Rekomendasi Jakarta “Untuk Penyusunan Mekanisme Asean Tentang Perlindungan dan Promosi Hak Asasi Buruh Migran yang Berperspektif Gender”

Thursday, 24 March 2011 17:14

Pengantar:

Pada 4-5 Oktober 2010, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang konsern terhadap perlindungan hak buruh migran di Indonesia menyusun sebuah rekomendasi terhadap Rancangan Instrumen ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Buruh Migran. Instrumen ini adalah  mandat dari Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak Buruh Migran.

Poin 22 Deklarasi tersebut memuat komitmen yang telah disepakati ASEAN dengan menugaskan badan-badan ASEAN yang terkait untuk menindaklanjuti Deklarasi dan mengembangkan instrumen ASEAN tentang perlindungan dan promosi hak-hak buruh migran dan memandatkan Sekretaris-Jenderal ASEAN untuk menyampaikan laporan tahunan atas proses implementasi dari Deklarasi kepada KTT melalui Pertemuan Menteri ASEAN.

Secara umum Rekomendasi Jakarta memaparkan isu-isu krusial terkait Buruh Migran Perempuan serta beberapa rekomendasi kepada tim penyusun (drafting team) Instrumen ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Buruh Migran agar instrument yang dihasilkan betul-betul memperhatikan aspek gender dan mengacu pada standar HAM internasional. Selain itu, beberapa rekomendasi khusus juga disampaikan kepada pemerintah Indonesia sebagai Negara yang melakukan penempatan buruh migran agar melakukan langkah-langkah nyata untuk melindungi hak-hak buruh migran Indonesia.

Berikut adalah Rekomendasi lengkap yang terlah disusun masyarakat sipil untuk Intrumen ASEAN yang melindungi hak-hak Buruh Migran:

 

REKOMENDASI JAKARTA

UNTUK PENYUSUNAN MEKANISME ASEAN TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PROMOSI HAK ASASI BURUH MIGRAN YANG BERPERSPEKTIF GENDER

Kami, sejumlah organisasi non pemerintah di Indonesia (ADBMI Lombok Timur, ASPEK, ATKI, HRWG, Kalyanamitra, KOFS, KPI, LBH Jakarta, LBH Apik, Solidaritas Buruh Migran Karawang, Solidaritas Buruh Migran Cianjur, Solidaritas Perempuan, Peduli Buruh Migran ) bersama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) serta  organisasi regional APWLD (the Asia Pacific Forum on Women, Law, and Development)  dan CARAM Asia (Coordination of Action Research on AIDS and Mobility in Asia) menyusun sejumlah rekomendasi bagi para pihak yang terlibat dalam proses penyusunan Instrumen ASEAN tentang perlindungan dan promosi hak asasi buruh migran agar instrument tersebut lebih berperspektif jender. Rekomendasi ini terutama kami sampaikan kepada Pemerintah Indonesia, Sekertariat ASEAN, ACMW (Asean Committee on the Implementation Declaration of Migrant Workers), ACWC (ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children) dan AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights).

 

PERHATIAN  DAN KEPEDULIAN KAMI:

1.  Adanya berbagai peraturan perundang-undangan bagi buruh migran yang tidak adil jender di kawasan ASEAN. Sebagai contoh dari Indonesia antara lain:  UU No 39 tahun 2004 tentang PPTKILN (penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri) dan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur No. 15 Tahun 2002 tentang   Perlindungan Tenaga kerja Indonesia Kabupaten Cianjur ke Luar Negeri. Peraturan peraturan ini terbukti telah melemahkan posisi buruh migrant perempuan, mereka dibatasi haknya untuk bermigrasi (karena harus ada izin suami) dan sangat rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi, trafficking, kekerasan, diskriminasi, marginalisasi, dan stereotyping.

