Sebuah Usaha Melawan Stigma

Minggu, 21 Juli 2019, saya menghadiri kegiatan Kongres ke-VIII Solidaritas Perempuan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Beberapa kegiatannya adalah Rembuk Nasional, Workshop Kedaulatan Perempuan, Kongres, dan Kampung Perempuan Damai.

Uniknya, kegiatan Kampung Perempuan Damai mendiskusikan tentang posisi perempuan dan kopi. Diskusi kegiatan ini diampu oleh seorang barista perempuan dengan tema “Warung Perempuan Kopi”.

Sengaja saya ingin mencicipi kopi hasil racikan sang barista sambil menunggu antrean panjang. Sang Barista menjelaskan sejarah kopi, mulai dari pemilihan bibit kopi, penanaman, memetik, menjual, hingga penyajian. Saya, sebagai penikmat kopi, menyimak penjelasan sang barista sambil menyeruput kopi panas bersama perempuan-perempuan lain dari berbagai daerah di Indonesia.

Tulisan ini merupakan dokumentasi sharing pengalaman sang barista di Warung Perempuan Kopi. Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai sebuah usaha membuktikan kepada masyarakat Indonesia dan dunia bahwa perempuan memiliki peran dan kontribusi dalam dunia kopi.

Sebagaimana pernyataan Dewi Puspa selaku ketua Badan Eksekutif Nasional (BEN) Solidaritas Perempuan bahwa kopi bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga milik perempuan.

Apa Itu Kedai Kopi Perempuan?

Dewi Nova, begitulah nama sang barista. Dia adalah anggota non-komunitas Perserikatan Solidaritas Perempuan yang sekarang berdomisili di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.

Dewi membuka stand Warung Perempuan Kopi di acara Kongres ke-VII Solidaritas Perempuan di Kendari. Menurutnya, stand tersebut adalah yang kedua kalinya dibuka setelah acara Ulang Tahun Solidaritas Perempuan ke-28 di Jakarta.

Kopi menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari masa kecil Dewi. Hal itu karena Dewi lahir dan besar di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, di mana daerah itu terkenal sebagai penghasil kopi terbaik di Indonesia. Bahkan Kopi Puntang dari Pangalengan merupakan juara kopi internasional dengan harga 1,5 juta rupiah per kilonya.

Dewi melihat bahwa proses pertanian kopi, mulai dari pemilihan bibit benih, perawatan pohon kopi, hingga memetik buah kopi merupakan pekerjaan perempuan. Perempuanlah yang banyak bekerja di ladang kopi untuk menghasilkan biji kopi terbaik.

Akan tetapi, ketika proses pemasaran kepada tengkulak dan penentuan harga kopi, laki-laki berada di garda depan. Menurut Dewi, kopi mau dijual kepada siapa, harganya berapa, dan siapa yang membeli merupakan urusan laki-laki; perempuan tidak dilibatkan dalam proses penentuan harga kopi. Bahkan perempuan yang merawat tidak ditanya oleh laki-laki apakah mau dijual dengan harga segitu atau tidak.

Padahal, menurut Dewi, yang merawat bibit hingga tumbuh menjadi pohon dan memetik biji kopi diasosiasikan oleh masyarakat sebagai pekerjaan perempuan. Tetapi kenapa ketika penentuan harga kopi tiba-tiba perempuan ”termarginalkan” dan laki-laki yang berada di baris depan untuk memutuskan kopi akan dijual dengan harga berapa?

Di sini Dewi melihat bahwa ada relasi yang timpang dalam urusan kopi. Perempuan berada di wilayah domestik dalam pemeliharaan bibit, pohon, dan biji kopi, sedangkan laki-laki berada di wilayah publik ketika urusan bisnis penjualan kopi.

Secara sederhana, ada ketidakadilan dalam proses mata rantai kopi. Artinya, dalam urusan kopi, telah ada ketidakdilan terhadap perempuan yang bisa dirasakan dan dilihat oleh mereka yang hidupnya lekat dengan kopi.

Alasan Dewi kenapa perempuan identik dengan pekerjaan domestik dalam penanaman dan perawatan kopi sedangkan laki-laki diidentikkan dengan pekerjaan publik dalam penjualan kopi, karena adanya pandangan umum masyarakat bahwa bertani adalah pekerjaan yang tidak keren; sedangkan bisnis kopi dianggap oleh masyarakat sebagai pekerjaan yang keren. 

Kategorisasi dua label dalam pekerjaan kopi antara keren dan tidak keren itulah yang menurut Dewi melahirkan paradigma bahwa dunia kopi diidentikkan sebagai dunia laki-laki. Identifikasi tersebut berada dalam tataran pengetahuan masyarakat dan mengendap dalam struktur sosial budaya. 

