War asal Karawang dan Sum asal Sumbawa, merupakan dua perempuan buruh migran yang pernah mendapatkan ancamanhukuman mati dari pemerintah Arab Saudi pada 2011. Mereka dikriminalisasi dengan tuduhan sihir yang menyebabkan anak majikan jatuh sakit. Faktanya, War dan Sum dipaksa mengaku dengan pisau di lehernya dan pistol yang mengarah ke kepalanya hingga dijebloskan ke penjara oleh majikan.Penderitaan mereka berlanjut hingga proses pemeriksaan di kepolisian di mana keduanya mengalami penyiksaan dan dipaksa untuk mengaku. War dan Sum disetrika, tubuh mereka ditanam di gurun pasir hingga batas leher lalu mereka ditempatkan dalam ruangan sempit dengan kaki dirantai.
Atas desakan Solidaritas Perempuan (SP) dan Keluarga Sum dan War melalui Kementerian Luar Negeri dan Satgas Hukuman Mati TKI, pada 20 Desember 2011, akhirnya War dan Sum terlepasdari hukuman mati. Namun mereka tetap harus menghadapi hukuman berupa 10 tahun penjara dengan hukum cambuk sebanyak 1000 kali. Hingga hari ini SP masih terus mendesak pemerintah untuk berupaya agar War dan Sum mendapat pengurangan masa hukuman dan segera dipulangkan mengingat tuduhan yang dikenakan tidak terbukti selama proses persidangan.
Lain lagi yang dialami oleh Bapak Amin asal Karawang. kematian adiknya,Nan(28 thn), yang dibunuh oleh majikannya pada 2010tidak berujung pada keadilan bagi korban dan keluarganya. Setelah hampir 5 tahun keluarga menuntut keadilan melalui proses persidangan di Arab Saudi, majikan yang membunuh Nan justru lepas dari hukuman. Berdasarkan informasi dari Kemenlu Desember 2015 lalu, Mahkamah Arab Saudi telah memutus bebas pelaku karena terbukti memiliki penyakit kejiwaan ataugila. Dengan demikian majikan yang merupakan pelaku pembunuhan ini terbebas pula dari kewajiban pembayaran uang diyat[1]yang menjadi salah satu tuntutan keluarga Almh. Nan. Sangat disayangkan, pemerintah Indonesia melalui Kemenlu dan perwakilannya seakan tidak cepat tanggap untuk mengambil langkah banding atas putusan tersebut demi memperjuangkan hak-hak warga negaranya yang harus kehilangan nyawa ketika bekerja.“Kami sekeluarga mencoba untuk merelakan kepergian Nani. Namun apa yang kami lakukan saat ini hanyalah menuntut keadilan untuk almarhumah,” ungkap Amin.
Perbuatan sewenang-wenang majikan juga dialami Roh (39 thn) asal Karawang yang bekerja selama 2 tahun 3 bulan di rumah majikan di Arab Saudi. Pada 2010, Roh pulang dengan banyak bekas luka dan memar disekujur tubuhnya. Lebih menyedihkan lagi, akibat penyiksaan itu Roh harus kehilangan penglihatannya hingga sekarang. Selain itu sisa gaji Roh juga tidak dibayar selama 14 bulan. SP telah mendampingi kasus Roh selama lebih dari 5 tahun untuk menuntut haknya berupa asuransi dan sisa gaji. Namun pemerintah, dalam hal ini BNP2TKI dan Kemnaker seolah melempar tanggungjawab kepada PPTKIS yang terbukti lari dan tidak bisa dilacak keberadaannya hingga hari ini.
Ketiga kasus diatas hanyalah segelintir cerita dari penderitaan yang dialami perempuan buruh migran dan keluarganya. Nyatanya, hingga saat ini perempuan buruh migran terus mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang berlapis. Banyaknya kasus yang muncul membuktikan bahwa pemerintah masihabai dan belum serius menempatkan perlindungan Perempuan Buruh Migran sebagai prioritas utama yang harus dilakukan. “Indonesia seringkali tidak mampu membela warga negaranya yang dikriminalisasi atau menghadapi ancaman hukuman mati. Sebaliknya ketika warga Negara Indonesia yang mengalami kekerasan bahkan hingga kematian, pemerintah tidak berdaya untuk menuntut keadilan,” ujar Koordinator Program SP, Nisaa Yura.
Karenanya, Solidaritas Perempuan bersama perempuan buruh migran dan keluarganya terus mendesak pemerintahuntuk segera melakukan langkah-langkah konkret penyelesaian kasus sebagai salah satu wujud perlindungan menyeluruh bagi perempuan buruh migran. Pemerintah harus menjamin dan memfasilitasi kebutuhan korban dan keluarga korban untuk terpenuhinya hak-hak yang terlanggar serta keadilan bagi perempuan buruh migran dan keluarganya.
Perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya juga harus diwujudkan melalui kebijakan dan peraturan hukum yang berorientasi pada perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya selama proses migrasi sejak pra-pemberangkatan, di tempat kerja, hingga kepulangan.Peraturan hukum harus mengadopsi penuh standar perlindungan hak asasi perempuan buruh migran dan keluarganya yang dimandatkan dalam instrument HAM Internasional termasuk Konvensi Migran 90, CEDAW dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.“Kelemahan terbesar Negara dalam perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya adalah buruknya sistem hukum dan kebijakan terkait buruh migran di Indonesia. Karenanya, Negara harus mewujudkan tanggung jawabnya dengan mewujudkan Kebijakan perlindungan yang komprehensif bagi perempuan buruh migran dan keluarganya,” pungkas Nisaa.
Jakarta, 17 Maret 2016
Narahubung:
Risca Dwi (081219436262)