RUU Pangan Pro Penjajahan dan Kriminalisasi: Perempuan Menuntut Pembebasan

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan RUU Pangan Pro Penjajahan dan Kriminalisasi: Perempuan Menuntut Pembebasan
Thursday, 10 November 2011 13:46

Sudah 15 tahun lebih Indonesia memiliki Undang-Undang Pangan No. 7/1996, tetapi berita-berita terjadinya krisis pangan masih saja terjadi diberbagai wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang ini belum mampu menjamin hak pangan rakyat. Sementara itu, revisi UU Pangan No. 7 Tahun 1996 telah dilakukan sejak tahun 2007. Namun sampai saat ini proses panjang revisi UU ini tidak membawa hasil yang menggembirakan. Bahkan semakin dijauhkan dari semangat dan prinsip-prinsip yang diinginkan oleh masyarakat sipil, terutama pengakuan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat, termasuk perempuan.

Sangat ironis, bahwa justru pemerintah dan legislatif lagi-lagi tidak memperlihatkan keberpihakannya pada upaya pemenuhan hak pangan perempuan. Bahkan dalam kesempatan Dialog Publik pada 25 Oktober 2011 di Gedung DPR Senayan, Ibnu Multazam dari Fraksi PKB menegaskan bahwa tidak perlu adanya asas Keadilan Gender dalam Undang-Undang pangan karena undang-undnag tidak mebedakan jenis kelamin dan berlaku untuk semua warga negara. Ketika berbiacara soal petani, maka yang dimaksud sudah petani laki-laki dan perempuan. Pernyataan menunjukkan bahwa pembuat kebijakan belum situasi persoalan ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat patriarkhi seperti Inodonesia.

Terbukti, hingga keluarnya draft RUU DPR tahun 2009, tetap saja RUU Pangan ini masih belum mencantumkan pengertian tentang Hak Rakyat atas Pangan dan kewajiban negara dalam memenuhi hak tersebut dalam Ketemuan Umum. Justru sebaliknya, RUU ini masih berorientasi pada industri pangan skala besar (melalui detail teknis tentang standarisasi mutu pangan, label produk pangan dan kemasan, seta produksi yang masif) dan masih kurang keberpihakannya pada produsen pangan rumah tangga dan tradisional.

Ini memperlihatkan bahwa RUU ini berpotensi menggusur akses dan ruang untuk produsen pangan rumah tangga dan kearifan lokal produksi pangan yang banyak dikelola dan menjadi sumber penghidupan bagi perempuan dan masyarakat miskin di Indonesia. Serta semakin memperlihatkan bahwa Negara tidak berpihak dan tidak memikirkan untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan yang sebenarnya menjadi kekuatan ekonomi perempuan dan masyarakat Indonesia secara umum.

Selain itu, RUU ini semakin jauh dari semangat dan prinsip keadilan sosial, keadilan gender, kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara dalam mengelola sumber-sumber agraria. RUU Pangan ini tidak meletakkan prinsip Pembaharuan Agraria sebagai solusi mengembalikan kedaulatan rakyat dan mengatasi krisis pangan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

RUU Pangan ini juga dipandang masih belum memiliki perspektif kepentingan perempuan dan berasaskan keadilan gender sehingga masih sangat berpotensi menimbulkan ketidakadilan, menambah masalah, dan makin melemahkan perempuan. RUU Pangan tidak menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan dengan tidak mencantumkan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Ini menunjukkan masih lemahnya komitmen dan tanggung jawab Negara untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam pemenuhan hak atas pangan. Bahkan, baik dalam naskah akademis maupun batang tubuh, RUU Pangan telah melupakan dan mengabaikan peran sosial-kultural perempuan dalam pengelolaan sumber-sumber agrariaJadi perempuan membutuhkan Program yang menjawab persoalan kemiskinan dan pemenuhan pangan. Walaupun selama ini banyak korban kelaparan dan gizi buruk dialami oleh kelompok perempuan, anak-anak dan manula, namun RUU Pangan ini luput menyentuh ketentuan perlindungan dan perlakuan pada situasi khusus terhadap kelompok-kelompok rentan tersebut. Padahal, seharusnya disinilah pentingnya tanggung jawab negara dan hak warga negara terkait dengan pemenuhan pangan.

Beberapa pasal dalam RUU Pangan ini juga berpotensi merugikan dan mengancam keberlanjutan sumber ekonomi dan kehidupan perempuan. Dengan pasal-pasal sanksi pelanggaran terkait standarisasi mutu pangan, label produk dan kemasan, maka industri pangan rumah tangga yang hampir semua kelola oleh perempuan pun berpotensi mengalami penggusuran, dan perempuan mendapatkan ancaman kriminalisasi ketika mereka dianggap tidak mampu memenuhi standar-standar tersebut. RUU ini malah tidak sedikitpun menyinggung masalah sanksi bagi para spekulan pangan yang dengan sengaja menghambat masyarakat dalam menjangkau akses pangannya dengan menimbun stok pangan pokok yang menyebabkan naiknya harga pangan.

Apabila RUU ini masih berorientasi pada kepentingan pasar dan industri pangan skala besar, maka pengalaman dan pengetahuan perempuan, akses dan kontrol perempuan dalam mengelola sumber-sumber pangan menjadi semakin tidak diakui. Hal ini menyebabkan tersingkirnya peran-peran sosial mereka, serta berpotensi menimbulkan adanya kekerasan dan ketidakdilan berlapis, dan menimbulkan pemiskinan yang berwajah perempuan.

Oleh karena itu, menggunakan moment Hari Pahlawan Nasional 2011 ini, Solidaritas Perempuan- sebagai bagian dari kelompok masyarakat sipil yang terus menerus mendorong adanya revisi UU Pangan yang berkeadilan sosial, berkeadilan gender serta mengedepankan kedaulatan rakyat – menuntut agar pemerintah/parlemen untuk:

  1. Meletakkan UU No. 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk terhadap Perempuan, UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria sebagai dasar yuridis UU Pangan untuk menjamin adanya keadilan sosial dan keadilan gender yang menjamin hak-hak perempuan atas pangan.
  2. Meletakkan Keadilan Gender menjadi asas UU Pangan dan dalam ketentuan umum. Dengan demikian semua substansi pasal dalam UU Pangan memiliki jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan.
  3. RUU ini agar mengedepankan prinsip Kedaulatan Pangan melalui pelaksanaan Pembaharuan Agraria untuk menjamin tanggung jawab negara dalam memastikan keadilan sosial, keadilan gender dan kedaulatan rakyat dalam mengelola sumber-sumber produksi pangannya.
  4. RUU ini butuh menjamin perlindungan sumber-sumber pangan lokal, melindungi ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kapasitas industri pangan skala rumah tangga.

Jakarta, 10 November 2011

Solidaritas Perempuan:
Solidaritas Perempuan Benguong Jeumpa Aceh. Solidaritas Perempuan Palembang
Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta. Solidaritas Perempuan Jabotabek.
Solidaritas Perempuan Kahyangan Api Bojonegoro. Solidaritas Perempuan Palu
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar. Solidaritas Perempuan Kendari
Solidaritas Perempuan Mataram. Solidaritas Perempuan Sumbawa

Contact person:
Risma Umar (0813.1934.3561)
Tini Sastra (0813.8674.6494)

Translate »