harus Memastikan perlindungan kepada nelayan tradisional beserta dengan pekerja perikanan baik laki-laki maupun perempuan;
- Mengakui identitas perempuan nelayan sebagai bagian dari subyek nelayan tanpa embel-embel yang mendomestifikasi perempuan pekerja perikanan;
- Melindungi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dari kepentingan investasi untuk merampas dan mengkomodifikasi sumber daya untuk kepentingan segelintir;
- Menolak segala bentuk perampasan sumber daya perikanan dengan kedok konservasi berbasis utang;
- Upaya Pemberantasan praktek IUU Fishing seharusnya dilakukan secara komprehensif, mulai dengan melakukan revisi terhadap kebijakan yang lemah, serta memperkuat koordinasi antara-lembaga dan menghilangkan ego-sektoral;
- Mengimplementasikan mandat Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam;