Potret Kebijakan dan Pelanggaran HAM terhadap Pekerja Migran Indonesia Sepanjang 2020

Data analisis media yang dilakukan oleh Jaringan Buruh Migran (JBM) memperlihatkan bahwa terjadi lonjakan kasus yang sangat besar, yakni sebanyak 61% bila dibandingkan pada tahun 2019 terutama kasus pemulangan secara deportasi dan repatriasi pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya PMI yang tidak memiliki dokumen paspor. Selain itu, terdapat kasus penahanan PMI dengan kondisi yang menyebabkan trauma yang dialami PMI. Pada masa pandemi Covid-19, dari 35 responden survei yang sedang dilakukan oleh JBM, hasil sementara menunjukkan kondisi PMI pada masa pandemi justru lebih mengalami kerentanan dengan situasi kerja yang lebih buruk di antaranya beban kerja yang semakin berat, adanya pemotongan upah, tidak ada hari libur dan sulit untuk berkumpul terutama untuk berorganisasi.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga mencatat dalam laporan Catahu pada tahun 2020 terjadi peningkatan kasus dibandingkan tahun 2019 dengan ragam kasus yang dialami PMI berupa kekerasan fisik, penganiayaan, pelecehan seksual, pelanggaran atas kontrak kerja, eksploitasi ekonomi, perdagangan orang hingga penghilangan nyawa secara paksa karena kriminalisasi yang dialami.

Data Solidaritas Perempuan (SP) lebih lanjut memperlihatkan terjadinya kekerasan berlapis yang dialami perempuan PMI. Dari 63 pengaduan kasus yang dilaporkan, terdapat 188 jenis/bentuk kasus yang dialami. Penanganan kasus yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa korban trafficking pada umumnya juga mengalami berbagai bentuk kekerasan lainnya, seperti kekerasan fisik dan penahanan dokumen.

Pandemi Covid-19 yang terjadi juga menyebakan perempuan buruh migran semakin rentan dan terbatas mobilitasnya, baik dalam mengakses kebutuhan sehari-hari maupun pendampingan dan bantuan hukum ketika mengalami kasus. Selain itu, kasus penahanan melebihi batas waktu di Pusat Tahanan Sementara Tawau (PTS), Sabah yang biasa disebut Rumah Merah dan dikenal dikalangan buruh sebagai tempat penyiksaan sebanyak 10%. Angka yang tinggi ini berkaitan erat dengan penundaan deportasi akibat ketidaksiapan pemerintah untuk memfasilitasi kepulangan PMI dalam situasi pandemi Covid-19.

Penanganan Covid-19, baik di Sabah, Malaysia, maupun di Indonesia, telah mengabaikan keselamatan dan HAM dari PMI beserta keluarganya. Buruh migran yang tidak memiliki dokumen mengalami penahanan berkepanjangan di PTS atau Depo Imigrasi, di Sabah, Malaysia karena prosedur deportasi yang rumit. Pemulangan segera juga terhambat oleh keputusan pemerintah Indonesia, khususnya oleh permintaan Gubernur Kalimantan Utara kepada otoritas di Sabah, untuk menunda deportasi dengan alasan ketiadaan dana untuk menerima deportan, maupun dalih prosedur penanganan Covid-19 di wilayah perbatasan Nunukan. Para deportan akhirnya mengalami penyiksaan di dalam PTS, yang sudah menjadi masalah sejak lama. [1]

Alih-alih pemerintah bahu membahu untuk memperbaiki layanan tata kelola migrasi khususnya pada saat pandemi Covid-19 dengan segera mengesahkan seluruh aturan turunan UU PPMI dan memastikan adanya afirmatif layanan bagi PMI terutama PMI yang bekerja disektor rentan di seluruh tahapan migrasi, pemerintah justru mengesahkan UU Cipta Kerja yang mana dampak UU Cipta Kerja bagi PMI akan semakin memperbesar ketidakadilan dan kesetaraan bagi para PMI. Pengesahan UU Cipta Kerja pun menjadi langkah mundur setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990 dan mengesahkan UU PPMI yang sarat akan perlindungan.

Savitri Wisnuwardhani, SekNas JBM melihat jumlah kasus yang justru meningkat terutama di masa pandemi covid 19. Sedangkan dari segi kebijakan, adanya pola yang sama dan tidak tuntas dalam pembuatan kebijakan perlindungan PMI. Yang mana hingga sekarang, seluruh aturan turunan UU PPMI belum disahkan. Hal ini sangat berdampak pada implementasi perlindungan bagi PMI. Belajar dari pengalaman yang lalu, pada masa UU No. 39 Tahun 2004, hingga UU tersebut digantikan oleh UU yang baru, masih ada beberapa aturan turunan yang belum diterbitkan. Kalaupun diterbitkan, ada aturan turunan turunan dalam bentuk PP yang diterbitkan lebih dari lima tahun pasca UU 39/2004 diterbutkan.

Bobi Anwar, Sekjen SBMI mencatat bahwa terdapat kegawatan. Dari 643 kasus yang ditangani oleh SBMI pada tahun 2020, penempatannya lebih banyak dilakukan secara non prosedural dengan presentase mencapai 75,74%, sedangkan yang prosedural hanya 24,26%. Kebanyakan kasus dialami oleh perempuan dengan persentase mencapai 53,65%, sedangkan laki-laki sebanyak 46,35%.

Penempatan unprosedur tersebut, kebanyakan dilakukan oleh orang perseorangan sebanyak 59,14% dan sisanya sebanyak 40,86% dilakukan oleh P3MI dan Perusahaan Penempatan Pelaut Awak Kapal.

Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta menggarisbawahi bahwa Pada masa pandemi Covid-19 seperti ini, yang mana seharusnya dapat menjadi kesempatan bagi Pemerintah dalam menyempurnakan dan  mengevaluasi tata kelola penempatan PMI justru tidak dimanfaatkan secara maksimal, hal tersebut dapat dilihat secara jelas dengan adanya aturan-aturan yang hanya bersifat responsif namun tidak siginifikan dalam mengatasi masalah PMI yang terdampak pandemi Covid-19 di luar negeri dan kini dalam kondisi payung hukum yang masih lemah justru pemerintah sibuk melakukan pembukaan kembali penempatan PMI hanya karena alasan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Sementara itu, menurut Dinda N. Yura, Ketua SP, situasi seperti pandemi menjadikan kebutuhan akan perlindungan bagi PMI justru semakin tinggi, baik dalam bentuk kebijakan maupun langkah-langkah penanganan yang tepat oleh pemerintah. Sudah lebih dari tiga tahun semenjak UU PPMI disahkan, perempuan PMI terus mengalami kekerasan, pelanggaran hak, dan pemiskinan. Sistem migrasi masih berjalan tanpa perlindungan yang memadai dengan berbagai jebakan trafficking maupun kerentanan-kerentanan lainnya. Hal ini terjadi tidak hanya karena ketidakseriusan pemerintah dalam membuat aturan turunan, tetapi menunjukkan tidak berubahnya perspektif negara dalam mengkomodifikasi buruh migran.

Hingga saat ini, negara masih memberlakukan diskriminasi perempuan pekerja rumah tangga migran melalui Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 yang melarang penempatan mereka di negara-negara Timur Tengah. Situasi buruh migran juga diperparah dengan penanganan pandemi yang tidak berorientasi HAM dan arah kebijakan negara yang lebih mementingkan Omnibus Law untuk kepentingan investasi, daripada kebijakan yang dibutuhkan PMI dan keluarganya, seperti aturan turunan UU PPMI, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Lebih lanjut, Yatini Sulistyowati, Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI menuturkan bahwa pada 10 Desember 2018 Kemnaker RI mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial PMI yang mana, PMI baru dapat mengakses dua jaminan yakni Jaminan  Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Sedangkan kondisi  PMI di negara tujuan  banyak yang tidak mendapatkan asuransi kesehatan dan PMI akan dikenakan 2 kali lipat biaya pengobatan jika rawat inap dan harus dibayar di depan, sehingga banyak PMI yang tidak mampu berobat di rumah sakit.

Selain itu, terdapat masalah dengan persyaratan klaim juga sangat sulit bagi PMI, mereka hanya diberi waktu 7 hari kerja dan harus disertakan  nota dari Perwakilan Negara RI, sedangkan jarak Perwakilan dengan keberadaan PMI belum tentu bisa di jangkau dalam waktu satu hari, belum lagi perwakilan sangat sulit memberikan nota yang dimaksud.

Dalam rangka memperingati Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh pada tanggal 18 Desember 2020, JBM yang merupakan koalisi dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negeri dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran mendesak Pemerintah agar :

  1. Segera menerbitkan seluruh aturan turunan UU PPMI dan berkonsultasi dengan para pihak yang berkepentingan di antaranya PMI, organisasi PMI dan organisasi yang peduli terhadap isu PMI, serta mengimplementasikan jaringan pengaman perlindungan PMI pada masa pandemi Covid-19.
  2. Merevitalisasi seluruh layanan migrasi kerja di seluruh tahapan kerja PMI baik pra keberangkatan, selama dan pasca pemulangan dengan menggunakan pendekatan HAM dan responsif gender.
  3. Omnibus Law UU Cipta Kerja segera dicabut dan fokus pada penanganan krisis yang terjadi di berbagai sektor.
  4. Segera menyusun rencana dan agenda kerja penyusunan peraturan pelaksana yang jelas, tearah, dan terukur termasuk membuat sistem pengawasan perlindungan yang efektif dari tingkat desa hingga pusat.
  5. Segera ratifikasi Konvensi ILO No. 188 tentang perlindungan ABK dan Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.
  6. Segera bahas dan sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
  7. Hapus kebijakan diskriminatif terhadap Pekerja Migran Indonesia.
  8. Segera terjemahkan, sosialisasikan, dan implementasikan The Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration.
  9. Implementasikan rencana kerja regional ASEAN Consensus, ASEAN Convention on Trafficking in Person, dan Convention of Migrant Workers 1990.
  10. Implementasikan konvensi migran dan UU PPMI dengan merombak paradigma komodifikasi menjadi orientasi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan
  11. Implementasikan Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 dengan mengevaluasi dan mencabut Kepmenaker 260/2015 yang mendiskriminasi Perempuan Buruh Migran

 

Jakarta, 17 Desember 2020

JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right

Narahubung:

Savitri Wisnuwardhani   (082124714978)           
Bobi Anwar                       (085283006797)
Ayu Eza Tiara                   (082111340222)           
Dinda N. Yura                  (081818722510)
Yatini Sulistyowati          (085312303209)

 

 

[1] Lihat Laporan Tim Pencari Fakta, Kondisi Migran Indonesia yang Dideportasi Selama Masa Covid-19 dari Sabah, Malaysia ke Indonesia (Desember 2019-September 2020) Koalisi Buruh Migran Berdaulat 7 Oktober 2020 http://www.solidaritasperempuan.org/sub/wp-content/uploads/2020/10/Laporan-TPF-Buruh-Migran.pdf    

Translate »