Rapor Merah Perlindungan Perempuan Buruh Migran: Pendulang Suara Minim Pelindungan

Press Rilis Hari Migran Sedunia 2023

Setiap tahun, pada tanggal 18 Desember, Indonesia dan negara negara di dunia memperingati Hari Migran Sedunia (International Migrant Day). Pada konteks Indonesia, seperti hal umum yang terjadi di seluruh dunia, bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja telah  lama  menjadi  pilihan  terakhir  bagi perempuan sebagai strategi untuk bertahan hidup demi keluarganya maupun dirinya sendiri. Keputusan ini biasanya dilandasi berbagai faktor antara lain karena banyaknya produk politik yang merampas ruang hidup perempuan sehingga meluasnya situasi kemiskinan di desa tempat tinggalnya yang tidak saja berdampak pada laki-laki, namun juga pada perempuan, dengan kehilangan akses terhadap penghasilan dan sumber-sumber kehidupannya, yang mengakibatkan perempuan mengalami migrasi paksa, minim pelindungan dari negara.

Berdasarkan hasil penelusuran Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Solidaritas Perempuan (SP)  pada tahun 2022, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan setidaknya terdapat 200.761 orang Warga Negara Indonesia yang menjadi pekerja migran, dimana dari total tersebut 61% atau 122.147 orang diantaranya merupakan perempuan yang diberangkatkan ke berbagai negara dengan berbagai jenis pekerjaan. Banyaknya jumlah Perempuan Buruh Migran  (PBM) ini tentu saja perlu menjadi perhatian negara karena mereka banyak mengalami permasalahan pada saat pra, selama  dan pasca pemberangkatan. BP2MI mencatat setidaknya ada 3.268 perempuan yang menyampaikan pengaduan kepada BP2MI sepanjang tahun 2022.[1] Selain itu, SBMI dan SP mencatat sampai November 2023, setidaknya terdapat 17.299 orang PBM yang terindikasi menjadi korban  tindak pidana perdagangan orang akibat buruknya kebijakan negara.

Armayanti Sanusi-Ketua BEN Solidaritas Perempuan menegaskanDalam konteks politik, buruh migran selalu menjadi target mendulang suara bagi para calon untuk masuk ke dalam sistem parlemen dan menjadi penguasa, namun negara justru abai memenuhi tanggung jawab memberikan kepastian hukum dan perlindungan. Hal ini diperparah dengan membuka kran perdagangan perempuan melalui kebijakan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 260 Tahun 2015 yang melarang Pekerja Rumah Tangga ke negara negara Kawasan Timur Tengah”.

Juwarih-Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia menyatakan“Kebijakan yang diharapkan menjadi solusi oleh negara justru berbalik menjadi malapetaka bagi buruh migran terutama perempuan yang pada akhirnya diberangkatkan dan ditempatkan secara unprosedural. SBMI dan SP mencatat praktik penempatan Perempuan Buruh Migran ke Negara-negara timur tengah terutama Arab Saudi masih tetap ada dengan persentase sebesar 36% dari 15 negara tujuan lainnya. Penempatan yang diatur oleh agen perekrut baik perorangan maupun melalui perusahaan dilakukan dengan berbagai macam modus, salah satunya adalah menggunakan visa umroh dan cleaning service.

Savitri-Seknas Jaringan Buruh Migran menekankan “Berbagai macam pelanggaran kontrak kerja terjadi dalam proses pengiriman Perempuan Buruh Migran ke Timur Tengah akibat produk politik busuk yang dikeluarkan oleh negara seperti, penahanan dokumen, penyekapan, gaji yang tidak dibayarkan, larangan untuk beribadah sampai dengan kekerasan seksual mengindikasikan terjadinya eksploitasi terhadap perempuan. Padahal tahun 2017, Indonesia telah memiliki UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Harapannya, dengan adanya UU ini, masalah yang dialami perempuan buruh migran semakin berkurang. Namun lagi-lagi, masih lemahnya komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan UU PPMI baik dari segi kebijakan maupun layanan migrasi di tingkat desa hingga di perwakilan RI. Akibatnya, masih tinggi tindak pidana perdagangan orang (trafficking) yang dilakukan oleh pelaku baik calo/sponsor, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), oknum pemerintah, majikan, bahkan keluarga.

Untuk itu, Solidaritas Perempuan, Serikat Buruh Migran Indonesia dan Jaringan Buruh Migran menantang para Calon Presiden dan Wakil Presiden tidak hanya mencantumkan dalam visi misi, namun memastikan dan memasukkan program kerja perlindungan sosial, hukum dan ekonomi untuk buruh migran dalam 100 (Seratus) hari masa kepemimpinan. 

Selain itu, kami menuntut negara untuk:

  1. Menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Kepmenaker 260 tahun 2015 yang berdampak terhadap eksploitasi Perempuan Buruh Migran.
  2. Berlaku Imparsial dan tidak diskriminatif terhadap buruh migran baik di sektor formal maupun informal.
  3. Segera implementasikan secara utuh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
  4. Segera mengesahkan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga untuk mewujudkan perlindungan buat Pekerja Rumah Tangga di dalam negeri dan di luar negeri
  5. Segera ratifikasi ILO C-188  Tentang Perlindungan standar kerja layak untuk awak kapal perikanan
  6. Segera Ratifikasi ILO C-189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga.

 

Narahubung:
Solidaritas Perempuan : 0812-8078-8634
Serikat Buruh Migran Indonesia (Juwarih) : 0852-2448-1957
Jaringan Buruh Migran : (Savitri) : 0821-2471-4978

[1] https://www.bp2mi.go.id/uploads/statistik/images/data_20-03-2023_Laporan_Publikasi_Tahun_2022_-_FIX_.pdf

Translate »