Seruan Perserikatan Solidaritas Perempuan ”Demokrasi dan Reformasi Dicederai, Kedaulatan Perempuan Semakin Terancam”

Jakarta, 30 September 2019

Perempuan sejak lama berada dalam situasi yang tidak pernah diuntungkan. Penindasan berlapis yang dihadapi oleh perempuan melekat pada identitasnya yang tidak tunggal. Setiap aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial, budaya, dan politik, memiliki cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai entitas masyarakat kelas kedua sehingga keputusan dan suara perempuan tidak diperhitungkan

Di hadapan negara, perempuan juga kerap tidak ditempatkan secara setara sebagai warga negara yang memiliki hak yang dijamin konstitusi. Sehingga dalam setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan negara, hampir tidak dapat ditemukan keberpihakannya terhadap perempuan. Alih-alih mengakomodir perempuan, negara bahkan terus memaksakan untuk memproduksi kebijakan maupun aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan atas nama moralitas, agama dan klaim budaya ketimuran. Hal ini terjadi karena politik negara yang berpusat pada kepentingan transaksional dengan mereka yang memiliki kuasa, sehingga tunduk pada  kelompok-kelompok fundamentalisme agama, tanpa benar-benar menjalankan kewajibannya untuk menghormati, memenuhi dan melindungi warga negaranya.

Selain itu, negara juga tidak mampu membendung hegemoni globalisasi yang terus menerus mengakomodir kepentingan kelompok pemilik modal. Dalam berbagai perundingan perjanjian internasional, negara bahkan tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk mendorong kepentingannya. Berbagai agenda global yang didominasi oleh kepentingan negara-negara maju dan korporasi transnasional meluncur masuk dan merampas ruang hidup rakyat. Akibatnya perempuan dimiskinkan karena ruang hidup dan sumber kehidupannya dirampas oleh kelindan kuasa negara dan modal. Seringkali pilihan menjadi pekerja rumah tangga, bahkan hingga ke luar negeri, merupakan pilihan sulit yang terpaksa dipilih oleh perempuan demi mempertahankan kehidupan keluarganya. Untuk kemudian terjebak dalam situasi sulit lainnya karena negara tidak serius melindungi hak-hak warganya. 

Hilangnya lahan pertanian di desa Kekeri – Mataram, tergusurnya perempuan nelayan akibat proyek reklamasi di pesisir Lampung, Kendari, Jakarta dan Makassar, konflik agraria berkepanjangan yang dihadapi oleh perempuan petani di Ogan Ilir dan Takalar, maupun perampasan tanah perempuan oleh perkebunan sawit di desa Barati merupakan beberapa contoh kasus yang dihadapi perempuan bersama dengan komunitas Solidaritas Perempuan. Rakyat kemudian diperhadapkan pada situasi yang semakin sulit tatkala negara memberikan pengawalan yang ketat terhadap kepentingan tersebut dengan mengerahkan TNI dan Polri untuk berhadapan dengan perlawanan dan penolakan rakyat. Atas nama pembangunan, negara tidak ragu menggunakan pendekatan militeristik dan tak jarang melakukan kriminalisasi terhadap pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM. Sehingga seringkali muncul konflik antara negara dengan rakyatnya.

Posisi perempuan dalam situasi tersebut juga tidak diuntungkan. Perempuan harus menghadapi situasi konflik dengan beban berlapis akibat konstruksi gender dan seksualitas yang dilekatkan padanya. Perempuan yang mengalami trauma akibat situasi konflik cenderung melupakan dirinya untuk menjalankan peran dalam merawat dan menjamin keamanan anggota keluarganya. Selain itu, seksualitas perempuan juga terancam karena penundukan dan pelemahan gerakan perlawanan rakyat juga dilakukan dengan menyasar seksualitas perempuan.

Dalam konteks politik hari ini, negara semakin tidak menunjukan keberpihakannya dan semakin menunjukan orientasinya untuk mengamankan pembangunan dengan mempersiapkan serangkaian aturan perundang-undangan yang memperlihatkan keberpihakannya pada kelompok pemodal dan mengambaikan hak-hak rakyat, termasuk perempuan. Seperti RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU  Minerba, maupun  UU Sumber Daya Air, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan  dan Revisi UU KPK yang telah disahkan. Sebaliknya, negara justru menolak untuk segera mengesahkan kebijakan yang dibutuhkan oleh rakyat, terlebih perempuan, di antaranya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender serta RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Proses legislasi yang tidak partisipatif telah gagal menangkap aspirasi rakyat dan ditunggangi oleh keserakahan oligarki untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan merampas serta menyingkirkan rakyat dari sumber-sumber kehidupannya.

Solidaritas Perempuan sebagai organisasi masyarakat sipil sejak awal lahirnya telah melakukan perlawanan terhadap berbagai bentuk penidasan dan ketidakadilan perempuan di berbagai konteks dan sektor serta menjadi bagian dari perjuangan reformasi dan demokrasi. Berbagai kebijakan yang dihasilkan, maupun konteks politik hari ini, akan membungkam gerakan kritis termasuk gerakan Solidaritas perempuan sebagai organisasi berbasis massa yang kerap menyuarakan aspirasi rakyat, terutama perempuan. Situasi ini juga merupakan ancaman terhadap pencapaian mandat serta menghambat pencapaian visi dan misi perserikatan.

Oleh karena itu, BEN menyerukan kepada seluruh entitas perserikatan, pengurus maupun anggota Solidaritas Perempun, untuk:

  1. Mengonsolidasikan anggota di Komunitas untuk mendiskusikan situasi politik negara hari ini, sebagai refleksi penguatan gerakan serta strategi pengorganisasian, advokasi maupun kampanye yang dilakukan.
  2. Mengonsolidasikan anggota komunitas untuk bergerak bersama. Untuk anggota yang tidak berkomunitas dapat mengambil peran dan bersinergi dengan Sekretariat Nasional ataupun Komunitas SP terdekat.
  3. Mengambil peran, baik secara moril maupun materiil, dalam konsolidasi dan bersinergi dengan gerakan masyarakat sipil lainnya untuk memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia.
  4. Mendesak negara untuk merespon situasi saat ini dengan menggunakan standar Hak Asasi Manusia.
  5. Menyuarakan dan mengawal isu yang diperjuangkan SP, yang secara konsisten telah dilakukan, seperti Penolakan terhadap RUU Pertanahan dan RUU Minerba, Mendesak pengesahan RUU KKG, PPRT, dan RUU P-KS, serta Mendesak terbitnya Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang KPK, UU Sumber Daya Air dan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
  6. Menggalang dukungan publik luas, di antaranya tapi tidak terbatas pada dukungan logistik ataupun turut menyuarakan desakan di berbagai kanal informasi dan sosial media.
  7. Berkoordinasi dengan Sekretariat Nasional substansi maupun strategi agenda-agenda yang akan disuarakan.

Demikian seruan ini kami sampaikan. Agar dapat menjadi perhatian dan ditindaklanjuti.

 

Selamat berjuang
Salam Solidaritas,

 

Dinda Nuur Annisaa Yura
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Translate »