Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Jakarta, 8 Maret 2013
Sistem perekonomian global melalui liberalisasi perdagangan secara konsisten menghancurkan sumber-sumber perekonomian perempuan dan mengakibatkan pemiskinan perempuan. Skema perdagangan bebas yang diusung World Trade Organization (WTO), sebagai organisasi perdagangan dunia yang mendorong pembukaan perdagangan seluas-luasnya secara bertahap melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif, tidak memberikan kontribusi terhadap’peningkatan perekonomian perempuan Indonesia. Justru memaksa Indonesia untuk membuka akses pasarnya bagi kepentingan negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional sebagai pemegang dominasi kekuatan ekonomi dunia, melalui perusahaan-perusahaan transnasional.
Perjanjian WTO dirancang untuk melayani kepentingan perusahaan transnasional dan elit nasional yang mendorong konflik, dan berdampak meminggirkan akses dan kontrol masyarakat, laki-laki dan perempuan, dari penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Sebagai anggota, Indonesia memfasilitasi kepentingan tersebut baik segi kebijakan maupun infrastruktur. Selama ini, hasil negosiasi WTO mengatur Negara untuk membuka industri lokal pada kompetisi yang tidak adil dengan industri korporasi skala besar; mencegah negara melindungi industri lokal dan lingkungan alam, dan membuat Negara kehilangan hak untuk mengontrol jasa keuangan dan layanan dasar seperti perawatan kesehatan, pendidikan dan air, serta mengambil hak-hak dasar rakyat, termasuk hak perempuan – terhadap pasokan makanan yang aman dan sehat, penghidupan yang layak dan akses ke layanan dasar, dengan mentransfer kontrol atas hak-hak dasar tersebut kepada perusahaan-perusahaan transnasional.
WTO melalui Perjanjian Pertanian (Agreement of Agriculture/AoA) mendorong hasil pertanian menjadi komoditi pasar, bukan untuk pangan sehari-hari; produksi pertanian orientasi ekspor; hilangnya tanah-tanah pertanian untuk bisnis pertanian skala besar, hilangnya sumber mata pencaharian; serta meningkatnya petani tanpa tanah, bahkan hilangnya petani, terutama perempuan petani. Tidak berdaulatnya perempuan terhadap sistem produksi, distribusi dan konsumsi berdampak pada penghilangan peran perempuan di pertanian. Mekanisme perdagangan bebas melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang mengatur nol tariff, mengundang impor produk pangan ke Indonesia dengan alasan menjaga ketahanan pangan dalam negeri. Sedangkan, komoditi ekspor Indonesia masih di putaran bahan mentah sehingga sama sekali tidak mengguntungkan petani Indonesia. Pada tahun 2012, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliyun[1]. Dana tersebut untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang. Situasi ini berimplikasi mematikan produksi lokal petani, khususnya perempuan, yang tidak memiliki daya lenting untuk bersaing dengan produksi impor atau skala besar, terutama dari segi harga, standar kualitas, teknologi dan modal. Serangan produk-produk impor yang instan juga mematikan produk-produk tradisional dan rumahan yang banyak dikelola oleh perempuan. pengelolaan pangan secara tradisional belum bisa bersaing.
Padahal, kurangnya produksi pangan dalam negeri, adalah akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian. Menurut data Kementan, saat ini konversi lahan pertanian mencapai 140 ribu ha per tahun untuk berbagai kepentingan[2]. Alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan infrastruktur, perkebunan skala besar, pariwisata dan perumahan, selain berdampak pada berkurangnya produksi pangan ini juga berdampak pada hilangnya sumber penghidupan petani, laki-laki dan perempuan, meningkatnya konflik agraria, kriminalisasi dan pelanggaran HAM/HAP terhadap petani. Sejak tahun 2004-2012, telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dimana ada lebih dari 731.342 KK harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan[3]. Perempuan petani yang terampas lahannya terpaksa bekerja sebagai buruh, dengan upah yang lebih rendah dari buruh laki-laki atau tidak mampu bersaing sehingga harus mencari sumber perekonomian dengan bekerja sebagai buruh pabrik dan buruh migran di luar negeri tanpa adanya jaminan perlindungan dari pemerintah Indonesia.
