Mahkamah Konstitusi tidak tegas memutuskan perlindungan hak masyarakat, terutama hak perempuan
Refleksi atas putusan Judicial Review UU No.4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan batubara
(Jakarta, 6 Juni 2012). Sehari sebelum Hari Lingkungan Hidup (5 Juni 2012), Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan putusan atas uji materi UU No.4 Tahun 2009 TentangMinerba yang diajukan oleh WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat yang ruang hidupnya terancam oleh pertambangan. Hasil putusan yang telah tertunda setahun lebih sangat mengecewakan bagi para pemohon, termasuk masyarakat terkena dampak pertambangan. Solidaritas Perempuan menganggap MK tidak tegas dalam memutuskan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak sosial ekonomi masyarakat terkena dampak, khususnya terkait hak atas tempat tinggal, hak atas tanah, hak atas pemanfaatan sumber daya alam dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Termasuk, dalam memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi perempuan, yang selama ini masih berada dalam posisi rentan pada konstruksi sosial mayoritas masyarakat Indonesia.
Permohonan uji materi yang diajukan pada intinya mempersoalkan konstitusionalitas penetapan Wilayah Pertambangan yang dilakukan dan melibatkan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, tanpa melibatkan masyarakat. Selain itu, juga mempermasalahkan pasal yang mengatakan masyarakat dapat dikenai sanksi pidana karena dianggap melakukan tindakan merintangi atau menganggu pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang telah memperoleh IUP dan/atau IUPK atau yang dianggap sebagai pasal kriminalisasi bagi masyarakat yang menolak pertambangan di wilayah mereka.
Permohonan uji materi pasal kriminalisasi tersebut ditolak oleh MK dengan alasan bahwa penetapan wilayah pertambangan seharusnya sudah melalui prosedur koordinasi dengan pemda, konsultasi dengan DRPD, dan menyertakan pendapat masyarakat, sehingga tidak akan mengekang dan membatasi kebebasan masyarakat. Namun, tidak ada penjelasan atau definisi mengenai tindakan merintangi atau mengganggu. MK hanya mengabulkan Permohonan uji materi terkait pasal 10 huruf b, itu pun secara bersyarat, yang pada intinya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sepanjang frase “memperhatikan pendapat masyarakat” dalam penetapan wilayah pertambangan, tidak dimaknai dengan wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.
Dalam pertimbangannya disebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban untuk menyertakan pendapat masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan dalam wilayah pertambangan dan pendapat masyarakat yang akan terkena dampak. Adapun wujud dari pelaksanaan kewajiban menyertakan pendapat masyarakat harus dibuktikan secara konkret yang difasilitasi oleh Pemerintah. Sedangkan, mekanisme lebih lanjut mengenai kewajiban menyertakan pendapat masyarakat tersebut,siapa saja termasuk dalam kelompok masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan serta masyarakat yang akan terkena dampak, sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah untuk mengaturnya, dengan mengacu pada pertimbangan MK, dan tanpa persetujuan dari masyarakat terkena dampak. Sedangkan, mekanisme penyertaan pendapat yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah hanyalah berupa sosialisasi tanpa memberikan informasi yang lengkap dalam waktu yang cukup untuk mempertimbangkan sebelum dilaksanakannya proses sosialisasi. Selain itu, ruang yang tersedia untuk masyarakat terkena dampak dalam memberikan pendapatnya pun biasanya sangat terbatas. Bahkan tidak adanya kewajiban bagi pemerintah untuk meminta persetujuan secara tertulis dari masyarakat, laki-laki dan perempuan, dapat berdampak pada semakin terbatasnya akses dan perempuan untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan terkait sumber-sumber kehidupannya, termasuk dalam memastikan dirinya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Bagi perempuan, putusan ini akan semakin meminggirkan hak politik perempuan dalam pengambilan keputusan, yang dalam konstruksi sosial mayoritas yang berlaku dalam masyarakat Indonesia selalu menempatkannya perempuan sebagai obyek penerima keputusan. Akses mendapatkan informasi, termasuk undangan sosialisasi, keterlibatan dan berpartisipasi dalam ruang publik, masih sangat terbatas dan minim” Ujar Wahidah Rustam- Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
Padahal perempuan juga berhak menentukan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan sebagai sumber kehidupannya. Kegiatan pertambangan yang memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap konstruksi ekologis, ketersediaan air, serta menimbulkan pencemaran lingkungan; membuat perempuan – yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan lingkungan, untuk kebutuhan dirinya, keluarga, maupun komunitasnya – semakin rentan dan mendapatkan dampak langsung atas pengrusakan lingkungan tersebut, baik dalam hal kesehatannya, sumber mata pencaharian perempuan, yang meningkatkan beban perempuan, dan secara sistemik semakin memperkuat penindasan dan ketidakadilan, yang berujung pada pemiskinan perempuan.
“Solidaritas Perempuan melihat bahwa substansi dari UU Pertambangan mineral dan batu bara ini ditambah dengan ketidaktegasan MK dalam memutuskan perlindungan hak masyarakat, terutama hak perempuan semakin jauh dari semangat Pembangunan Berkelanjutan yang saat ini sedang disuarakan oleh Pemerintah Indonesia dalam KTT Bumi (Rio+20)” Lanjut Wahidah Rustam.
Kontak Person: aliza@solidaritasperempuan.org