RUU Cipta Kerja: Menuju Penghancuran Lingkungan Hidup dan Perampasan Kedaulatan Perempuan

Siaran Pers Solidaritas Perempuan

Pengkajian dan diskusi mengenai RUU Cipta Kerja terus dilakukan masyarakat sipil untuk mengupas secara mendalam potensi dampak buruk yang disebabkan RUU ini kepada masyarakat, dalam berbagai aspek. Salah satunya aspek perlindungan lingkungan dan gender, yang dibahas melalui Webinar bertajuk “Menelaah Potensi Dampak RUU Cipta Kerja Dari Aspek Lingkungan dan Gender.” Kegiatan yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan pada Senin, 20 Juli 2020, menghadirkan sejumlah narasumber dan penanggap, baik dari organisasi masyarakat sipil maupun perempuan akar rumput. Raynaldo Sembiring dari Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menyatakan bahwa PP Nomor 24 Tahun 2018, tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik/Online Single Submission (OSS) dan RUU Cipta Kerja merupakan peraturan yang identik. Keduanya mempermudah izin dan mereduksi hambatan-hambatan dalam berinvestasi. “Bila OSS merekayasa perizinan lingkungan dengan menjadikan AMDAL sebagai dokumen administratif, maka RUU Cipta Kerja menghilangkan makna AMDAL dan menghilangkan izin lingkungan. Ini artinya terjadi pelonggaran Environmental-Social Safeguards dan Pengawasan-Penegakan Hukum,” papar Raylando.

Sedangkan Nur Hidayati dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyoroti bahwa dilemahkannya AMDAL dalam RUU Cipta Kerja disebabkan anggapan bahwa AMDAL menghambat investasi, sebab proses pembuatannya yang memakan waktu lama, karena harus melalui berbagai proses yang melibatkan masyarakat, termasuk konsultasi publik. Menurutnya, RUU Cipta Kerja ini juga berpotensi kepada penghancuran lingkungan hidup dan bencana. “Sebelum adanya RUU ini saja, kita sudah dalam kondisi yang sangat parah. Di tahun 2019 di Indonesia sudah terjadi 3721 bencana, yang menyebabkan 6 ,1 juta orang menderita dan terpaksa mengungsi”. Selain itu, RUU Cipta kerja juga berpotensi pada kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya dari serbuan investor. Padahal di sepanjang tahun 2019 saja, sudah terdapat 115 orang korban kriminalisasi dan juga terjadi tindak kekerasan terhadap petani, nelayan, serta masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. Tahun  2020, di tengah COVID pun, tidak menghentikan  korporasi untuk melanggengkan konflik dengan masyarakat” jelas Nur Hidayati.

Mia Siscawati dari Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, menyatakan bahwa potensi dampak RUU Cipta Kerja juga dapat dilihat dari perspektif Gender dan Lingkungan, di mana perempuan identitas perempuan sendiri tidak homogen, sehingga akan menghasilkan lapisan persoalan dan dampak. yaitu perampasan dan penghancuran ruang hidup akan berlanjut. Terjadinya Krisis ekologis-sosial akan berlanjut bahkan memburuk, di mana krisis ekologis-sosial dan bencana ekologis-sosial memiliki dampak berbeda bagi perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok sosial, dan kelompok marjinal. “Benturan relasi kuasa secara horisontal akan semakin meminggirkan kelompok-kelompok marjinal di dalam  masyarakat adat  dan masyarakat lokal. Perempuan dari berbagai kelompok sosial, terutama dari kelompok marginal akan semakin mengalami ketidakadilan gender,” ungkapnya.