Dewi kemudian melanjutkan bahwa tidak hanya berhenti dalam pengambil keputusan harga kopi di pasaran oleh laki-laki. Dalam urusan penyajian kopi oleh barista, Dewi melihat bahwa dalam wawasan pengetahuan masyarakat, barista selalu diidentikkan kepada laki-laki.

Sehingga tidak heran manakala sekolah atau pendidikan untuk barista mencetak barista laki-laki, dan sangat minim kita menemukan barista perempuan di kedai-kedai kopi atau cafe-cafe. Padahal Dewi melihat bahwa dalam kehidupan rumah tangga mayoritas masyarakat Indonesia, perempuan yang berada di dapur untuk menyajikan kopi dan menyuguhkannya kepada tamu.

Sederhananya, Dewi melihat ada ketidakadilan. Karena ketika di wilayah publik, dalam hal ini di kedai kopi, seorang barista perempuan absen dalam penglihatan. Sedangkan barista laki-laki ditemukan di banyak tempat di warung kopi, kedai kopi, dan cafee.

Perempuan makin termarginalkan dalam dunia kopi manakala ”hampir” banyak pemilik warung atau kedai atau cafe hanya “menerima” barista laki-laki dan tidak menerima barista perempuan. Dalam pengetahuan Dewi, barista perempuan lebih sedikit jumlahnya daripada barista laki-laki.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kedai kopi adalah ruang bagi seseorang untuk menikmati kopi dengan waktu luang yang banyak. Tentunya menikmati kopi dengan tambahan rokok dan obrolan ringan. Dalam budaya kita, orang yang memiliki aktivitas seperti “biasanya” adalah laki-laki.

Kenapa laki-laki? Karena laki-laki dalam budaya kita tidak disibukkan dengan pekerjaan domestik, karena pekerjaan domestik telah ”diampu” oleh perempuan. Sehingga kesempatan bagi perempuan untuk menikmati kopi di kedai-kedai menjadi sesuatu yang “tidak” mungkin untuk tidak dikatakan tidak ada waktu sama sekali bagi perempuan. 

Jikapun ada perempuan yang “berani” untuk nongkrong di kedai-kedai kopi layaknya yang dilakukan oleh laki-laki, maka perempuan yang demikian akan mendapat label negatif atau stigma dari masyarakat.

Karena minimnya akses pendidikan barista untuk perempuan, dan sempitnya akses kesempatan untuk perempuan bekerja sebagai barista, juga kesibukan perempuan di ranah domestik, ditambah lagi adanya stigma bagi perempuan yang suka “ngopi”,  maka kemudian terbentuk dalam kultur masyarakat Indonesia bahwa kedai kopi adalah ruang untuk laki-laki.

Budaya yang merugikan perempuan dalam dunia kopi inilah yang menggugah hati, pikiran, dan tubuh Dewi untuk membuka Warung Perempuan Kopi meski dalam lingkup kecil, seperti membuka stand-stand kedai kopi di kegiatan perempuan skala nasional.  

Bagaimana Melawan Stigma? 

Secara sederhana, usaha dewi untuk membuka Warung Perempuan Kopi merupakan bentuk perlawanan yang paling mungkin dilakukan oleh seorang Dewi. Menurutnya, cara yang demikian inilah satu-satunya cara untuk mengubah stigma dan cara pandang masyarakat tentang kopi.

Jika dari sebiji kopi saja telah terkonstruk konsep bias gender, bagaimana penikmat kopi akan memiliki cara pandang yang egaliter terhadap perempuan? Toh kita telah ketahui bersama bahwa masyarakat Indonesia “doyan” menikmati secangkir kopi setiap pagi.

Dewi berharap agar masyarakat dan pemerintah memberi ruang kesempatan kepada perempuan untuk melibatkan perempuan dalam urusan kopi. Mulai dari pencarian bibit biji kopi pilihan, penanaman biji, perawatan pohon kopi, memetik biji kopi, menjemur, menentukan harga pasar, meracik kopi, hingga menikmati kopi di ruang-ruang publik seperti di kedai-kedai pada umumnya. 

Jangan sampai urusan kopi dalam penanaman dan perawatan menjadi urusan perempuan, sedangkan urusan menentukan harga kopi dan meracik kopi adalah urusan laki-laki. Pembedaan pembagian peran seharusnya tidak berdasarkan pada perbedaan gender, melainkan berdasar kemampuan masing-masing pihak.

Oleh karena itu, perempuan punya hak untuk terlibat dalam ruang publik, termasuk di warung kopi.

Dari saya, perwakilan anggota Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, mengucapkan selamat dan sukses Kongres ke-VIII Solidaritas Perempuan di Kendari, Sulawesi Tenggara, 21 – 27 Juli 2019.

Sumber Artikel : qureta.com

Translate »