Siaran Pers Solidaritas Perempuan ” Kebijakan dan Proyek Iklim (REDD+) : Solusi atau Bencana Bagi Perempuan?”

Aktivitas Perempuan-proyek reddSiaran Pers
Untuk Segera Disiarkan
Kebijakan dan Proyek Iklim (REDD+) : Solusi atau Bencana Bagi Perempuan?

Pada 03-14 Juni 2013, telah berlangsung pertemuan Konferensi Peruabahan Iklim di Bonn, Jerman, yang juga dihadiri oleh delegasi Indonesia. Pertemuan tersebut salah satu agendanya adalah menentukan kerangka hukumperubahan iklim baru yang akan digunakan sebagai cara untuk menghadapi dampak buruk perubahan iklim.REDD merupakan salah satu cara yang dianggap dapat mengurangi dampak perubahan iklim dengan melindungi hutan.

Sejak COP 13 UNFCCC di Bali, tahun 2007, berbagai inisiatif dan proyek percontohan REDD mulai dikembangkan, mulai dari Aceh, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Lebih dari sekitar 44 proyek percontohan REDD+, dan 19 proyek diantaranya berada di Kalimantan Tengah, salah satunya proyek KFCP (Kalimantan Forest Climate Partnership). Proyek yang telah berjalan sejak 2010 dengan pendanaan dari Australia, tersebut telah berdampak pada pelanggaran hak masyarakat, khususnya perempuan, dalam pengelolaan kawasan hutan. Hutan sebagai sumber pangan, sumber mata pencaharian, apotik hidup, hingga memiliki nilai-nilai sosial dan budaya, mulai terpinggirkan. KFCP mulai melarang warga untuk mengambil hasil hutan, seperti membuat bendungan pada tabat. Tabat merupakan wilayah aliran sungai yang dipergunakan warga untuk dapat memasuki kawasan hutan. Pembuatan bendungan (tabat) pada aliran sungai jelas mengakibatkan masyarakat tidak dapat masuk ke hutan melalui sungai. Hak perempuan atas upah pembibitan dan penanaman juga di rampas. Kesepakatan awal setiap KK akan mendapatkan upah sebesar Rp.1.800/bibit, namun faktanya perempuan hanya menerima Rp.600,-/bibit. Fakta tersebut menunjukkan bahwa KFCP telah melanggar kesepakatannya dengan masyarakat desa. Bahkan kehadiran KFCP di Kalimantan Tengah telah mengakibatkan konflik horizontal dan perubahan pola masyarakat. Situasi tersebut terjadi, akibat sejak awal adanya proyek KFCP tersebut, masyarakat, khususnya perempuan, tidak mendapatkan informasi dengan jelas, serta tidak dilibatkan dalam konsultasi proyek KFCP. Masyarakat, khususnya perempuan di wilayah sekitar lokasi proyek KFCP merasa dirugikan dengan kehadiran proyek KFCP. Hak-hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan semakin termarginalkan, perempuan tidak dapat lagi mengambil bahan pangan, bahan baku untuk mengayam tikar, maupun menyadap karet.

Persoalan perempuan yang terjadi dilokasi proyek KFCP, kemungkinan juga terjadi dikawasan Aceh (Proyek Ulu Masen), dan kawasan Sulawesi Tengah (Wilayah Uji Coba FPIC/Padiatapa), karena saat ini perempuan tidak dianggap sebagai pemangku kepentingan, dan tidak ada langkah-langkah strategi pemerintah dalam memastikan keterlibatan perempuan secara penuh dalam proses proyek. Ini terbukti, dengan tidak dilibatkannya perempuan dalam konsultasi penyusunan kebijakan maupun proyek.

Pelibatan perempuan tidak hanya pada tahapan pelaksanaan proyek, tetapi keterlibatan perempuan juga sudah terlihat sejak pada pembahasan kebijakan, baik pada kebijakan SRAP/Strada REDD+, atau FPIC/Padiatapa. Namun faktanya, pelibatan perempuan baik di Aceh maupun Sulawesi Tengah, sangat minim , bahkan dibeberapa tempat tidak ada pelibatan.

Tidak adanya informasi, konsultasi, bahkan persetujuan dari masyarakat, khususnya perempuan, dikarenakan masih menguatnya budaya partiarkhi, sehingga perempuan masih dilihat sebagai kelompok nomor dua, bukan pemangku kepentingan. Akibatnya hak perempuan atas informasi, hak terlibat konsultasi, hak untuk mengatakan setuju atau tidak terhadap sebuah kebijakan/proyek, serta hak dalam pengelolaan sumber daya hutannya, akan hilang dan dirampas, dan menambah daftar bencana di Indonesia. Padahal kehidupan perempuan di 3 wilayah tersebut, sangat dekat dengan hutannya, perempuan memiliki pengalaman dan pengetahuan lokal untuk pengelolaan hutannya. Hal ini terungkap pada temuan pemantauan perempuan akar rumput, bersama SP Aceh, SP Palu, dan mitra Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak (eLSPA) Kalimantan Tengah melalui berbagai pertemuan, wawancara, dan diskusi.

Oleh karena itu, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah untuk memastikan adanya analisis sosial, politik, ekonomi, dan gender sebelum menetapkan suatu wilayah menjadi proyek REDD, serta mengakomodir pengalaman & pengetahuan dalam penyusunan kebijakan REDD. Pemerintah juga harus memastikan terjaminnya hak atas informasi, hak atas terlibat dalam konsultasi, dan hak atas persetujuan bagi perempuan, dan mengadopsi standar perlindungan perempuan dalam setiap kebijakan dan proyek iklim, khususnya REDD+, baik di tingkat nasional maupun lokal/daerah. Khusus, untuk Kalimantan Tengah, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan yang dialami perempuan di wilayah proyek KFCP, sehingga hak perempuan tidak terabaikan.

Jakarta, 18 Juni 2013

Kontak Person :
Aliza Yuliana email : aliza@solidaritasperempuan.org )
Nisa Anisa email : anisa@solidaritasperempuan.org )

Translate »