2.  Lemahnya jaminan pemenuhan hak-hak normatif bagi buruh migran perempuan di kawasan ASEAN,  termasuk  pengabaian dan pelanggaran:

  • hak mendapatkan upah layak, hak mendapatkan upah lembur, hak mendapatkan hari libur, hak mendapatkan jaminan kesehatan keselamatan kerja, hak beribadah, hak kebebasan berserikat, hak kebebasan berekspresi, hak berkomunikasi, dan hak memegang paspor sendiri
  • hak atas kesehatan seksual dan reproduksi buruh migran perempuan (tidak ada cuti haid, dilarang bekerja karena hamil, termasuk tidak diberangkatkan atau dideportasi karena hamil) dan Hak untuk menikah
  • hak bekerja bagi  buruh migran yang terinfeksi HIV/AIDS (adanya mandatory test bagi calon pekerja migran, dan deportasi ketika terindikasi terinfeksi HIV/AIDS)
  • hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi buruh migran yang terkait masalah hukum di Negara tempat bekerja

3.    Lemahnya jaminan pemenuhan kesehatan reproduksi bagi buruh migran perempuan di kawasan ASEAN. Buruh migran perempuan diwajibkan mengikuti pemeriksaan kehamilan sebelum keberangkatan dan dideportasi apabila hasilnya positif. Bahkan dipaksa melakukan aborsi atau terbentur oleh tidak adanya kesempatan/ sarana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan aborsi yang aman ketika kesehatannya sebagai seorang ibu/ calon ibu berisiko, atau bahkan setelah mengalami serangan seksual; tidak diberi cuti hamil dan tunjangan bersalin sama sekali atau kalau pun diberi, tidak mencukupi, dan tidak mendapatkan perawatan dokter kandungan karena biayanya tidak terjangkau, sehingga mengakibatkan risiko kesehatan yang serius. Buruh migran perempuan juga kemungkinan akan menghadapi pemutusan hubungan kerja ketika ketahuan hamil; hal ini kadang-kadang mengakibatkan status keimigrasian mereka menjadi tidak jelas dan deportasi.

4.    Buruh migran pekerja rumah tangga memiliki posisi yang paling rentan di kawasan ASEAN:

  • Pekerjaan Rumah tangga  dianggap sebagai  tugas perempuan yang tidak bernilai produktif. Hukum perburuhan setempat  belum mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang berhak atas kondisi kerja layak sebagaimana jenis pekerjaan lainnya. Akibatnya buruh migran PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
  • Buruh migran perempuan yang bekerja sebagai PRT di negara-negara ASEAN tidak memiliki standar upah, tidak menikmati hak atas keselamatan kerja dan kesehatan reproduksi, tidak diberi hari libur, dan tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam serikat pekerja dan tidak leluasa dan bahkan pada banyak kasus dikekang untuk tidak berkomunikasi dengan dunia luar termasuk keluarganya sendiri. Akibat relasi kuasa yang tidak seimbang antara majikan dan buruh migran PRT, buruh migran PRT rentan mengalami penganiayaan fisik, pelecehan seksual, atau bahkan perkosaan. Sejalan dengan ini buruh Migran PRT tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan akses informasi tentang mekanisme internasional (CEDAW, ILO, Migrant Convention 1990) dan regional (ASEAN declaration) yang telah tersedia. Masih subur pandangan (dari pemerintah dan majikan) yang menganggap jika buruh migran PRT diberi libur akan  berpeluang menyebabkan PRT hamil, dan melawan majikan.
  • Diplomat dan petugas perwakilan pemerintah di luar negeri yang bertanggung jawab pada perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri kurang menggunakan perspektif gender dan HAM dalam menangani masalah buruh migran; hal ini  banyak merugikan buruh migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga

5.  Tidak tersedianya layanan terpadu secara cuma-cuma (layanan psikologis, medis, bantuan hukum, dan shelter) yang mudah di akses buruh migran perempuan yang menjadi korban kekerasan dan korban perdagangan perempuan di negara tempat bekerja di kawasan ASEAN.

6. Belum tersedianya jaminan sosial maupun mekanisme perlindungan yang secara khusus diperuntukkan bagi buruh migran perempuan yang mengalami pelanggaran hak-haknya.

