REFLEKSI TERHADAP MINIMNYA PERLINDUNGAN NEGARA BAGI PEREMPUAN BURUH

Siaran Pers
Solidaritas Perempuan
Hari Buruh Internasional 2016

mayday 2016Sudah lebih dari seabad, perjuangan kaum buruh dunia diperingati melalui Hari Buruh Internasional (Mayday) yang jatuh setiap tanggal 1 Mei untuk mengakui pencapaian gerakan buruh yang menuntut pengesahan 8 jam kerja secara hukum. Mayday juga merupakan momen bagi gerakan buruh untuk merefleksikan perjuangan yang selama ini selalu digencarkan terkait perbaikan kondisi kerja, upah yang adil dan layak, serta kebebasan berserikat. Harus diakui, bahwa gerakan buruh memainkan peran penting dalam mendorong sebuah demokrasi suatu Negara, sama halnya dalam mendorong terciptnya keadilan social dan ekonomi, tidak terkecuali gerakan buruh di Indonesia.

Hari Buruh Internasional di Indonesia tahun ini diperingati pada saat Negara ini menghadapi tantangan liberalisasi ekonomi yang dijalankan pemerintahan Jokowi – JK melalui paket kebijakan seperti PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan yang berorientasi pada pembangunan fisik dan kepentingan pemilik modal itu membuka lebar kran investasi atas nama pertumbuhan pembangunan ekonomi. “Ancaman globalisasi jelas terlihati dari semakin melemahnya ketahanan perekonomian rakyat hingga hilangnya sumber-sumber kehidupan serta keberlanjutan ekologis.” Tandas Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy. Dampak yang timbul dari situasi tersebut tentu akan terasa dua kali lebih berat pada perempuan. Oleh karena itu, perjuangan kaum buruh merupakan perjuangan gerakan perempuan yang menjadi satu kesatuan dalam sebuah gerakan sosial.

Solidaritas Perempuan sebagai salah satu elemen dari gerakan perempuan dan gerakan sosial yang fokus pada perjuangan hak asasi perempuan melihat bahwa persoalan perempuan yang bekerja baik pada privat maupun public adalah ketiadaan pengakuan hak terkait identitas jender dan kelas sosialnya. Tengok saja, situasi kerentanan yang dihadapi oleh para perempuan buruh perkebunan kelapa sawit. Mereka seringkali hanya dijadikan Buruh Harian Lepas (BHL) yang tidak mendapat jaminan perlindungan hak sebagaimana buruh/pekerja lainnya. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan berbagai hak, seperti jaminan sosial, maupun hak cuti apapun terutama yang terkait kesehatan reproduktif seperti cuti haid dan cuti hamil serta melahirkan. Upah yang diterima pun seringkali lebih rendah dari upah buruh laki-laki, padahal beban kerja buruh perempuan lebih berat. Pelecehan dan kekerasan juga kadang terjadi baik saat perjalanan antar jemput ke lokasi perkebunan maupun di tempat kerja yang kebanyakan terletak di area yang jauh dari keramaian dan terpencil.

Perusahaan lebih banyak memilih mempekerjakan buruh perempuan dari pada laki-laki karena perusahaan menganggap perempuan lebih teliti dibandingkan laki-laki, salah satunya dalam hal pemeliharaan bibit. “Kami harus angkat sendiri pupuk dalam 1 karung yang kira-kira beratnya 50 – 60 kilo. Sehari biasanya dapat angkat 10-20 karung” kesaksian Ld, seorang mantan perempuan buruh pembibitan di Kota Poso. Selama menjadi buruh pembibitan, buruh perempuan tidak dilengkapi pelindung atau alat keselamatan kerja. Bahkan para buruh membawa peralatan sendiri berupa parang, cangkul dan ember. Jika sakit, perusahaan tidak pernah menanggung biaya berobat. Menurut perawat yang bertugas di puskesmas pembantu Desa Olumokunde, dimana buruh perempuan banyak yang berobat dengan mengeluh sakit pinggang, pegal-pegal dan gatal-gatal. Bahkan ada yang mengalami alergi seluruh tubuh.

Sementara itu, perempuan nelayan, yang meskipun hidupnya tidak dapat dilepaskan dari urusan kenelayanan namun mereka masih sulit untuk memperoleh pengakuan sebagai perempuan nelayan. Perempuan nelayan hanya memiliki status tunggal subordinasi: isteri atau anak nelayan. Bahkan, Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam pun tidak mengakui identitas perempuan nelayan. “UU yang disahkan pada 15 Maret 2016 ini, ini tidak mempertimbangkan masukan Solidaritas Perempuan dan sejumlah masyarakat sipil lainnya untuk memastikan pengakuan dan memperkuat perlindungan perempuan di pesisir”, ujar Arieska Kurniawaty, Kepala Divisi Perdagangan Bebas dan Investasi, Solidaritas Perempuan.  Hal ini tentunya akan berdampak pada akses perempuan nelayan terhadap berbagai program perlindungan dan pemberdayaan nelayan maupun program lainnya yang akan sangat terbatas.

