Hari Perempuan Internasional 2022 adalah momentum pengingat bahwa perempuan masih menghadapi ketidakadilan dan penindasan akibat sistem patriarki. Situasi ketidakadilan yang dialami perempuan terjadi di berbagai konteks termasuk saat menghadapi konflik agraria. Konflik agraria telah membawa dampak sosial, budaya, psikologis dan ekonomis terhadap perempuan. Kekerasan fisik dan psikologi sering juga terjadi saat perempuan-perempuan melakukan aksi-aksi penolakan atas hadirnya perusahaan yang akan berdampak buruk pada kehidupan dan sumber-sumber penghidupan perempuan.
Berdasarkan catatan yang dihimpun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2017-2020 terdapat 25 perempuan mengalami kriminalisasi dan 78 orang mengalami kekerasan saat mempertahankan tanah mereka dari penggusuran dan perampasan oleh perusahaan swasta dan Negara. Pada tahun 2021, sejumlah 25 perempuan dikriminalisasi dan 7 dianiaya. Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun oleh Solidaritas Perempuan, terdapat 9 kasus agraria yang berdampak pada ruang hidup perempuan. Lalu WALHI mencatat dari data kasus kriminalisasi yang terjadi selama 2021 sebanyak 58 kasus, kriminalisasi yang terjadi di sektor pertambangan paling tinggi sebanyak 52%, diikuti kriminalisasi di sektor kehutanan dan perkebunan sebanyak 34% kriminalisasi ini juga dialami oleh perempuan yang tengah berjuang mempertahankan wilayah kelola dan ruang hidup mereka.
Bahkan sepanjang tahun 2022 selama 3 bulan terakhir, letusan konflik agraria yang dipenuhi kekerasan dan represifitas aparat terjadi di berbagai wilayah, seperti di Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur; Desa Sumber Jaya, Muaro Jambi, Jambi; Desa Runut, Sikka, Nusa Tenggara Timur; Desa Batu Mila, Enrekang, Sulawesi Selatan; Kec. Mumbulsari, Jember, Jawa Timur; Desa Gadungan, Blitar, Jawa Timur; Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah; Parigi Moutong, Sulawesi Tengah; hingga yang baru saja terjadi yaitu di Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Tentu situasi ini juga menjadi bagian dari buntut kebijakan yang dikeluarkan oleh Negara secara tidak manusiawi. Perempuan yang tengah berjuang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya membuktikan bahwa perempuan adalah aktor penting dalam menjaga keseimbangan alam. Perempuan kerap tidak menjadi perhatian utama.
Padahal Konstitusi Negara menjamin didalam konstitusi pasal 28 D yang menyebutkan: setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepasstian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum. Dan didalam Undang –undang HAM No 39 Tahun 1999 pada dasarnya memuat hak –hak pokok warga Negara yang terdiri dari : Hak untuk hidup, Hak memperoleh keadilan, Hak Atas kebebasan Pribadi, Hak atas rasa aman, Hak atas kesejahteraan dan Hak Khusus bagi Perempuan.
Akan tetapi Sistem dan cara pandang Negara masih menempatkan posisi perempuan sebagai objek yang hanya yang dilekatkan dengan urusan domestik, maka pada saat menghadapi konflik hak–haknya sebagai perempuan yang mempertahankan hak ulayat, hak tanah dan hak hidupnya terabaikan.
Fakta yang terjadi dalam kurun waktu terakhir, perempuan yang berhadapan dengan konflik adalah mereka yang sedang mempertahankan tanahnya dan ekosistemnya untuk keberlangsungan kehidupan generasi mendatang. Konflik-konflik agraria yang disebabkan untuk kepentingan pembangunan proyek strategi nasional, PLTA dan juga perrtambangan justru mendapatkan perlindungan dari Negara dalam bentuk pengamanan.
Alih-alih memberikan perlindungan terhadap perempuan yang mempertahankan haknya, negara justru melakukan intimidasi dan ancaman kepada perempuan yang sedang berjuang. Pendekatan penanganan dengan menggunakan TNI dan POLRI juga menambah daftar trauma panjang karena kepada perempuan yang terlibat didalam konflik.
Saat ini indonesia dalam kerentanan konflik agraria yang semakin tinggi, maka dibutuhkan segera kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan yang mempertahankan sumber-sumber agraria dan memberikan pengakuan terhadap perempuan sebagai subjek yang memiliki peran penting di dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
Kami, organisasi masyarakat sipil, yang tergabung dalam Koalisi Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) 2022, menuntut negara untuk:
- Mencabut UU Cipta Kerja (Omnibus Law), UU Minerba, UU Ibu Kota Negara dan segala kebijakan yang mengancam keberlanjutan lingkungan, merampas kedaulatan rakyat, perempuan dan laki-laki, atas lingkungan hidup dan sumber daya alam.
- Mengorganisasi struktur, penguasaan, pemanfaatan, dan kepemilikan sumber-sumber agraria sebagaimana yang dimandatkan dalam UU. No 6/1960 dengan merealisasikan reforma agraria yang berkeadilan gender dan sosial.
- Mematuhi seluruh rekomendasi Komite CEDAW untuk menjamin perlindungan hak dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan di berbagai sektor, termasuk hak perempuan atas agraria, pangan, dan kedaulatan.
- Memastikan pelibatan penuh perempuan di dalam setiap tahapan proses penyusunan kebijakan maupun rencana proyek-proyek yang mempengaruhi lingkungan hidup dan hak-hak perempuan atas lingkungan yang sehat dan baik.
- Menghentikan keterlibatan militer dan aparat keamanan di dalam proyek-proyek pembangunan, dan menghentikan segala bentuk kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan lingkungan.