7.  Format Asuransi bagi buruh migran Indonesia tidak berperspektif gender;  kebutuhan dan kondisi spesifik perempuan seperti kesehatan reproduksi, kehamilan, dan biaya persalinan tidak tercakup dalam asuransi Buruh migran. (dan asuransi sosial lainnya mis; pendidikan dan kesehatan anak dari buruh migran)

8.  Dalam praktek medical check up: buruh migran perempuan rentan atas pelecehan seksual.  Tes HIV/AIDS dilakukan  tanpa 3 C (Consent, Confidentiality, dan Counseling).

9.  Besarnya biaya sosial yang harus dipertimbangkan oleh perempuan yang akan berangkat bermigrasi ke luar negeri, misalnya terkait dengan terpenuhinya kebutuhan anak akan pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang selama kepergian ibunya bekerja di luar negeri.

 

RUJUKAN

10.  Kami merujuk berbagai  instrumen perlindungan hak asasi manusia, hak asasi perempuan, dan hak asasi buruh migran yang telah disepakati secara universal sebagai konvensi internasional, maupun komitmen regional ASEAN sebagai bahan penyusunan rekomendasi untuk Instrumen ASEAN bagi perlindungan dan promosi hak buruh migran

11.  Konvensi-konvensi internasional yang kami jadikan rujukan antara lain:

  • Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), termasuk General Recommendation CEDAW No. 26 mengenai Buruh Migran Perempuan, dan Concluding Comment Committee CEDAW untuk pemerintah Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2007
  • Beijing Platform for Action
  • 8  Konvensi inti  ILO  dan  Rekomendasi ILO No. 91 tentang Perjanjian Kolektif;
  • Konvensi Internasional Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran beserta Anggota Keluarganya, tahun 1990 (Konvensi Migran 1990)

12.  Komitmen ASEAN yang kami jadikan rujukan antara lain Komitmen ASEAN yang kami jadikan rujukan antara lain Cebu Declaration Towards One Caring and Sharing Community, ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, TOR  dan Workplan  AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) 2010-2015.

 

REKOMENDASI

13.   Mekanisme ASEAN untuk perlindungan dan promosi hak asasi buruh migran perlu mengadopsi  prinsip non diskriminasi, kesetaraan gender (keadilan substantif),  dan tanggung jawab negara sebagaimana yang termuat dalam CEDAW, dalam general recommendation CEDAW no. 26 tentang buruh migran perempuan, dan sejalan dengan  prinsip-prinsip yang terdapat pada delapan ILO Core Conventions, serta Migrant Convention 1990.

14.  Mekanisme ASEAN tersebut harus kondusif bagi upaya menciptakan sistem migrasi yang  melindungi hak buruh migran -khususnya perempuan– agar tidak  rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi, trafficking, kekerasan, diskriminasi, marginalisasi, dan stereotyping.   Dalam konteks ini, mekanisme ASEAN  diharapkan ikut  mendorong/mendukung  agar negara-negara ASEAN  segera :

  • meratifikasi Konvensi Migrant 1990, dan Konvensi  ILO No 97, 143, 181.
  • mereview peraturan dan kebijakan migrasi buruh dengan memperhatikan kebutuhan khusus buruh migran perempuan sebagaimana yang dimandatkan  dalam General Recommendation CEDAW No 26. Mencabut  dan memperbaiki peraturan/kebijakan  yang diskriminatif terhadap buruh migran perempuan, serta meniadakan pembatasan yang mengharuskan perempuan meminta izin dari suami atau wali laki-laki untuk mendapatkan paspor atau untuk bermigrasi.
  • mensinergikan peraturan-peraturan mengenai buruh migran  berbasiskan pada penerapan instrumen HAM internasional.
  • meningkatkan pemahaman dan kemampuan para petugas baik di dalam negeri maupun  perwakilan luar negeri yang menangani buruh migran dengan perspektif  gender (gender sensitive) dan HAM.
  • membangun mekanisme bantuan hukum dan pusat layanan terpadu bagi pekerja migran perempuan yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan perempuan, termasuk menyediakan mekanisme arbitrase/negosiasi, penyelesaian secara musyawarah, reintegrasi sosial, dan tidak mewajibkan seseorang untuk ditahan di pusat-pusat rehabilitasi. Proses rehabilitasi dan pemulihan harus atas persetujuan pekerja migran.
  • menetapkan sistem pemantauan yang efektif guna memastikan bahwa pelaksana penempatan buruh migrant Indonesia dan majikan menghormati hak semua buruh migran perempuan, dan memidanakan mereka yang melakukan perbuatan kekerasan, pemaksaan, penipuan dan atau eksploitasi serta pemerasan.

