Izin Reklamasi Teluk Jakarta Cacat Hukum, Merugikan Masyarakat dan Lingkungan Hidup! Presiden Jokowi: Perintahkan Menteri Siti Nurbaya untuk Cabut Izin Lingkungan Pulau C dan D.
“Sukur Alhamdulillah hari ini kerang ijo sudah mulai normal lagi, dapat satu kuintal dagingnya dapet nyari liar, semenjak reklamasi dihentikan, trimakasih banyak untuk orang2 yg telah banyak membantu kita nelayan”
[sebuah pesan singkat dari salah seorang pengupas kerang hijau di Muara Angke pada 3 September 2017]
Kebahagiaan kecil yang hanya bersifat sementara. Karena pada 06 September 2017, media ramai memberitakan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk mencabut moratorium reklamasi Pulau C dan D. Artinya aktivitas reklamasi Pulau C dan D akan kembali berjalan. Pencabutan yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup ini merupakan pembangkangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terhadap janji Presiden Jokowi untuk melindungi nelayan dan lingkungan hidup. Keputusan ini menghancurkan harapan kesejahteraan masyarakat pesisir sekaligus menciderai upaya perlindungan lingkungan hidup di Indonesia terutama wilayah teluk Jakarta.
Tidak ada kajian ulang terhadap proyek reklamasi setelah sanksi administratif secara komprehensif dan partisipatif, melainkan hanya ‘perbaikan’ formalitas prosedural belaka. Bahkan instruksi presiden untuk dilakukan kajian reklamasi yang terintegrasi dengan proyek National Capital Integrated Coastal Development diabaikan.
Menteri Siti Nurbaya melanggar prinsip kehati-hatian, padahal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan pemegang mandat untuk melaksanakan dan memperjuangkan perlindungan lingkungan hidup. Menjaga lingkungan hidup agar tetap berkelanjutan sebagaimana di dalam misi KLHK harus dilakukan secara substantif. Dalam konteks reklamasi, prinsip ini diabaikan dan tidak menjadi bahan pertimbangan sedikitpun. Keluarnya HGB dan HPL Pulau C dan D hingga pencabutan moratorium menunjukkan fakta tersebut. Kajian dilakukan sebatas memenuhi kewajiban prosedural perizinan yang ada tanpa melihat substansi yang terdiri dari subjek dan dampak-dampak yang akan ditimbulkan.
Dalam keterangannya, Menteri Siti Nurbaya mengungkapkan bahwa Pengembang Pulau C dan D telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam Sanksi Administrasi terhadap Pulau C dan D. Hal ini ditutupi oleh KLHK, tak ada pengumuman ke Publik terhadap setiap perkembangan pelaksanaan kewajiban oleh pengembang. Bahkan dalam Sanksi Administrasi yang dijatuhkan oleh KLHK dari tahun 2016 mewajibkan pengembang harus melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu 3 bulan. Namun pengembang tidak mampu melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Bahkan Pengembang pulau C dan D telah melakukan kegiatan pembangunan secara diam-diam selama masa sanksi penghentian sementara yang jelas melanggar ketentuan dalam sanksi administrasi.
Selain itu, pencabutan moratorium reklamasi Pulau C dan D dengan mencabut Sanksi Administrasi Penghentian Sementara Izin Lingkungan dan mengesahkan Izin Lingkungan Pulau C dan D bertetangan dengan UU No 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dan PP No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang menjelaskan bahwa Izin Lingkungan dapat diterbitkan atau disahkan jika sesuai dengan tata ruang. Teluk Jakarta yang berada di kawasan pesisir utara Jakarta maka pemanfaatan ruangnya mengikuti Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta. Dengan belum adanya RZWP3K maka Pengesahan Izin Lingkungan Pulau C dan D tidak dapat disahkan karena belum adanya RZWP3K. Pemberian Izin Lingkungan dengan belum adanya perencanaan pemanfaatan ruang akan berpotensi merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat karena dikhawatirkan tidak sesuai dengan peruntukan.
Menteri Siti Nurbaya melanggar komitmennya sendiri dalam upaya pengarusutamaan gender sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun peraturan menteri ini hanyalah formalitas dalam menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap permepuan. Apabila dilihat dalam dokumen-dokumen kajian dalam proyek reklamasi, analisis potensi dampak yang berbeda terhadap perempuan pesisir nihil dilakukan. Oleh karena itu, tindakan yang seharusnya diambil Menteri Siti Nurbaya adalah meningkatkan sanksi dari Penghentian Sementara Kegiatan menjadi Pecabutan Izin Lingkungan. Dengan melihat hal ini jelaslah bahwa Menteri Siti Nurbaya. telah melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Atas fakta tersebut, sebagaimana janji Jokowi untuk menjadikan nelayan sebagai pilar utama poros maritim, maka seharusnya reklamasi dihentikan. Hal ini dikarenakan reklamasi di Teluk Jakarta tidak dibutuhkan oleh nelayan. Reklamasi bahkan akan meminggirkan nelayan. Melanjutkan reklamasi akan menempatkan poros maritim sebagai poros omong kosong. Oleh karena itu sebagai rakyat Indonesia meminta Presiden Jokowi untuk memenuhi janjinya dalam melindungi nelayan sebagai poros maritim.
Link Petisi : Disini
Petisi ini akan dikirim ke:
- Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Siti Nurbaya Bakar