Dinda Nuurannisaa Yura Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, menegaskan bahwa “AMDAL dan KLHS tidak bisa dilihat sebagai sebagai administrasi, melainkan sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan masyarakat termasuk perempuan untuk memberikan pendapat, berbagai pengalaman, pengetahuan mereka terkait wilayah kelolanya, termasuk menolak suatu proyek yang tidak memiliki AMDAL.” Menurutnya, pelaksanaan AMDAL selama ini memang masih lemah, terutama dalam hal partisipasi perempuan. Karena itulah penguatan AMDAL perlu dilakukan dengan memastikan situasi spesifik perempuan serta akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat bagi perempuan, sebagaimana yang sempat menjadi komitmen Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2018, Namun dengan adanya RUU Cipta Kerja ini, komitemen untuk mendorong AMDAL berperspektif gender semakin sulit diwujudkan. Lebih jauh lagi, keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap investasi akan merampas tanah dan sumber-sumber kehidupan perempuan, serta menghilangkan pengetahuan dan sistem pengelolaan lingkungan yang selama ini dilestarikan oleh perempuan, sehingga kedaulatan perempuan juga menjadi hilang.

Selain itu, terkait buruh, RUU Cipta Kerja ini juga menghilangkan hak perempuan untuk cuti haid dan cuti keguguran. Ini membuktikan bahwa situasi perempuan tidak dianggap penting. “Identitas perempuan yang tidak tunggal, menjadikan perempuan mengalami lapisan demi lapisan ketidakadilan yang akan dihasilkan oleh RUU Cipta Kerja ini. Perempuan berhadapan dengan relasi kuasa yang timpang, tidak hanya relasi kuasa antara negara dan warga negara, maupun investor dengan masyarakat, tetapi juga antara perempuan dan laki-laki, bahkan di dalam masyarakat atau komunitas itu sendiri. “Pada akhirnya, RUU Cipta Kerja akan merampas kedaulatan perempuan, serta memperkuat ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya.

Sebagai penanggap, hadir juga Yeni perempuan dari Nagaumbang Aceh, yang tinggal di sekitar wilayah tambang PT Semen Bangun Andalas (dulu PT SAI). “Terkait AMDAL, dulu yang masih diwajibkan saja, perempuan tidak pernah libatkan, bahkan ada kebohongan dalam penulisan AMDAL PT. SAI, misalnya di AMDAL tertulis jarak areal pertambangan dengan permukiman 4 Km, padahal faktanya lokasinya dekat sekali. Dampak adanya perusahaan tambang, dengan adanya proses blasting, kaca rumah menjadi retak-retak, tanaman cengkeh masyarakat mati semua, perusahaan juga mencemari udara dan menyababkan ISPA. Sumber air kami rusak karena proses tambang, sumur masyarakat kering dan kotor, perempuan jadi meningkat bebannya, karena harus mengumpulkan atau terpaksa membeli air. Kami juga takut, kalau PT SAI memperluas area pertambangan, ada kemungkinan masyarakat akan dipindahankan, bagaimana kehidupan kami ke depannya? Berdasarkan pengalaman kami, dengan AMDAL saja, hak perempuan masih belum terlindungi, bagaiman nanti kalau AMDAL dilemahkan dalam RUU Cipta Kerja” Ucap Yeni. Kesaksian Yeni menjadi sebuah bukti nyata mengenai ancaman penghancuran lingkungan dan dampak terhadap perempuan akibat lemahnya implementasi AMDAL. Hal ini akan diperparah dengan pelemahan AMDAL di dalam RUU Cipta Kerja.

Dari diskusi tersebut disimpulkan bahwa kehadiran RUU Cipta Kerja akan memperburuk kondisi lingkungan dan bencana yang terjadi di Indonesia, salah satunya dengan adanya penyederhanaan izin dan pelemahan AMDAL Tidak hanya itu, pelanggaran hak masyarakat, baik laki-laki dan perempuan akan terjadi semakin masif di dalam berbagai bentuk, di antaranya perampasan serta penghancuran lahan dan sumber-sumber kehidupan. Lebih jauh lagi, keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap investasi akan menghilangkan sistem pengelolaan pangan dan sumber daya alam yang dilestarikan oleh perempuan dan komunitas, yang selama ini dilakukan secara mandiri, dan berdaulat dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kehidupan. Sehingga RUU Cipta kerja juga akan mengancam kehidupan dan berdampak pada berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, dan politik, di mana perempuan mengalami dampak yang berlapis dan mendalam.

Kertas Posisi Solidaritas Perempuan terhadap Omnibus Law

Narahubung : 0812-8879-4813

Translate »