15. Mekanisme ASEAN yang akan disusun harus ikut berkontribusi dalam proses standarisasi perlindungan hak asasi buruh migran  tingkat regional, termasuk di dalamnya:

  • standar perburuhan (hak-hak normatif) bagi setiap buruh migran terkait upah layak, upah lembur, hari libur,  jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi,  berkomunikasi, dan beribadah Melarang diskriminasi upah berdasarkan, ras, etnis, gender, agama, dan bahasa di kawasan ASEAN.
  • standar majikan yang diijinkan mempekerjakan PRT; memastikan bahwa orang yang akan mempekerjakan PRT tidak mempunyai track record melakukan kekerasan terhadap pekerjanya, mampu membayar upah sesuai standar yang ditentukan, dan bersedia memenuhi hak-hak bekerja standar yang telah ditentukan ASEAN.
  • standar kurikulum pendidikan bagi buruh migran yang berbasiskan pada HAM dan keadilan jender; menjamin terpenuhinya hak atas informasi dan pendidikan atau pengembangan diri buruh migrant. Pemerintah perlu mengambil alih peran penyelenggara pendidikan keberangkatan dan bekerja sama dengan serikat pekerja atau NGO dalam melakukannya. Menghapus persyaratan wajib menetap di penampungan selama masa pendidikan.
  • standar layanan kesehatan dan pemenuhan hak-hak reproduksi buruh migran perempuan pada keseluruhan proses migrasi, mulai dari proses medical check up sebelum keberangkatan dan di Negara tujuan, hingga layanan kesehatan umum di tempat kerja dan di terminal kepulangan, serta tempat-tempat penahanan dan shelter/pusat rehabilitasi, baik di Negara asal maupun di Negara tujuan;  Medical check up yang dilakukan harus bebas dari praktek pelecehan seksual, meniadakan mandatory test HIV/AIDS bagi calon pekerja migran, memberi jaminan hak-hak bekerja bagi pekerja migran dengan HIV/AIDS, jaminan kerja bagi buruh migran yang hamil, dan tidak ada deportasi bagi yang menderita HIV Aids atau hamil; serta perlu juga dibuka akses layanan VCT, konseling dan tes kehamilan bagi buruh migran migran perempuan di Negara tujuan.
  • standar biaya pemberangkatan bekerja di luar negeri. Pemerintah di Negara tujuan perlu menetapkan aturan yang melarang majikan memotong seratus persen gaji pekerja migran setiap bulannya.

16.  Mekanisme ASEAN yang akan disusun harus membuka ruang kerjasama yang seluas-luasnya bagi Pemerintah dan Masyarakat Negara penerima dan pengirim di kawasan ASEAN dalam:

  • menyediakan bantuan hukum dan pelayanan terpadu secara cuma-cuma untuk para buruh migran, termasuk penyediaan shelter, proses rehabilitasi sosial dan psikologis, serta kompensasi.
  • mensosialisasikan mekanisme ASEAN serta mekanisme internasional yang selaras dengannya kepada komunitas buruh migran dan pihak-pihak yang terkait
  • memberantas praktek perdagangan perempuan dan penyelundupan manusia
  • meningkatkan pengetahuan dan kapasitas buruh migran untuk berpartisipasi dalam seluruh tahap pembuatan peraturan buruh migran di negara asal dan negara tujuan (mulai dari perumusan, proses pembahasan dan pengambilan keputusan).
  • Standarisasi Sertifikasi sertifikat kompetensi untuk BMI yang berlaku dan di keluarkan oleh sebuah negara, dapat diakui dan diterima oleh Negara  ASEAN lainnya.

