Siaran Pers
Solidaritas Perempuan
Untuk disiarkan segera
Niat Presiden Bergabung dengan Trans-Pacific Partnership
Mengancam Kedaulatan Perempuan
Jakarta, 28 Oktober 2015. Lawatan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat yang disertai intensi untuk bergabung dalam perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) perlu dievaluasi karena mengancam kedaulatan perempuan. Jika keinginan bergabung dengan TPP terus berlanjut seiring dengan berjalannya Masyarakat Ekonomi Asean pada akhir tahun 2015 maka ketimpangan dan situasi pemiskinan perempuan akan semakin memburuk.
Pasalnya, substansi TPP sangat memihak pada kepentingan investor. Investor dimanjakan dalam bentuk penyelesaian sengketa dalam Investor-State Dispute Settlement (ISDS) Mechanism dengan memberikan hak menggugat kebijakan suatu negara jika ada kebijakan yang mengancam kepentingan investasi. Padahal, fakta yang selama ini terjadi menunjukan bahwa seringkali kepentingan investasi bertentangan dengan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan, sehingga kedudukan tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak asasi terancam. Tak hanya itu, protes dan penolakan yang besar juga datang dari organisasi masyarakat sipil di Indonesia dan internasional terhadap TPP karena proses negosiasi yang tertutup tanpa ada keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat sipil.
Keinginan untuk bergabung dalam TPP juga menunjukkan sikap pemerintah Indonesia yang tidak konsisten terhadap perjanjian perdagangan bebas dan investasi internasional. Sikap pemerintah yang memutuskan perjanjian investasi antara Indonesia dengan Belanda pada Maret 2014 merupakan strategi tepat atas berbagai perjanjian investasi yang ada. Selain Belanda, ada 17 negara lainnya yang mengikat perjanjian investasi bilateral (Bilateral Investment Treaties/BITs) yaitu Bulgaria, Italia, Korea Selatan, Malaysia, Mesir, Slovakia, Spanyol, China, Kyrgistan, Laos, Perancis, Kamboja, India, Norwegia, Rumania, Turki dan Vietnam. Karena itu, intensi untuk ikut serta dalam TPP menunjukkan sikap yang bertentangan dengan perkembangan politik perdagangan dan investasi internasional Indonesia serta semangat kedaulatan dan kemandirian Negara Indonesia.
Dengan berbagai permasalahan tersebut, seharusnya intensi Presiden Joko Widodo untuk bergabung dengan TPP diurungkan. Hal ini sejalan dengan kepentingan Indonesia untuk mengevaluasi dan menata ulang bentuk-bentuk perjanjian internasional yang masih berlangsung. Evaluasi tersebut juga harus mencakup kepentingan perempuan yang dilanggar dengan berbagai perjanjian internasional yang ada secara langsung maupun tidak langsung, mulai dari hak-hak terkait sumber kehidupan seperti tanah, air dan pangan hingga hak-hak menyangkut partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. “Masyarakat, termasuk perempuan, telah dibatasi dan kehilangan hak-haknya atas sumber kehidupan akibat perjanjian-perjanjian Internasional yang dibangun,” ungkap Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan. Oleh karena itu, pemerintah harus meninjau ulang kembali seluruh perjanjian Internasional yang dibangun sebelum bergabung dalam TPP.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
arieska@solidaritasperempuan.org