Revisi UU Pangan: Pemerintah Masih Buta Gender untuk Wujudkan Hak atas Pangan Perempuan

Thursday, 03 November 2011 14:58

Peringatan Hari Pangan Sedunia

Dialog Publik “Revisi UU Pangan: Wujudkan Hak Pangan Perempuan” diadakan oleh Solidaritas Perempuan, pada 25 Oktober 2011 di Gedung Nusantara 1, DPR-RI, Senayan. Kegiatan ini bertepatan dengan adanya pembahasan revisi UU Pangan yang saat ini sudah sampai pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2010 2014). Legaslatif sudah mengeluarkan draft akademis di tahun 2009, namun dipandang jauh dari keberpihakan terhadap rakyat, serta masih berorientasi kepada industri skala besar. Draft tersebut pun masih juga dipandang masih belum berasaskan keadilan gender sehingga masih sangat berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan masalah yang semakin melemahkan perempuan.

Menurut Tini Sastra, Kepala Program Perempuan dan Kedaulatan Pangan Solidaritas Perempuan, “Sistem nilai dalam masyarakat yang masih patriarkis di Indonesia, seringkali mengidentikkan istilah ‘masyarakat’ sebagai ruang laki-laki mengakibatkan peran perempuan menjadi tersembunyi dan hilang, meski berasaskan kemandirian, keamanan, manfaat dan lestari, pemerataan, keadilan dan berkelanjutan, namun RUU ini luput meletakkan asas Keadilan Gender”.

Sementara Ibnu Multazam Fraksi PKB sekaligus Panja di Komisi 4 berkata “Tidak perlunya asas keadilan gender dalam revisi UU Pangan, dikarenakan secara aplikasi peran perempuan sudah cukup diakomodir seperti contohnya tidak hanya kelompok tani laki-laki saja yang didukung kelompok tani perempuan pun mendapatkan dukungan yang sama”.

Pernyataan yang sangat kontradiksi ini memperlihatkan bahwa memang perspektif pembuat kebijakan terhadap persoalan perempuan belum ada.

“Dampak langsung dari kondisi pangan dan stabilitas harga pangan adalah perempuan. Kondisi tersebut dari proses produksi sampai pelayanan. kedaulatan pangan tidak akan terwujud tanpa adanya keterlibatan perempuan” ungkap Ibnu Multazam

Ditegaskan juga oleh Tini Sastra, “Harga Pangan naik tidak terkontrol, ini menghambat masyarakat untuk mengakses hak pangan dengan harga terjangkau, khususnya masyarakat miskin. Karena draf revisi versi DPR ini yang tidak secara jelas mengatur tentang adanya sanksi bagi para spekulan. Karena menurutnya, kenaikan harga-harga pokok yang tidak dapat dikontrol oleh pemerintah ini salah satunya disebabkan oleh ulah spekulan yang hanya mencari untung semata”.

Disampaikan juga dalam dialog publik ini, Anak Agung Jelantik Sanjaya dari Fraksi Gerindra yang mewakili Komisi 4, “Hak mendapatkan pangan adalah hak asasi manusia, Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah mengkonvesi konvenan ECOSOC, menyatakan pangan adalah hak asasi manusia, oleh sebab itu maka pemerintah wajib mendukung dan membuat rakyatnya mudah mengaksesnya”,

Sangat kontradiktif dengan pernyataan Gunawan (Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS)) dari perwakilan masyarakat sipil, bahwa, “Dalam revisi UU Pangan belum sama sekali mengakomodir konvensi ECOSOC. Karena dalam batang tubuh UU tersebut dipandang masih kurang aspek HAMnya”.

“Dalam Revisi UU Pangan ini juga masih terlihat orientasi hanya kepada industri skala besa. Konsep mengenai kedaulatan pangan, juga belum diakomodir karena belum memasukkan ketentuan hak pangan sesuai dengan yang dikeluarkan oleh PBB, jelas Gunawan.

Gunawan juga menjelaskan, “Dalam pengertian hak atas pangan, didalamnya sudah termaktub pengertian kemandirian, kedaulatan dan ketahanan pangan. bahkan juga melebihi ketahanan pangan dengan meletakkan titik fokusnya, adalah akuntabilitas dari pemerintah dalam menyelenggarakan kebijakan pangan“.

Ditegaskan juga oleh Tini Sastra, “Secara dasar hukum, Indonesia masih lemah tanggung jawabnya menghapus diskriminasi perempuan dan salah satu indikatornya tidak mencamtunkan UU No 7 tahun 1984 tentang CEDAW. Karena sebagai negara yang sudah meratifiaksi ini belum tercantum sampai ke 1999 kemarin”.

“Artinya UU ini tidak melindungi dan menghormati akses perempuan pada proses produksi, distribusi dan konsumsi”, ungkap Tini Sastra lagi.

Persoalan ini juga terungkap dari pemaparan pengalaman perempuan Nelly dari Makassar menyatakan “Kondisi di Sulawesi Selatan pemerintah saat ini sedang mendukung pertanian masuk dalam industri menenggah, yang artinya produks pertanian tidak hanya untuk dikonsumsi tapi juga berorientasi ekspor”, ungkapnya. “Situasi ini jelasnya lagi sangat kontrakdiksi dengan kasus gizi buruk yang semakin meningkat dalam jangkan waktu 1 bulan sudah 6 orang anak yang meninggal karena kurang gizi”, tegas Nelly.

Selain Nelly, pengalaman perempuan juga di paparkan oleh Widji dari Jogja, terkait kondisi masyarakat saat ini yang hanya berorientasi pada beras, ungkapnya “Awalnya di Wonogiri pangan utamanya tiwul, tapi karena adanya kebijakan nasional bahwa pangan itu adalah beras sehingga kondisi ini mematikan pangan lokal. Pertanian pun beralih ke padi bukan lagi pertanian yang beragam”, ujarnya

Dialog Publik ini dihadiri oleh masyarakat sipil, perwakilan fraksi-fraksi di DPR-RI, juga perempuan-perempuan dari wilayah Jogja, Bojonegoro, Palu, Makassar, Mataram, Palembang dan Jakarta. Selain dialog juga ada penampilan musikalisasi Puisi dari kelompok perempuan. Dialog ini juga diliput dan publikasikan di beberapa Media.

sumber berita:
http://fy-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5319%3Awujudkan-hak-pangan-perempuan&catid=37%3Anational-news&Itemid=265

http://www.fraksi.pkb.or.id/index.php/indeks-katagori-berita-nasional/177-ibnu-multazam-pemerintah-harus-menjamin-stabilitas-harga-bahan-pokok?fontstyle=f-smaller

Translate »