Selain itu, liberalisasi perdagangan di sektor jasa tenaga kerja melalui General Agreement in Trade in Services (GATS) juga mengarah pada membanjirnya tenaga kerja asing ke Indonesia, dimana tenaga kerja lokal tidak mampu bersaing karena seringkali dianggap tidak memenuhi standar. Selain itu, implementasi GATS mode 4 di Indonesia justru mengarah pada peminggiran dan diskriminasi pekerja rumah tangga (PRT)-Migran yang mayoritas perempuan. Tenaga kerja Indonesia digeser orientasinya dari sektor informal, yang dikenal sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT) ke sektor formal (skilled labour), dengan alasan permasalahan dianggap banyak terjadi pada PLRT. Situasi rentan marak kekerasan yang terjadi pada PRT Migran disikapi Pemerintah bukan dengan meningkatkan perlindungan, namun justru akan menghentikan penempatan PRT Migran dengan secara bertahap sejak awal 2012 hingga 2017[4] dan mempromosikan penempatan TKI formal melalui program Road Map Zero Domestic Workers 2017. Penghentian penempatan PRT merupakan pembatasan terhadap hak atas kerja dari PRT Migran dan pembatasan hak perempuan untuk bermigrasi serta mengancam sumber pendapatan buruh migran perempuan dan keluarganya, mengingat mayoritas PRT Migran adalah perempuan. Kebijakan dalam bentuk roadmap ini di saat sulitnya lapangan kerja di dalam negeri menyebabkan perempuan Indonesia yang hendak bekerja keluar negri sebagai PRT terperangkap pada situasi pemiskinan dan hilang akses dan kontrolnya atas sumber ekonomi. .
Masyarakat Indonesia, laki-laki dan perempuan, menghadapi permasalahan yang sama akibat ancaman dan serangan perdagangan bebas, namun perempuan mengalami dampak yang berbeda akibat peran gendernya yang dikonstruksikan oleh paradigma pembangunan yang patriarki, sebagaimana tergambarkan di dalam permasalahan di atas. Sebagai subyek hukum di Indonesia, perempuan masih terdiskriminasi dan termarginalisasi, khususnya dalam hal kepemilikan atas tanah sebagai bagian dari penguasaan sumber-sumber agraria, kepemilikan properti dan aset-aset ekonomi, serta akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan dan pendapatan ekonomiSituasi tersebut berimplikasi pada meningkatnya penindasan dan ketidakadilan gender. Era perdagangan bebas ini dengan tingkat persaingan yang tinggi, menjadikan perempuan sebagai objek utama di dalam promosi produk-produk yang dijual di pasar. Bentukan pemikiran yang dibangun menjadi sebuah konstruksi sosial untuk mengeksplotasi tubuh dan seksualitas perempuan melalui iklan media dengan keinginan dari para pemilik modal untuk membaca pasar dalam melariskan barang-barangnya, serta menjadikan perempuan sebagai target pasar karena dianggap lebih konsumtif.
Untuk itu, dalam rangka Memperingati Hari Perempuan Sedunia, Solidaritas Perempuan memperjuangkan akses dan kontrol ekonomi yang adil bagi perempuan dengan mendorong prinsip-prinsip perlindungan dan keadilan dalam konteks perdagangan dan menuntut Negara untuk:
Melakukan evaluasi terhadap perjanjian perdagangan bebas yang telah diikatkan sebelumnya, baik dalam tingkat WTO maupun FTA regional dan bilateral, yang merugikan kepentingan rakyat terutama perempuan serta bertentangan dengan konstitusi, dan mendorong Indonesia keluar dari keanggotaan WTO.
Menerapkan prinsip perdagangan yang adil dengan tidak memperlakukan semua negara-negara anggota WTO secara sama atau non diskriminasi, tidak memberikan perlakuan yang sama antara produk impor atau perusahaan asing dengan produk domestik atau perusahaan lokal, serta mengembalikan kedaulatan Negara dalam memberikan perlindungan dan menguatkan produksi dalam negeri, khususnya produksi skala kecil dan menengah, termasuk produk tradisional dan rumahan.
Mengembalikan akses dan kontrol atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam kepada rakyat Indonesia, khususnya perempuan, serta menghentikan segala bentuk kekerasan, pelanggaran HAM/HAP dan kriminalisasi terhadap perempuan petani, nelayan, buruh dan perempuan miskin kota, demi melindungi aset dan kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional.
Memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri, dari persaingan dengan tenaga kerja asing, dan secara khusus, meninjau ulang Roadmap Zero Domestic Workers 2017 dan mengubah menjadi kebijakan Perlindungan hak-hak PRT Migran dan kerja Layak PRT (Road map of Decent Work for Domestic Workers), khususnya buruh migran perempuan Membatalkan proses penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perdagangan, di mana berdasarkan Naskah Akademik RUU Perdagangan versi 2012, RUU tersebut telah menghilangkan kedaulatan ekonomi Indonesia dan sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip dan aturan WTO, yang mana berpotensi menghambat perempuan dalam untuk mengakses sumber-sumber kehidupan dan penghidupan perempuan.
Jakarta, 8 Maret 2013
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Contact Person:
Puspa Dewy (0852 6024 1597)/ Thaufiek Zulbahary (0812.193.4205)/Ade Herlina (081310088232)/ Donna Swita (081317710690)/ Aliza Yuliana (0818 129770)
[2] “Mentan Prihatin dengan Alih Fungsi Lahan”, 1 Mei 2012, http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=971
[3] Data Konsorsium Pembaharuan Agraria, Laporan Akhir Tahun 2012.
[4] Source: http://www.antaranews.com/berita/294608/menakertrans–tki-informal-dihentikan-bertahap-2012-2017