Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
(Refleksi atas Kerentanan Buruh Migran terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Trafficking)
Buruh Migran Indonesia Rentan Trafficking, Implementasi UU PTPPO Lemah
87.94 % Kasus Trafficking Indonesia terjadi di Malaysia
Baru saja Indonesia ‘merayakan’ diratifikasinya Konvensi Migran 1990, kita kembali dikejutkan oleh berita meninggalnya tiga orang Buruh Migran Indonesia di Malaysia. Pasalnya, Herman (34), Abdul Kadir Jaelani (25), dan Mad Noon (28), diduga menjadi korban penjualan organ. Sebagaimana yang dikutip oleh berbagai media, di jasad ketiga korban terdapat jahitan, di dada bagian atas, dekat lengan kanan ke kiri, lurus melintang. Tak hanya itu, terdapat juga jahitan di dada hingga tengah perut di bawah pusar, yang menyambung jahitan dada atas. Sementara, kondisi mata korban terjahit.
Kejadian di atas tentunya menjadi refleksi atas penanganan trafficking di Indonesia. Sudah lima tahun, Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yaitu UU No. 21 tahun 2007. Dalam pasal 1 angka (7) UU ini, transplantasi organ atau jaringan tubuh, jelas merupakan kategori tindak pidana perdagangan orang (Trafficking). Munculnya kasus dugaan penjualan organ yang menimpa ketiga Buruh Migran tersebut, menunjukan bahwa buruh migran Indonesia rentan menjadi korban trafficking dan juga menandakan bahwa UU PTPPO belum terimplementasi secara memadai.
Trafficking tidak hanya menimpa Herman, Abdul Kadir, dan Mad Noon. Selama 2005-2011 Solidaritas Perempuan (SP) telahmenangani 56 kasus Trafficking pada buruh migran perempuan. Pada tahun 2011 , kasus trafficking buruh migran perempuan yang ditangani oleh SP meningkat menjadi 17 kasus dengan tempat kejadian bervariasi yaitu Indonesia, Timur Tengah, Malaysia dan Taiwan. Sementara, International Organization of Migration (IOM) Indonesia, sejak Maret 2005 hingga Desember 2011, menangani 4067 kasus Trafficking. 3,942 kasus trafficking diantaranya menimpa warga negara Indonesia, dengan 87.94 % dari kasus Trafficking tersebut terjadi di Malaysia Mayoritas kasus trafficking dialami oleh perempuan, yaitu sebesar 88%. . Masih berdasarkan catatan IOM, Mayoritas korban trafficking dipekerjakan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), yaitu sebanyak 53,33% melebihi yang dipekerjakan sebagai pekerja seks yaitu 16,52%. Situasi di atas juga menunjukkan pemerintah tidak seriusdalam melindungi hak – hak buruh migran perempuan dan mengimplementasikan CEDAW (Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) khususnya pasal 6 mengenai Trafficking dan Eksploitasi Prostitusi Perempuan.
Angka-angka di atas tentulah bukan sekedar untuk dicatat. Sudah sepatutnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap penanganan trafficking. Terlebih, UU No. 21 Tahun 2007 belum diimplementasikan secara maksimal khususnya pada penanganan kasus trafficking buruh migran. Masih banyak aparat hukum yang belum memahami UU PTPPO dan bahkan enggan menggunakan kebijakan ini pada kasus yang dialami buruh migran. Pemerintah juga masih menafikkan bahwa trafficking sangat rentan dan kerap terjadi, terutama pada sistem penempatan buruh migran yang berlaku saat ini.
Pemerintah harus segera melakukan evaluasi pada kebijakan dan sistem migrasi di Indonesia. Berbagai kasus trafficking yang terjadi harus menjadi bahan evaluasi untuk perombakan sistem perlindungan dan penempatan Buruh Migran Indonesia. Tentunya, juga menjadi bahan penting dalam proses revisi UU. No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Perbaikan sistem perlindungan di berbagai tahap, dari tahap pra penempatan, penempatan, hingga tahap kepulangan perlu segera dilakukan. Konvensi Migran 1990 yang telah diratifikasi harus menjadi dasar dari revisi UU PPTKILN, sehingga dapatmelindungi hak-hak buruh migran Indonesia, termasuk mencegah terjadinya kasus trafficking pada buruh migran Indonesia.
Untuk itu, Solidaritas Perempuan (SP) menuntut pemerintah untuk:
- Usut tuntas kasus dugaan penjualan organ yang dialami 3 (tiga) buruh migran di Malaysia (Herman, Abdul Kadir, dan Mad Noon) dan seluruh kasus-kasus trafficking yang terjadi pada buruh migran Indonesia.
- Mengimplementasikan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dengan mengedepankan pada pendekatan HAM korban dan kelompok rentan termasuk buruh migran.
- Memastikan Aparat Penegak Hukum (APH) segera menerapkan UU dan Perda PTPPO dalam melakukan penanganan kasus trafficking terhadap buruh migran.
- Mempercepat proses revisi UU No. 39 Tahun 2004, dengan mengacu pada Konvensi Migran 1990 dengan antara lain menegakkan prinsip anti perbudakan dan perdagangan orang.
- Melakukan harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan tentang Buruh Migran di Indonesia dan pelaksanaannya demi sistem migrasi yang berperspektif perlindungan buruh migran dan mengedepankan hak asasi manusia serta keadilan gender.
Jakarta, 25 April 2012
(Wahidah Rustam)
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Kontak Person:
Thaufiek Zulbahary (08121934205), Dinda Nuurannisaa Yura (085921191707)