Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera
Dipenjara dan terancam hukuman pancung tidak lantas meruntuhkan semangat Rosita dalam memperjuangkan keadilan. Setelah lebih dari tiga tahun, akhirnya perjuangannya tak sia-sia
Perempuan cantik berkerudung itu kini bisa bernafas lega. Penantiannya akhirnya terjawab melalui surat Kementerian Luar Negeri yang menyatakan hak gaji Rosita akan segera dipenuhi. “Kalau dapat (hak gajinya), akan buat sawah,” ungkapnya. Pasalnya, Rosita saat ini beraktivitas sebagai petani untuk memenuhi kebutuhannya.
Rosita Siti Saadah binti Muhtadin Jalil, Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Karawang, Jawa Barat harus menghadapi ancaman hukuman pancung di Uni Emirat Arab. Pada bulan April 2009 lalu, Ibu dari satu anak ini ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap rekan sesama BMP Pekerja Rumah Tangga (PRT) dari Indonesia. Selama di tahanan Rosita mengalami kesulitan dalam menghubungi pemerintah maupun keluarganya. Polisi melarangnya untuk berbicara atau membuat pernyataan dan menghubungi orang lain. Rosita bahkan mengalami penyiksaan dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dia lakukan. Dia dipukuli oleh polisi, dan tidak boleh tidur selama lima hari.
Rosita kemudian ditahan selama 20 bulan di penjara Fujairah. Selama satu tahun, Rosita harus menghadapi berbagai kekerasan, tanpa didampingi pihak pemerintah Republik Indonesia sama sekali. Bantuan pemerintah Indonesia saat itu belum juga datang, termasuk ketika Rosita harus menjalani sidang pertama hingga ketiganya dan mendapat ancaman hukuman pancung.
Perjalanan Memperjuangkan Hak
Pada akhir Mei 2010, keluarga Rosita datang ke Sekretariat Solidaritas Perempuan untuk bersama-sama memperjuangkan kebebasan Rosita. Sejak saat itu berbagai upaya telah dilakukan melalui koordinasi dan dialog intensif dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan melalui media. Berbagai upaya tersebut sedikit banyak membuahkan hasil, karena akhirnya Pemerintah memberikan perhatian pada kasus Rosita.
Setelah Rosita menjalani tiga kali sidang sendirian, dan setelah berbagai upaya yang dilakukan pihak keluarga di dalam negeri, pihak KBRI pun bergerak. Pada tanggal 11 Juni 2011, secara tiba-tiba Rosita dilepaskan dari tahanan. Polisi memberikannya tiket, dan mengantarkan ke bandara, tanpa melalui koordinasi dengan perwakilan pemerintah RI. Rosita dipulangkan sendirian tanpa pendampingan. Bahkan, pihak KBRI, maupun pemerintah Indonesia lainnya tidak mengetahui perihal kepulangan Rosita saat itu. Hal ini diketahui ketika Rosita bersama Solidaritas Perempuan dan Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK) menemui Kementerian Luar Negeri pada hari Selasa, 14 Juni 2011. Ketika dihubungi melalui telepon, ternyata Konsulat Jendral RI di Dubai, sebagai perwakilan pemerintah RI terdekat dari Fujariah, sama sekali tidak mengetahui kepulangan Rosita.
Kembali ke tanah air, bukan berarti perjuangan Rosita berhenti. Pasalnya, Rosita masih memiliki hak atas gaji selama 26 bulan Rosita berada di Uni Emirat Arab. Berbagai jalan pun ditempuh, antara lain melalui koordinasi dengan Kemlu dan media. Tak hanya itu, Rosita bertekad untuk membagikan pengalamannya kepada banyak orang. Dia tidak ingin kawan-kawannya sesama PRT migran mengalami hal yang serupa dengan dirinya. Selain berbicara di berbagai media, Rosita juga memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melalui sidang Citizen Law Suit (Gugatan Warga Negara) Pekerja Rumah Tangga, (CLS PRT) Kamis, (03/11). Rosita berharap pemerintah dapat menciptakan sistem perlindungan yang memadai bagi buruh migran. “Jangan ada lagi Buruh Migran yang mengalami nasib seperti saya,” pungkasnya.
Setelah menanti selama lebih dari tiga tahun, hak gaji Rosita akhirnya dipenuhi. Melalui surat tertanggal 3 Agustus 2012, Kemenerian Luar Negeri melalui Direktur Perlindungan WNI dan BHI menyatakan majikan Rosita telah membayar gaji Rosita, dan meminta Rosita untuk hadir ke Kementerian Luar Negeri.
Pembelajaran Berharga
Kisah Rosita memberikan kita pelajaran mengenai kegigihan seorang Buruh Migran Perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Rosita merupakan satu dari banyak wajah perempuan yang maju memperjuangkan dirinya sendiri dan orang lain. Dia terus berjuang meski jalan yang harus ditempuh panjang dan tidak mudah. Berkat perjuangan Rosita dan keluarganyalah akhirnya hak-hak Rosita dapat tercapai.
Meski demikian, keinginan Rosita tentunya belum sepenuhnya tercapai. Hingga saat ini perlindungan Buruh Migran yang komprehensif masih berupa cita-cita yang belum terwujud. Pasca ratifikasi Konvensi Migran 1990 pun tidak lantas menjadikan seluruh proses migrasi menjadi aman bagi Buruh Migran. Revisi UU No. 39 Tahun 2004 yang masih berproses di DPR diharapkan bisa menjadi salah satu pijakan dari upaya mewujudkan cita-cita perlindungan Buruh Migran tersebut.
Tak hanya itu, penting bagi Indonesia memberikan perlindungan yang intens untuk PRT. Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT seharusnya dapat menjadi dasar yang kuat bagi pengaturan perlindungan PRT, termasuk PRT migran. Karena itu, penting kiranya kita meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tersebut.
Jakarta, 16 Agustus 2012
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
CP:
Nisaa Yura: 085921191707
Ummy Habsyah: 085219393413