Siaran Pers Solidaritas Perempuan Palu 30 Hari Pasca Bencana di Sulteng

Palu, 29 Oktober 2018. Dalam merespon bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi, Solidaritas Perempuan Palu setelah berhasil memulihkan kondisi kantornya, turut mendirikan Posko Solidaritas untuk Sulteng, dengan memfokuskan perhatiannya terhadap situasi dan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya yang menjadi korban bencana di Palu, Donggala dan Sigi. Posko ini mulai didirikan sejak 5 Oktober 2018 dan telah melakukan berbagai aktivitas, antara lain melakukan penggalangan dana publik, bekerja sama dengan SP Anging Mammiri melalui Posko Relawan Sulsel dan Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan, serta Posko Sul Teng bergerak, dan Posko KNPA untuk Sul-Teng. Dalam hal ini Posko Solidaritas untuk Sul-Teng melakukan assessment, termasuk rapid gender assessment, pengadaan dan pendistribusian logistik serta perekrutan dan pengelolaan relawan untuk Posko. Dari berbagai aktivitas tersebut, Posko Solidaritas untuk Sulteng telah melakukan assessment dan pendistribusian logistik ke 94 titik pengungsian yang mencakup 47 Kelurahan di Kota Palu,  33 desa di Kabupaten Sigi dan 14 Kelurahan/desa di Kabupaten Donggala, dan  menyentuh Penerima Manfaat 6040 terbagi dari penerima manfaat laki-laki 1160, Perempuan dewasa 1432, Ibu Hamil 69, Ibu Menyusui 10, Bayi Laki-laki 33, Bayi Perempuan 52, Balita Laki-laki 438, Balita Perempuan 388, anak laki-laki 351, anak perempuan 424, Lansia Laki-laki 144, Lansia Perempuan 142, Kelompok berkebutuhan Khusus Laki-laki 5 dan perempuan 5.

Dari perjalanan Solidaritas Perempuan Palu dalam upaya merespon situasi bencana ini, Solidaritas Perempuan Palu memandang, respon Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah belum menjawab kebutuhan dan kepentingan perempuan serta kelompok rentan lainnya yang menjadi korban dari bencana. Setelah satu bulan paska bencana, pelayanan pemenuhan kebutuhan kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya belum maksimal, karena dalam proses tanggap daruratnya masih melihat secara general, baik dilihat dari sisi shelter maupun sanitasi. Tidak ada prioritas penyediaan pelayanan kebutuhan air bersih dan MCK yang memadai di titik pengungsian yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman, khususnya bagi perempuan. Di sisi lain, pengelolaan pengungsian yang biasanya dikoordinir oleh laki-laki, tanpa melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan juga berdampak pada tidak terpenuhinya kepentingan dan kebutuhan khusus perempuan.

Seperti yang terjadi di Kelurahan Kayu Malue Ngapa, Dusun Tebeo, Kota Palu, yang mengalami dampak dari gempa bumi dan tsunami, di mana 80 % rumah mengalami kerusakan berat, sehingga berdampak pada hilangnya tempat tinggal yang aman dan nyaman, kehilangan anggota keluarga, kehilangan lapangan pekerjaan, kehilangan sumber ekonominya, dan tidak sedikit yang mengalami trauma. Namun, layanan yang tersedia di titik pengungsian tidak memadai, baik dari sisi shelter maupun sanitasi. Situasi perempuan dalam memenuhi kebutuhan sanitasi mengalami kesulitan, sumber air untuk memasak, memandikan anak, mencuci jarak tempuh satu KM, dengan berjalan kaki, serta menggunakan alat yang sederhana yaitu ember, ini menjadi rutinitas perempuan setiap hari dalam satu hari. Ketersediaan untuk MCK masih menggunakan satu tempat, yang jaraknya cukup jauh dari tenda pengungsian dan ketersediaan air bersih terbatas sekali, sehingga beresiko terhadap kesehatan reproduksi perempuan, khususnya perempuan yang sedang menstruasi. Sedangkan, dari sisi shelter, tenda pengungsian yang diisi 2 KK atau lebih juga tidak memberikan ruang aman dan nyaman bagi perempuan.

Di sisi lain, atas situasi bencana yang mengakibatkan hilangnya tempat tinggal dan sumber mata pencaharian, perempuan yang kemudian mengalami dampak berlapis, harus berpikir dan bekerja lebih keras dalam memastikan kebutuhan air dan pangan keluarga tercukupi dengan tetap mengerjakan peran domestik yang dilekatkan pada perempuan, termasuk merawat keluarga dan menghadapi trauma anak-anaknya. Ditambah lagi, media yang banyak menampilkan pemberitaan Video dan foto –foto tempat –tempat yang hanya tinggal puing-puing, dan berbagai macam bentuk korban, justru menambah ketakutan dan kecemasan di tingkat korban, tanpa ada upaya perlindungan dari Pemerintah untuk mengatasi teror yang terbangun.

Berdasarkan hal tersebut, Solidaritas Perempuan Palu mendesak Pemerintah mengeluarkan kebijakan transisi menuju recovery pasca bencana yang inklusif, sensitif dan responsif gender serta melakukan analisis gender dan pemilahan data berbasis gender dalam merespon bencana yang terjadi di Palu, Donggala dan Sigi, baik untuk perencanaan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, dan memastikan terpenuhinya akses perempuan atas informasi serta memastikan keterwakilan dan keterlibatan penuh perempuan dalam proses pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan khusus perempuan.

Selain itu, dalam menentukan lokasi hunian sementara maupun wilayah relokasi, penting untuk memastikan tingkat kerentanan dan resiko bencana di wilayah tersebut berdasarkan hasil kajian menyeluruh, dengan melibatkan ahli-ahli yang kompeten di bidangnya, termasuk ahli gender, demi menjamin mitigasi dan penanggulangan bencana yang responsif gender. Adapun penetapan lokasi hunian sementara dan wilayah relokasi tetap harus memastikan proses pembebasan lahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan prinsip free prior informed consent, untuk menghindari potensi konflik ke depannya. Kebutuhan atas tanah untuk relokasi menjadi momentum bagi Pemerintah untuk melakukan review perizinan usaha yang melanggar hukum, HAM dan merusak lingkungan, serta merevisi tata ruang dan melakukan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang menyeluruh di Propinsi Sulawesi Tengah dalam skema Reforma Agraria yang berkeadilan gender.

 

Kontak Person:

Juli (Solidaritas Perempuan Palu) 0822-9612-7311

Arthaty (Solidaritas Perempuan Palu) 0852-4059-3225

Translate »