Qanun Jinayat Bermasalah, Segera Tinjau Ulang

Pernyataan Sikap
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat  
Jakarta, 23 Juli 2018

Ditetapkannya Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah sebagai tersangka Kasus Korupsi Dana Otonomi Khusus pada 4 Juli 2018,[1] merupakan bukti otonomi khusus tidak dijalankan untuk kepentingan masyarakat Aceh sebagaimana mandat undang-undang.   

Aceh sebagai daerah otonomi khusus memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Aceh). Berdasarkan mandat undang-undang tersebut, penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah Aceh harus berdasaran kepentingan umum.[2] Tak hanya itu, pelaksanaan otonomi khusus juga didasarkan pada Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki[3] yang antara lain menyebutkan bahwa “Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”.[4]

Nyatanya, penyelenggaraan otonomi khusus Aceh tidak sejalan dengan berbagai ketentuan di atas. Berbagai data menunjukkan otonomi khusus Aceh gagal dalam memenuhi kepentingan umum dan mencapai kesejahteraan warganya. Tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh termasuk pada urutan 21 terbawah dari 33 provinsi di Indonesia tahun 2015, yang juga menempatkan Aceh pada peringkat ke 6 termiskin di Indonesia.[5] Sementara, berbagai Qanun/peraturan daerah yang dibentuk oleh pemerintah Aceh, alih-alih dibangun untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya, sebaliknya justru melanggar hak asasi manusia dan berdampak pada kekerasan dan kriminalisasi, terlebih bagi perempuan.

Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat (selanjutnya disebut Qanun Jinayat), misalnya. Qanun ini memasukkan jenin tindak pidana baru dan secara mendasar mengganti bentuk sanksi pidana di luar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimiliki Indonesia. Secara substantif, ketentuan hukum yang diatur di dalam Qanun Jinayat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Hukuman cambuk misalnya, selain bertentangan dengan Perjanjian Helsinki Tahun 2005, juga bertentangan dengan peraturan perundang-undang diatasnya, yaitu UUD 1945 pasal 28 G ayat (1), UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT), UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan lain sebagainya.

Secara implementatif Qanun Jinayat terbukti tidak mampu memberi jaminan kemanan bagi masyarakat Aceh. Bahkan, Qanun ini mengkriminalisasi dan mereviktimisasi korban pemerkosaan. Seorang korban pemerkosaan justru dihukum cambuk dengan tuduhan sebagai tersangka zina.[6] Dalam kasus lainnya, pasangan nikah siri dihukum cambuk dengan tuduhan khalwat dan ikhtilath.[7] Kedua korban dan anak-anaknya harus keluar dari kampungnya, dan kehilangan mata pencaharian sebagai sumber penghidupan keluarganya akibat label negatif yang dialami akibat pencabukkan.[8] Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa Qanun Jinayat jelas tidak memiliki keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat, bahkan melanggar hak asasi manusia dan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Belum selesai persoalan kemiskinan serta kekerasan dan kriminalisasi oleh Qanun Jinayat di Aceh, muncul kasus korupsi dana otonomi khusus Daerah Aceh. Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menetapkan Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah sebagai tersangka pada 4 Juli 2018. Hal ini merupakan bukti nyata, bahwa otonomi khusus tidak dibentuk untuk kepentingan masyarakat Aceh sebagaimana mandat undang-undang, dan mencederai rasa keadilan bagi masyarakat Aceh.

Berdasarkan hal tersebut, kami dari Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat dengan ini menegaskan bahwa pelaksanaan otonomi khusus Aceh sejatinya dijalankan berdasarkan kepentingan umum dan berdasarkan Hak Asasi Manusia, termasuk Hak Asasi Perempuan. Kami juga menyatakan sikap kami untuk Mendesak DPRA dan Pemerintah Aceh untuk meninjau kembali Qanun Jinayat yang secara substantif dan implementatif bertentangan dengan asas kepentingan umum, prinsip Perjanjian Helsinki Tahun 2005 serta peraturan perundang-undangan lain di atasnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.

 

Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), Arus Pelangi, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Human Rights Working Group (HRWG), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta, Konde Institute, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SejuK), Setara Institute, Solidaritas Perempuan (SP), Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan (YSK).

Narahubung: Isnur (081510014395)

[1] https://googleweblight.com/i?u=https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180704224943-12-311614/kpk-tetapkan-gubernur-aceh-tersangka-suap-dana-otsus&hl=en-ID
[2] Pasal 20 huruf c UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[3] MOU Helsinski merupakan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, yang mengakhiri kurang lebih 30 tahun konflik di Aceh, yang ditandatangani pada tahun 2005. Di dalam perjanjian damai ini ada beberapa point yang menjadi tuntutan Gerakan Aceh Merdeka seperti kewenangan mengatur pemerintahanya sendiri dalam otonomi khusus juga kewenangan membentuk partai politik lokal. Poin-poin di dalam MOU Helsinski tersebut selanjutnya tertuang dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Undang-undang Pemerintahan Aceh). Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2015/08/15/cerita-di-balik-perundingan-gam-ri-di-helsinki?page=2 dan dokumen  MOU Helsinski bahasa di http://www.acehkita.com/wp-content/uploads/2011/11/aceh_mou_bahasa.pdf
[4]pada poin 1.4.2 tentang Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan
[5] https://www.kemenkopmk.go.id/artikel/indeks-kesejahteraan-rakyat-di-provinsi-aceh-berada-di-urutan-21-dari-33-provinsi-dengan dan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh http://aceh.tribunnews.com/2018/01/15/aceh-provinsi-kaya-dengan-masyarakat-miskin 
[6] http://www.tibunnews.com/regional/2014/12/07/wanita-aceh-ini-dihukum-cambuk-setelah-diperkosa-8-pria
[7] khalwat: …..ikhtilat: berdua-duaan antara yang bukan muhrim yang mengarah kepada zina)
[8] Kasus dampingan Solidaritas Perempuan dan jaringan CSO di Aceh tahun 2017

Translate »