Peserta SKF (Sekolah Kepemimpinan Feminis) kembali tiba di Jakarta. Setelah satu bulan, peserta melakukan tugas di Komunitas dan menganalisis situasi penindasan perempuan diberbagai konteks. Hasil tersebut, kemudian disampaikan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempua pada jumat 11 Agustus 2017.
Peserta SKF yang berjumlah 23 orang dari 13 daerah, dari Aceh hingga Kab. Kerom Papua, mendatangi dan berdialog bersama Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menyampaikan situasi dan persoalan penindasan perempuan yang dialami di berbagai konteks. Peserta bertemu Komisioner Komnas Perempuan untuk melaporkan kekerasan dan penindasan perempuan akibat konflik lahan, sistem perlindungan perempuan buruh migran, dan persoalan kebijakan diskriminatif. Emilia-Perempuan Desa Seribandung mengatakan “Kami, perempuan Desa Seri Bandung, sudah berjuang lebih dari 20 tahun untuk mendapat kembali tanah kami yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis. Kami meminta Komnas Perempuan bisa mengirimkan surat ke Kementerian ATR/BPN untuk mencabut HGU PTPN VII Cinta Manis.” Sementara Perempuan asal desa adat Kerom Papua menyampaikan situasi perempuan di Kerom Papua akibat keberadaan PTPN Nusantara “Sagu yang jadi makan pokok sekarang habis, perempuan juga hilang kejayaannya”. Selain Emilia, juga ada perempuan dari Makassar, Mataram, dan NTT yang juga melaporkan situasi ketidakadilan perempuan.
“Kesempatan dialog ini diharapkan dapat menjadi ruang perempuan dari berbagai daerah untuk menyampaikan kondisi dan situasi ketidakadilan yang dialami perempuan di wilayah. Harapannya Komnas Perempuan dapat melakukan tindakan nyata tegas untuk mendesak kepada pemerintah menyelesaikan kasus dan situasi ketidakadilan yang dialami perempuan diwilayah komunitas, termasuk ”, Nisa Yura dalam menyampaikan pengantar sebelum dialog dimulai. Berbagai konteks situasi ketidakkadilan dan kekerasan terhadap perempuan yang disampaikan dalam dialog ini diantaranya berkaitan dengan perampasan dan alih fungsi lahan, reklamasi, dan perempuan pekerja migran.
Forum dialog bersama Komnas Perempuan menjadi ruang bagi 23 perempuan dari berbagai latar belakang situasi dan wilayah, untuk mendesak Komnas Perempuan untuk merespon hingga memberikan rekomemdasi kepada kementerian terkait. Dalam konteks konflik agraria, peserta meminta kepada Komnas Perempuan untuk memstikan tidak adanya pelibatan aparat militer pada setiap koflik agraria yang berakibat pada trauma yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. .
Peserta juga berdialog dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Asisten Deputi Perlindungan dalam Ketenagakerjaan bidang Perlindungan Hak-hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan di Luar Negeri. Pada dialog ini, perempuan komunitas SP Anging Mamiri Makasar menyampaikan persoalan perempuan petani yang kehilangan tanahnya akibat dirampas PTPN Talakar – Sulawesi Selatan. “Persoalan ini dapat diatasi dengan agenda reforma agraria Presiden Joko Widodo. Kami mendorong KPPPA untuk memastikan pelaksanaan Reforma Agraria adil bagi perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai subjek penerima tanah objek reforma agraria (TORA) dan dalam pengelolaan sumber-sumber lahan” Ungkap Musdhalifa dari SP Anging Mammiri. Desakan juga disampaikan oleh Solidaritas Perempuan Kendari, dimana massifnya reklamasi di Indonesia telah menghancurkan sistem sosial dan sumber kehidupan perempuan pesisir/nelayan. Ini terlihat pada perempuan pesisir di Kendari, Makassar dan Jakarta. “Saat ini, pemerintah sedang menyusun kebijakan RZWP3K. Kami meminta KPPPA untuk memastikan kebijakan RZWP3K tidak menggusur dan menghancurkan kehidupan perempuan nelayan” Ungkap Sarni – Solidaritas Perempuan Kendari.
KPPPA juga diminta untuk serius menyikapi persoalan kebijakan diskriminatif yang semakin masif. Salah satunya kebijakan Qanun Jinayat yang berlaku di Aceh hampir 2 tahun. Dona Kanseriah Perempuan asal Aceh menyampaikan “perempuan di Aceh kerap mengalami ketakutan akibat maraknya kebijakan diskriminatif. Qanun Jinayat bukan melindungi, justru melemahkan dan mendiskriminasi perempuan di Aceh”. SP mendesak Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendesak mendagri mengkaji ulang kebijakan Qanun Jinayat di Aceh yang menindas perempuan atas tubuh, pikiran, ruang gerak dan hasil kerjanya dan menyurati Pemerintah Aceh untuk tinjau ulang Qanun Jinayat”. KPPPA harus berperan penting mencegah hadir kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.
Pada forum dialog bersama Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak, Puspa Dewy – Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menekankan bahwa KPPPA memiliki peran penting dalam memastikan perlindungan hak perempuan atas tubuh, pikiran, ruang gerak, hasil kerja dan sumber-sumber kehidupan perempuan diseluruh sektor. “KPPPA perlu secara aktif memastikan PUG di dalam kebijakan, program dan penganggaran yang dibangun Kementerian/Lembaga terkait” Ungkap Puspa Dewy – Ketua Solidaritas Perempuan.