Siaran Pers
Untuk segera disiarkan
Berambisi Hilangkan Proteksionisme, Pemerintah Indonesia Tak Lindungi Perempuan
KTT APEC 2013 telah menghasilkan tujuh kesepakatan sebagai komitmen yang akan diterapkan oleh negara-negara anggota APEC. Peningkatan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik, agenda konektivitas hingga Bogor Goals tak lain merupakan kepentingan negara-negara industri yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi belakangan ini. Kesepakatan tersebut akan semakin mendorong fasilitasi investasi khususnya infrastruktur, pembukaan pasar melalui pelarangan proteksionisme dan mendorong perdagangan bebas melalui kerja sama ekonomi regional maupun mekanisme perdagangan multilateral di WTO. Alih-alih memperjuangkan kepentingan nasional, Presiden SBY justru sangat gigih memperjuangkan kepentingan negara-negara industri dan perusahaan transnasional untuk mendorong liberalisasi. Paling nyata dapat dilihat dari pernyataan komitmen SBY untuk menghilangkan proteksionisme yang dianggap sebagai penghambat arus perdagangan.
Padahal proteksionisme diperlukan untuk melindungi produksi dalam negeri, dari serbuan komoditas impor. Kenyataan Indonesia hari ini, seperti juga negara berkembang lainnya, sebagian besar produksi dalam negeri dihasilkan oleh para produsen skala kecil dengan struktur biaya yang masih tinggi dan masih membutuhkan dukungan untuk peningkatan kapasitas produksi. Misalnya saja dalam sektor pangan, pada tahun 2013 petani rumah tangga di Indonesia mencapai 26.126.000 jika dibandingkan dengan perusahaan pertanian yang jumlahnya 5.486.000 tentu lebih banyak petani kecil. Di perikanan, nelayan tradisional mencapai angka 90% dari keseluruhan produsen pangan perikanan di Indonesia. Perempuan merupakan proporsi terbesar dari produsen pangan skala kecil yang harus dilindungi dan diberdayakan. Nyata disini, bahwa kesepakatan APEC tidak mampu melindungi perempuan sebagai produsen skala kecil, bahkan sebaliknya semakin memarginalkan perempuan dalam produksi pangannya. Pemerintah juga telah melakukan tindakan inkonstitusional karena membenturkan produsen pangan skala kecil tanpa proteksi dengan komoditas dari negara-negara industri dalam sebuah persaingan. Padahal Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 56/PUU-X/2013 sudah menegaskan bahwa perlakuan yang sama terhadap dua situasi yang berbeda/timpang merupakan tindakan/kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil.
Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menyatakan bahwa “Hal tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan yang dihasilkan oleh para pemimpin APEC tersebut tidak mendasarkan pada analisis gender, data terpilah serta keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sebagaimana yang dimandatkan dalam framework for the integration of women in APEC”. Pengetahuan dan pengalaman perempuan diabaikan dengan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi semata, yang pada akhirnya menjadikan perempuan semakin kehilangan akses dan kontrolnya atas sumber-sumber kehidupan.
Jakarta, 12 Oktober 2013
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional- Solidaritas Perempuan