REKOMENDASI KHUSUS UNTUK PEMERINTAH INDONESIA

17.  Sebagai perintis, pemimpin dan sekaligus Anggota ASEAN yang disegani, Pemerintah Indonesia perlu memberi jejak yang pasti dalam mengadopsi nilai-nilai dan instrumen HAM internasional bagi perlindungan buruh migran. Indonesia harus segera meratifikasi Konvensi Migran 1990 yang telah ditandatangani pada tahun 2004 sebagaimana yang telah direncanakan dalam RANHAM 1998-2004 dan RANHAM 2004-2009.

18. Pemerintah Indonesia perlu mempercepat proses revisi terhadap UU 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar negeri; dan  mencabut atau merevisi perda-perda buruh migrant yang diskriminatif terhadap perempuan dan membatasi kebebasan bergerak perempuan  (mengacu pada nilai-nilai CEDAW, 8 Core Conventions ILO dan konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan perlindungan buruh migran dan buruh perempuan; serta Konvensi Migran 1990).

19.  Pemerintah Indonesia (Pusat dan daerah) perlu segera menghilangkan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap buruh migran perempuan, misalnya aturan mengenai kewajiban adanya izin dari suami/orang tua.

20.Pemerintah Indonesia perlu mempertegas peran  perlindungannya terhadap buruh migran  baik yang berdokumen maupun tidak bedokumen dalam keseluruhan proses migrasi  dan memaksimalkan peran/tanggung jawab Negara mengoptimalkan pelayanan publik bagi buruh migran dalam proses migrasi.

21.  Pemerintah Indonesia perlu membuat standarisasi kurikulum pendidikan yang berbasis HAM dan keadilan gender bagi calon buruh migran (sebelum keberangkatan). Pemerintah Indonesia juga perlu menyelenggarakan program pendidikan tentang hak-hak buruh migran perempuan, bentuk-bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender, eksploitasi yang dapat dialami perempuan dan tanggung jawab perusahaan penempatan terhadap perempuan, sehingga dapat meningkatkan kesadaran calon buruh migran perempuan akan kemungkinan terjadinya eksploitasi. Program pendidikan ini dilakukan pada saat pra-keberangkatan dan diberikan secara cuma-cuma atau dengan biaya terjangkau, serta mudah di akses oleh calon buruh migrant perempuan.

22. Pemerintah Indonesia perlu menetapkan peraturan dan merancang sistem pemantauan yang efektif guna memastikan bahwa pelaksana penempatan buruh migran menghormati seluruh hak buruh migran perempuan.

23. Pemerintah Indonesia perlu memasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan tentang definisi yang lengkap dan menyeluruh tentang apa yang dimaksud dengan pelaksana penempatan buruh migran yang tidak bertanggung jawab  dan menetapkan ketentuan tentang sanksi hukum yang tegas atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaksana penempatan buruh migran.

24.  Melakukan Revisi dan penyusunan standard Pelayanan Minimum (SPM) yang sensitif gender untuk menjadi acuan perwakilan Indonesia di seluruh dunia dalam memberikan pelayanan dan perlindungan pada Buruh Migrant khususnya Perempuan

25.  Menempatkan satu orang atase yang mempuanyai hak diplomatic di negara yang terdapat minimum 100 (seratus) orang Buruh Migran Indonesia.

26. Menyempurnakan kurikulum untuk pendidikan para diplomat untuk memastikan para diplomat Indonesia memiliki pemahaman dan penjiwaan yang utuh tentang kesetaraan gender

Jakarta, 4-5 Oktober 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Translate »