Siaran Pers ”Solidaritas Perempuan Menyerukan: Perempuan Berdaulat, Bebas Dari Penindasan”

Siaran Pers  Solidaritas Perempuan “Hari Perempuan Internasional”
Untuk disiarkan segera

aksi IWDPerempuan masih menghadapi berbagai bentuk penindasan yang diakibatkan oleh Budaya maupun Pola Pembangunan Patriarki yang dilegitimasi di dalam Kebijakan Negara.
Hari Perempuan Internasional diperingati setiap 8 Maret  di seluruh dunia sebagai peringatan perjuangan  perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi, penindasan dan ketidakadilan di berbagai bidang.  Solidaritas Perempuan sebagai organisasi yang selama ini konsisten dalam membangun, memperluas dan memperkuat gerakan perempuan, tentunya turut memperingati Hari Perempuan Internasional sebagai peringatan terhadap perjuangan yang masih terus dilakukan. Pada Hari Perempuan Internasional tahun ini, Solidaritas perempuan mengusung tema “Perempuan Berdaulat, Bebas Dari Penindasan

Fakta dan kondisi hari ini menunjukan bahwa perempuan dan kelompok marginal masih mengalami penindasan di berbagai aspek kehidupan. Sistem sosial yang partiarki telah mengontrol tubuh, pikiran, dan hasil kerja perempuan, sehingga perempuan dipinggirkan dan terpinggirkan dari berbagai sistem termasuk dalam pengambilan keputusan. Sistem penindasan perempuan, baik yang dilakukan sosial maupun negara, telah menjadikan perempuan kehilangan kedaulatannya,  untuk menentukan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. Lemahnya sistem Negara juga turut mendukung perempuan menjadi kelompok yang rentan  terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak terhadap perempuan.

Situasi di atas berdampak pada penindasan berlapis terhadap kedaulatan perempuan, mulai di dalam keluarga, masyarakat, tempat kerja dan bahkan Negara.  Penindasan Negara melalui berbagai kebijkan yang menyasar tubuh perempuan, telah memposisikan perempuan sebagai objek yang diatur oleh Negara, di antaranya melalui berbagai kebijakan diskriminatif yang mengontrol tubuh dan pikitan perempuan.  Tercatat per Oktober 2015 terdapat 389 kebijakan diskriminatif di Indonesia.[1] Angka ini terus bertambah dari tahun-tahun sebelumnya. Angka kebijakan diskriminatif yang terus meningkat dari tahun ke tahun adalah bukti Negara menjadi aktor atas penindasan perempuan. Kebijakan diskriminatif juga semakin merampas hak perempuan atas rasa aman baik di ruang domestik maupun publik, terlihat dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak disertai dengan hukuman yang adil dan berdampak pada efek jera terhadap pelaku kekerasan seksualitas terhadap perempuan.

Penindasan perempuan semakin diperkuat dengan arah arah kebijakan dan pembangunan Negara yang memfasilitasi kepentingan ekonomi global yang saat ini dikooptasi oleh kepentingan Negara-negara maju, lembaga keuangan internasional dan perusahaan multinasional/transnasional. Posisi pemerintah di dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas justru mendukung kepentingan Negara maju dan semakin meminggirkan rakyat. Masifnya pembangunan infrastruktur berbanding lurus dengan menguatnya pemiskinan dan penindasan masyarakat terutama perempuan. Berbagai kebijakan negara  mendorong massifnya alih fungsi lahan untuk kepentingan industri seperti perkebunan sawit skala besar, pertambangan, pembangunan infrastruktur maupun reklamasi pantai, membuat masyarakat, khususnya perempuan digusur dan kehilangan sumber-sumber kehidupanya.  “Di dalam berbagai konflik lahan yang terjadi, perempuan menjadi korban yang menalami penindasan berlapis, termasuk intimidasi, dan ancaman kekerasan, bahkan kriminilisasi,” ungkap Ketua Badan Eksekutif Nasional SP, Puspa Dewy.

Hilangnya  sumber kehidupan perempuan juga mendorong perempuan untuk mencari alternative pekerjaan guna memenuhi keebutuhan hidup. Mereka bermigrasi ke kota-kota besar hingga ke luar negeri, demi menghidupi dirinya dan keluarganya. Konstruksi gender yang melekatkan peran domestik sebagai peran perempuan mendorong perempuan mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga, yang merupakan sektor yang paling rentan tehadap kekerasan dan pelanggaran hak. Hal ini diperparah  dengan kebijakan negara yang mengkomoditisasi buruh migran, dan sangat minim perlindungan. Alih-alih melindungi warganya, kebijakan Negara tersebut justru sibuk mengatur aspek ‘tata niaga,’ buruh migran dengan menyerahkan peran-peran signifikan dalam proses migrasi kepada pihak swasta, tanpa adanya mekanisme monitoring yang memadai.

Berdasarkan catatan penanganan kasus SP dalam 4 tahun terakhir, jenis kasus yang paling sering dialami oleh perempuan buruh migran pada pra-keberangkatan seperti dijerat utang, diberikan informasi yang salah/sesat oleh sponsor atau perekrut, penyekapan, pemalsuan identitas, tidak diberikan pelatihan hingga medical check-up yang diskriminatif. Jenis kasus pada masa kerja adalah gaji tidak dibayar, bekerja melebihi masa kontrak, kecelakaan kerja, hilang kontak, penganiayaan, pelecehan seksual, depresi, hingga kematian. Hingga kasus pada pasca kepulangan seperti pemerasan, penipuan, penculikan, dll.

“Lemahnya aspek perlindungan buruh migran telah menciptakan berbagai permasalahan dan penindasan terhadap Perempuan buruh migran. Mereka mengalami kekerasan bukan hanya karena mereka perempuan yang hidup di dalam budaya patriarki, tetapi juga karena lemahnya sistem perlindungan Negara,” ujar Puspa Dewy

Berdasarkan situasi diatas dapat dilihat bahwa perempuan mengalami penindasan yang tidak hanya diakibatkan oleh budaya patriarki, tetapi juga dilakukan oleh Negara. Negara yang memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak-hak warganya, hari ini justru menjadi aktor penindasan perempuan melalui kebijakan-kebijakannya. Karenanya, momentum Hari Perempuan Internasional merupakan momentum untuk bagi perempuan untuk bergerak melawan penindasan. Solidaritas perempuan bersama  komunitas Solidaritas Perempuan di 11 wilayah hari ini melakukan aksi turun ke jalan untuk menyerukan perempuan berdaulat bebas dari penindasan. “Melalui aksi ini, kami mengajak masyarakat terutama perempuan  untuk berjuang dan keluar dari penindasan, serta bersama-sama menuntut  negara untuk  menjamin terpenuhinya hak-hak dan kedaulatan perempuan” tegas Puspa Dewy

Jakarta 8 Maret 2016

Solidaritas perempuan
SP Anging Mamiri Makassar (Sulawesi Selatan), SP Bungoeng Jeumpa (Banda Aceh), SP Jabotabek (Jakarta), SP Kendari (Sulawesi Tenggara), SP Kinasih (Yogyakarta), SP Palembang (Sumatra Selatan), SP Palu, SP Poso (Sulawesi Tengah), SP Mataram (Nusa Tenggara Barat), SP Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), SP Sebay Lampung

 

Narahubung
Nisaa Yura: 081380709637


[1] Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2015 “Kekerasan Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku

Translate »