Bangun Politik Luar Negeri yang Lebih Bermartabat dengan Mengedepankan Penegakan HAM Buruh Migran !
Pendahuluan
Berbagai kasus pelanggaran Hak Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Malaysia terus terjadi. Tak hanya kekerasan, penganiayaan, trafficking, BMI bahkan harus menghadapi kriminalisasi yang berujung pada hukuman mati di Negara tujuan. Data resmi pemerintah memperlihatkan Tahun 2009 secara kumulatif jumlah BMI di Asia sebanyak 3.011.788 orang dengan penempatan terbanyak di Malaysia yaitu 2.652.809 orang. Diperkirakan 60 persen BMI di Malaysia bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), buruh perkebunan dan buruh konstruksi.
Laporan berbagai pihak memang membuktikan bahwa BMI yang bekerja di Malaysia memang rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan trafficking. Selama 2010, Kementerian Luar Negeri mencatat terdapat 4.532 kasus kekerasan terhadap BMI dimana kasus terbanyak terjadi di Malaysia. Selain itu Data IOM memaparkan bahwa dari 3,942 korban trafficking yang dialami penduduk Indonesia, dimana 88 % nya adalah perempuan, 87.94 % terjadi di Malaysia. 53,33% dari korban merupakan PRT dan 16,52% nya adalah pekerja seks (IOM,2005-2011). BMI di Malaysia juga rentan penularan HIV dan AIDS. Selama 2010-2011 ditemukan 55 BMI yang HIV sepulangnya dari Malaysia. Akibat minimnya akses terhadap perawatan dan pengobatan pada mereka, saat ini hanya 1 (satu) orang yang masih hidup karena yang lainnya telah meninggal dunia (data Peduli Buruh Migran, 2010-2011). Dari catatan Kementerian Sosial RI, selama 2009 Pemerintah Indonesia memulangkan 31.510 buruh migran Indonesia yang dideportasi dari Malaysia. Penanganan pemerintah Malaysia terhadap BMI yang tidak berdokumen juga sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi.
Pertengahan April 2012, saat Indonesia baru ‘merayakan’ diratifikasinya Konvensi Migran 1990, Indonesia kembali dikejutkan oleh berita penembakan oleh polisi Malaysia terhadap 3 (tiga) orang BMI hingga meninggal dunia. Lebih jauh lagi, Herman (34), Abdul Kadir Jaelani (25), dan Mad Noon (28), diduga menjadi korban penjualan organ. Sebagaimana yang dikutip oleh berbagai media, di jasad ketiga korban terdapat jahitan, di dada bagian atas, dekat lengan kanan ke kiri, lurus melintang. Tak hanya itu, terdapat juga jahitan di dada hingga tengah perut di bawah pusar, yang menyambung jahitan dada atas. Sementara, kondisi mata korban terjahit.
Sikap Resisten dan Reaktif Pemerintah Malaysia
Solidaritas Perempuan (SP) prihatin, sejauh ini respon pemerintah Indonesia dan Malaysia terhadap berbagai kasus pelanggaran hak asasi BMI di Malaysia belum menyentuh akar permasalahan. Ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah kedua negara dalam membenahi sistem perlindungan buruh migran. Sebagai contoh, ketika Irene Fernandez (aktivis Tenaganita-Malaysia) melalui wawancara dengan The Jakarta Post menyatakan bahwa Malaysia belum mempunyai kerangka hukum perlindungan buruh migran, Pemerintah Malaysia secara reaktif menyangkal pernyataan tersebut. Padahal seharusnya mereka berkaca pada memprihatinkannya situasi pelanggaran hak-hak buruh migran yang ada di sana. Berbagai fakta yang dipaparkan oleh Tenaganita seharusnya menjadi bahan evaluasi dan refleksi bagi pemerintah Malaysia untuk kemudian lebih serius melindungi hak-hak buruh migran di sana termasuk buruh migran dari Indonesia.