Reklamasi pantai yang saat ini sedang berlangsung juga berpotensi mengakibatkan hilangnya wilayah tangkap nelayan tradisional karena pencemaran yang terjadi. Situasi ini tentunya menjadikan perekonomian keluarga nelayan pun semakin terhimpit. Perempuan yang dilekatkan dengan peran gendernya sebagai pengelola keuangan keluarga pun harus berusaha lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga banyak diantara mereka yang bekerja serabutan, sebagai pemulung ataupun buruh cuci. Bahkan diantaranya ada yang mulai mencari informasi untuk bekerja keluar negeri sebagai buruh migran pekerja rumah tangga. Bekerja keluar negeri tidak lantas mengatasi persoalan himpitan ekonomi. Dimensi persoalannya justru akan menjadi lebih luas karena melintasi batas Negara yang membuat kerentanan perempuan buruh migran semakin berat dan berlapis.

Perempuan yang memutuskan bekerja keluar negeri seringkali mengalami kerentanan di berbagai tahapan migrasi. Skema migrasi di Indonesia yang mengakibatkan ketergantugan perempuan terhadap calo, PJTKI, dan pihak lainnya, mengakibatkan perempuan buruh migran rentan mengalami pemerasan (jeratan utang), bahkan kekerasan, termasuk kekerasan seksual dari pihak yang mengurus pemberangkatannya.

Konstruksi jender dan relasi kuasa yang menempatkan perempuan di posisi lemah, serta melihat pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak penting turut memberi andil terhadap kerentanan perempuan buruh migran termasuk terhadap risiko kesehatan. Selain rentan mengalami kecelakaan kerja, berbagai kasus penyiksaan, pelecehan seksual, perkosaan serta berbagai pelanggaran hak lainnya kerap menyebabkan perempuan buruh migran mengalami gangguan fisik (luka serius, buta, cacat fisik, dll) serta gangguan mental (depresi/gila). Kerentanan tersebut menjadi berlapis bagi buruh migran yang tidak berdokumen, yang mengakibatkan terbatasnya akses layanan informasi dan akses terhadap pemenuhan hak-haknya.

Solidaritas Perempuan (SP) mencatat 107 kasus dengan berbagai jenis kekerasan dan pelanggaran hak sejak 2012 hingga Februari 2015. Kasus trafficking perempuan buruh migran menjadi kasus terbanyak yang ditangani oleh SP lalu diikuti dengan kasus pelanggaran hak terkait ketenagakerjaan seperti beban kerja/jam kerja yang panjang, kontrak kerja yang eksploitatif, gaji tidak dibayar, PHK sepihak oleh majikan, tidak ada hari libur, dll. Sekilas proses penempatan calon buruh migran memang berbeda dengan perdagangan manusia. Tetapi pada praktiknya beberapa aspek definitif tentang perdagangan manusia banyak dialami pekerja migran terutama perempuan.

Skema globalisasi hanya melihat buruh di sector formal yang dianggap sebagai mesin yang menghasilkan keuntungan. Sementara itu, pekerja-pekerjaan domestic atau pekerjaan rumah tangga dianggap tidak menghasilkan produksi ataupun keuntungan sehingga tidak diakui sebagai pekerjaan. Akibatnya pekerja domestic (PRT) tidak pernah diperhitungkan, sehingga minim pengakuan yang akhirnya tidak dianggap pantas mendapat perlindungan. Ketiadaan pengakuan semakin ditegaskan pemerintah melalui pemberlakuan kebijakan Roadmap Zero Domestik Workers yang menargetkan penghentian penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sektor informal ke luar negeri secara bertahap  sampai ke titik nol (zero) pada tahun 2017.  Penghentian bertahap sudah dimulai sejak awal 2012 hingga 2017. Kemenakertrans bahkan mengklaim bahwa selama 2012 sudah berhasil mencegah penempatan TKI informal sebanyak 50%.

“Hingga hari ini, buruh migran terutama perempuan masih dilihat sebagai komoditas ekonomi yang dilihat sebagai hitungan remitansi tanpa perlindungan memadai dari Negara” ujar Nisaa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan. Nyatanya, Konvensi Migran 90 yang sudah diratifikasi belum berdampak secara langsung pada perombakan sistem perlindungan yang komprehensif bagi buruh migran.

1 Mei 2016

Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

CP: Risca (081219436262)

Translate »