Siaran Pers Solidaritas Perempuan “Disidangkan Kembali, Akankah Eva Bande Mendapatkan Keadilan?”

eva banner1

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk segera disiarkan
Disidangkan Kembali, Akankah Eva Bande Mendapatkan Keadilan?

Jakarta, 3 September 2014. Pemerintahan Jokowi harus berani mengambil langkah progresif membebaskan tahanan dan terpidana korban kriminalisasi dalam kasus-kasus konflik agraria. Faktanya, kriminalisasi aktivis dan petani yang memperjuangkan hak atas sumber-sumber agraria dari penguasaan lahan untuk kepentingan bisnis terus memakan korban. Salah satunya adalah Eva Susanti Bande, aktivis Perempuan Pembela HAM yang selama ini memperjuangkan hak-hak petani Banggai, Sulawesi Tengah harus menjalani hukuman penjara selama 4 tahun di LAPAS Luwuk atas tuduhan tindak pidana yang tidak dilakukannya.

Eva dituduh melakukan tindak pidana Bersama-sama secara lisan atau dengan tulisan didepan umum menghasut untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 160 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 160 KUHP oleh banyak kalangan dianggap sebagai pasal karet yang lentur dan mudah ditafsirkan menurut selera penguasa, sehingga dapat mengancam hak-hak konstitusional setiap warga Negara, terutama kebebasan berbicara, berpendapat, berkumpul dan berserikat. Pasal ini juga telah beberapa kali diajukan pembatalannya melalui Mahkamah Konstitusi, karena dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan amanat konstitusi yang mengandung HAM. Eva dipidana dengan tuduhan menghasut petani Bangai untuk  melakukan pengrusakan terhadap properti perusahaan dalam aksi demonstrasi yang dilakukan petani melawan perampasan lahan oleh perusahaan. Sementara, kasus tindak pidana perkebunan yang dilakukan Murad Husein, pemilik dari PT Kurnia Luwuk Sejati yang selama ini berkonflik dengan petani Banggai, dibiarkan berlarut-larut sejak tahun 2009. Setelah 3 tahun berjalan, Kapolres Banggai  secara tiba-tiba  mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan terhadap Murad Husein pada tahun 2012 dengan alasan kurang bukti.

Apa yang dialami Eva disinyalir merupakan upaya pelemahan gerakan perlawanan atas perampasan lahan yang terus dialami petani Indonesia. Bersama Eva juga dikriminalisasi 23 petani Banggai yang telah berkonflik dengan perusahan kelapa sawit sejak awal tahun 90-an. “Saya menyakini bahwa Negara ini hanya sebagai arena unutk perebutan kuasa. Inilah yang kemudian berdampak pada pemenjaraan yang dilakukan aparatus Negara. Jadi pemenjaraan terhadap saya dan teman petani mnurut saya tadi soal buruknya apparatus Negara dalam menjalankan posisinya dan perannya”, tegas Eva Bande.  Selama Eva menjalani proses hukum mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga banding dan kasasi sejak 2010, gerakan Eva untuk memperjuangkan hak-hak petani jelas terhambat dan kehidupannya menjadi tidak produktif. “Aku masih kuat dan mampu bertahan hingga nyali terakhir. Bila nyali  terakhirpun masih harus diuji, aku siap hadapi.”, Ungkap Eva Bande dari dalam penjara.

Saat ini Eva tengah mengajukan proses peninjauan kembali atas kasusnya yang akan mulai disidangkan besok hari Kamis, 4 September 2014 di Pengadilan Negeri Luwuk, sebelum hasil pemeriksaannya dilimpahkan ke Mahkamah Agung untuk diputuskan. “Dalam menjalankan reformasi hukum dan mewujudkan keadilan, penting bagi hakim yang memeriksa dan memutus kasus ini dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi nyata dan fakta sosial yang dihadapi oleh para petani di dataran Toili dan melatarbelakangi kasus ini”, Ungkap Ruwaida, Ketua Solidaritas Perempuan Palu. “Hakim juga harus jeli melihat bahwa apa yang menjadi ekses dari peristiwa di masyarakat akibat aktivitas dan perilaku perusahaan  berada di luar tanggung jawab Eva”, Lanjutnya.

Terlepas dari upaya hukum yang dilakukan Eva melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh negara, menjadi keharusan bagi Pemerintah ke depan untuk menghentikan segala tindakan dan upaya kriminalisasi terhadap perjuangan dan pembelaan hak yang dilakukan aktivis dan petani. “Pemerintah ke depan harus menjadikan pembebasan tahanan dan terpidana dalam kasus-kasus konflik agraria sebagai agenda prioritas. Hal ini juga sejalan dengan  komitmen Jokowi – Jusuf Kalla yang tertuang dalam Visi, Misi dan program kerja untuk menjalankan reforma agraria yang adil dan menegakkan hukum dengan berbasis pada konstitusi Negara, yang berorientasi pada perlindungan HAM, tanpa keberpihakan terhadap kepentingan bisnis”, tegas Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

CP: Aliza (aliza@solidaritasperempuan.org)

Translate »