Press Release “Terus Melangkah Ditengah Ketidakpastian Dan Kekacauan”

Friday, 24 June 2011 15:00

Press Release 22 Juni 2011

Untuk Segera Disiarkan
Respon Masyarakat Sipil Terhadap Hibah Bank Dunia kepada Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan untuk REDD+ Readiness Preparation Support

Seolah mengulang kembali agenda “Konsultasi Publik” bertajuk “Sosialisasi dan Konsultasi Publik REDDI-Readiness melalui program FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) Bank Dunia” yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan pada tanggal 18 Mei 2010, yang menurut catatan kelompok masyarakat sipil, prosesnya sangat lemah keterlibatan masyarakat sipil terutama kelompok masyarakat adat dan lokal, dan juga lemahnya teknis penyelenggaraan acara yang tidak memberikan ruang yang cukup bagi publik memahami rencana-rencana kerjasama Kementerian Kehutanan dengan Bank Dunia karena ketiadaan dokumen yang bisa dipelajari jauh hari sebelumnya, serta ini diperparah dengan sempitnya kesempatan memberikan komentar atas rencana kerjasama ini. Hari Kamis, tanggal 22 Juni 2011, tak dinyana, Kementerian Kehutanan mengirimkan undangan kepada banyak pihak untuk Lokakarya Peluncuran FCPF.

Seperti yang dituliskan dalam dokumen hibah, Indonesia-FCPF Readiness Grant ini, indikator dari proyek ini adalah adanya SESA (Social Environmental Safeguard Assessment) yang dipersiapkan serta disetujui oleh seluruh stake-holder nasional, adanya pemahaman atas kondisi yang muncul sebagai impak dari National Reference Scenario yang dapat dihitung serta didiskusikan dengan stake-holder, juga melakukan studi untuk menentukan pemicu deforestasi (kerusakan hutan), juga membangun pilihan investasi dan pola pembangian keuntungan, membangun strategi REDD+ secara nasional, dimana kesemuanya ini harus disetujui oleh Pemerintah, tentunya setelah di-validasi oleh stake-holder.

Dari indikator proyek hibah ini, maka peran stake-holder sangat diutamakan, selain itu juga harus dibangun satu pemahaman yang lengkap tentang SESA terkait dengan model-model produksi dari investasi yang berjalan saat sekarang, untuk mendapatkan pemicu deforestasi (kerusakan hutan), agar Readiness bisa berjalan lebih baik. Kami, beberapa Kelompok Masyarakat Sipil menilai bahwa penafsiran serta bangunan SESA harus berbasis pada Kerangka Keselamatan Warga dan Ekologis yang bertautan dengan hak-hak warga atas kehidupan yang aman, sehat dan berdaulat, serta jaminan layanan lingkungan hidup berkelanjutan.

Bagaimana kelompok-kelompok masyarakat, setidaknya di wilayah-wilayah yang diseleksi sebagai provinsi pelaksanaan proyek grant FCPF, bisa terlibat dalam penyusunan SESA? Bagaimana penyusunan SESA bisa mengakomodasi problem-problem sosial dan lingkungan warga yang diakibatkan oleh kesalahan dalam tata kelola sumber kekayaan alam dan kebijakan investasi nasional dan daerah? Apakah opsi-opsi terkait pelaksanaan REDD+ akan relevan dengan strategi pemulihan kehidupan warga, penghargaan hak-hak warga atas sumber kekayaan alam, juga upaya pemulihan akan kerusakaan sumber kekayaan alam yang saat sekarang dalam kondisi yang kronis? Kemudian, apakah dan sejauh mana proyek grant FCPF akan mengubah tata kelola (governance) di sektor kehutanan dan sektor pengeruk sumber kekayaan alam lainnya, seperti energi (pertambangan) dan perkebunan? Apakah proyek grant FCPF akan menjadikan konflik di kawasan hutan, akibat lemahnya forest governance dan pengakuan tenurial warga, sebagai bagian yang harus diakomodasi, atau hanya menilainya dalam kerangka yuridis formal saja? Yang lebih kontemporer, bagaimana koherensi proyek grant FCPF ini dengan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) Pemerintah Indonesia yang pastinya akan sangat terkait dengan produksi emisi secara nasional?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sangat penting dijawab oleh grant proyek FCPF ini, dan berdasarkan fakta-fakta di lapangan, baik di daerah yang akan menjadi seleksi provinsi proyek, maupun di provinsi lain, proses dis-siknronisasi kebijakan (baik regulasi legal maupun kebijakan politik pembangunan) tata kelola sumber kekayaan alam masih terjadi, konflik akses terhadap ruang dan perebutan akses ke sumber kekayaan alam masih menjadi kejadian sehari-hari yang tak jarang melibatkan praktek kekerasan, juga, buruknya jaminan kehidupan warga, baik meliputi kepastian pendapatan-kesehatan-sumber penghidupan, akibat kerusakan infrastruktur dan sumber kehidupan, juga masih berlangsung.

Di Musi Rawas, Sumatera Selatan, ekspansi pertambangan batu bara terus terjadi dan seperti didaerah lain, seperti di Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi, karena batu bara mempergunakan jalan yang melintasi desa-desa, debu yang mengepul bagaikan kabut, menjadi “konsumsi” sehari-hari warga, belum lagi fasilitas jalan yang rusak atau juga lubang-lubang eksplorasi pertambangan yang menebar di dekat rumah warga. Izin-izin tambang batu bara juga sangat awam terjadi berada dalam kawasan Hutan Lindung, dengan model “rumah susun” — satu kawasan di berikan izin lebih dari satu. Degradasi kawasan hutan, termasuk hutan rawa dan gambut, akibat ekspansi Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit, bukan fakta sulit untuk ditemukan di Kalimantan Selatan, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Maka, grant proyek FCPF akan berjalan dalam tantang yang maha besar, berada di jalur ketidak-pastian dan kekacauan. Grant proyek FCPF yang akan membangun SESA dan opsi-opsi dalam penerapan REDD+ akan menjadi mubazir, jika tidak mampu mengakomodasi out-standing problem (tunggakan masalah) di sektor kehutanan dan sektor-sektor pengeruk sumber kekayaan alam lainya.

Untuk Informasi Lebih Lanjut, silakan hubungi : Rivani Noor (081274145333)

Press Release ini disampaikan oleh beberapa NGO :

1. Yayasan CAPPA-Ecological Justice : Rivani Noor
2. Yayasan SETARA Jambi : Rukaiyah
3. Perkumpulan Hijau, Jambi : Feri Irawan
4. Scale Up, Riau : Akhmad Zazali
5. Solidaritas Perempuan : Risma Umar

Translate »