Tak hanya itu, keengganan pemerintah Malaysia untuk menciptakan perlindungan buruh migran di negaranya, juga terlihat jelas dalam proses pembentukan Instrumen ASEAN mengenai Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran. Sebagai negara tujuan buruh migran, Malaysia kerap resisten terhadap sejumlah perlindungan dasar yang seharusnya tercantum dalam instrument ASEAN yang mengikat secara hukum dan bertujuan untuk melindungi hak-hak seluruh Buruh Migran.
Di sisi lain, sebagai negara asal BMI, Pemerintah Indonesia juga perlu berbenah diri dan lebih memperhatikan situasi ketidak adilah yang dialami oleh BMI yang bekerja di Malaysia. Sejumlah pelanggaran HAM yang dialami BMI di Malaysia seringkali disebabkan oleh sikap abai pemerintah Indonesia sendiri yang kurang responsif terhadap hak-hak BMI. Harus diakui bahwa lemahnya kebijakan Nasional dan sikap pemerintah yang masih setengah hati dalam melindungi BMI dan masih melihat BMI sebagai ‘komoditas’, berkontribusi terhadap perilaku buruk pemerintah Malaysia dan majikan di Malaysia terhadap BMI.
Tuntutan Solidaritas Perempuan
Solidaritas Perempuan (SP) menyerukan agar pemerintah Indonesia dan Malaysia mengedepankan perspektif HAM dalam mengelola sistem perlindungan buruh migrant. Ke dua negara harus melakukan langkah-langkah perlindungan hak buruh migran Indonesia di Malaysia serta anggota keluarganya. Untuk itu Solidaritas Perempuan (SP) mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk:
- Segera mengembangkan politik luar negeri yang lebih bermartabat, mengedepankan penegakan HAM Buruh Migran Indonesia, bukan politik luar negeri yang mementingkan kebutuhan pasar.
- Memaksimalkan instrumen Hak Asasi Manusia Internasional (DUHAM, ILO, dan CEDAW) yang sudah diratifikasi kedua negara dalam upaya diplomatik perlindungan Buruh Migran di Malaysia. Sebagai yang meratifikasi CEDAW (Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), kedua negara harus mengimplementasikan Konvensi tersebut untuk perlindungan buruh migran, khususnya Rekomendasi Umum CEDAW No 26 mengenai Buruh Migran Perempuan.
- Pemerintah Malaysia Segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 mengenai perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Konvensi ini menyediakan rangkaian aturan untuk menjadi standar perlindungan pekerja migran. Konvensi ini mengatur keseluruhan tahap migrasi persiapan untuk migrasi, pemberangkatan, transit dan seluruh masa tinggal dan pekerjaan yang dibayar di dalam negara tempat bekerja, dan juga kembalinya ke negara asal atau negara tempatnya bertempat tinggal. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tersebut, sebagai negara tujuan utama buruh migran di dunia, Malaysia harus segera meratifikasi Konvensi tersebut untuk membuktikan bahwa negara ini melindungi buruh migran dan mempunyai kerangka hukum perlindungan buruh migran di sana.
- Pemerintah Indonesia segera Revisi UU No 39 Tahun 2004 dengan mengacu pada Konvensi PBB tahun 1990 mengenai perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990) sebagai upaya menciptakan perlindungan buruh migran secara komprehensif dan berkeadilan gender.
- Membangun Bilateral Agreement mengenai perlindungan Buruh Migran Indonesia di Malaysia yang mememastikan perlindungan hak-hak Buruh Migran Indonesia.
- Memaksimalkan fungsi dan peran perwakilan Indonesia di Malaysia, termasuk menyediakan alokasi sumber dana dan sumberdaya manusia.
- Mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Instrumen ASEAN mengenai Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran
- Segera menyelesaikan dengan tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh BMI dan Buruh Migran Perempuan yang bekerja di Malaysia
Jakarta, 10 Mei 2012
(Wahidah Rustam)
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Kontak Person:
Thaufiek Zulbahary (08121934205),
Nisaa (085921191707)