Untuk Disiarkan Segera
Pembiaran Perda Diskriminatif, Bentuk Pelanggaran Hukum Pemerintah”
Upaya telah dilakukan perempuan untuk mendorong pemerintah meninjau kembali dan membatalkan sejumlah Kebijakan Daerah yang mendiskriminasi perempuan. Sayangnya, hanya satu Perda Diskriminatif yang dibatalkan Kemdagri.[1]
Selasa, 21 Juni lalu, Kementerian Dalam Negeri mempublikasikan 3.143 Peraturan Daerah Peraturan Kepala Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang telah dibatalkan[2]. Daftar tersebut memupuskan harapan Perempuan yang terdiskriminasi akibat ratusan Kebijakan Daerah yang menyasar tubuh, ekspresi dan ruang gerak perempuan. Pasalnya, hanya satu dari Kebijakan yang dibatalkan merupakan Perda Diskriminatif terhadap Perempuan.
“Padahal, hingga tahun 2015 tercatat sebanyak 389 perda diskriminatif yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia[3],” ungkap Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy. “Namun ternyata pemerintah lebih memperhatikan kepentingan para investor dari pada hak dasar perempuan untuk tidak didiskriminasi dan dilindungi dari kekerasan,” lanjutnya.
Fakta menunjukkan, Hasil investigasi Solidaritas Perempuan bersama perempuan akar rumput di aceh dan Makassar, menemukan bahwa keberadaan beberapa Peraturan yang menyasar tubuh, ekspresi dan ruang gerak perempuan turut berkontribusi pada menguatnya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Qanun Jinayat, di Aceh misalnya, secara proses, substansi maupun implementasi jelas mendiskriminasi perempuan[4], dengan menjadikan perempuan sebagai objek. Melalui Qanun Jinayat perempuan dikekang kebebasannya, bahkan rentan dikriminalisasikan.
Qanun Jinayat secara substansi, telah melanggar 10 peraturan perundang-undangan[5], dan tedapat 4 pasal diskriminatif. Salah satunya pasal terkait dengan perkosaan[6], dimana korban perkosaan justru dibebankan dengan menyediakan alat bukti. Terlebih, korban perkosaan juga mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan sulitnya penyediaan alat bukti dan saksi.. sementara pelaku perkosaan dapat terbebas dari hukuman hanya dengan sumpah. Ini akan berpotensi mereviktimisasi korban perkosaan.
Tak hanya Aceh, Makassar juga memiliki Peraturan Desa No. 5 tahun 2006 tentang Hukum Cambuk di desa Padang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pada pasal I misalnya definisi zina yang digunakan menafikkan perkosaan mapun kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Sehingga, Korban kekerasan seksual dapat terkena hukuman cambuk..[7] Pada implementasinya, perempuanlah yang kerap menjadi korban dan dihukum cambuk karena dalam konstruksi sosial yang patriarki, perempuan tidak punya kuasa atas tubuh dan ruang geraknya.
kedua Perda tersebut juga secara nyata melanggar berbagai Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, baik secara substansi maupun proses pembentukannya. Peraturan Perundang-undangan yang dilanggar antara lain Konstitusi, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, serta UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta perubahannya UU No. 35 Tahun 2014.
Solidaritas Perempuan bersama perempuan akar rumput telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pemerintah meninjau kembali dan membatalkan berbagai kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, dan melanggar ketentuan perundang-undangan di atasnya. Mulai dari dialog dengan pemerintah (Kemdagri, Kemkumham, KPPPA, Kementerian Agama) hingga Judicial Review ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Bahkan di dalam dialog, Kementerian Dalam Negeri menyatakan komitmennya untuk menangani bahkan membatalkan Perda diskriminatif. “Jika ada Perda yang bermasalah katakan pada kami, maka kami akan cabut!”, tegas Bapak Widodo Sigit Pujianto, SH. MH selaku Kepala Biro Hukum dan Kementerian Dalam Negeri.,
Pemerintah Indonesia bahkan tidak mengindahkan rekomendasi komite CEDAW pada tahun 2011 untuk ‘mengamandemen semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif yang diterbitkan di tingkat Provinsi termasuk di Provinsi Aceh dan Kabupaten-kabupaten tertentu yang membatasi hak-hak perempuan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari termasuk kehidupan sosial dan politik.’[8]
“Alih-alih menjalankan Rekomendasi CEDAW, pemerintah justru terus melakukan pelanggaran hak perempuan dengan membiarkan kebijakan-kebijakan yang diskrimintif dan memperkuat kekerasan terhadap perempuan,” pungkas Puspa.
Dibatalkannya 3.143 Perda, Perkada, dan Permendagri menunjukkan bahwa Pembatalan Perda dapat segera dilakukan atas kewenangan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. “Jika Jokowi dan jajarannya konsisten dengan janji nawacita untuk perlindungan perempuan, sudah seharusnya kewenangan ini digunakan untuk mencabut dan membatalkan Perda Diskriminatif yang jelas-jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia, terutama hak perempuan,” ujar Puspa.
Jakarta, 23 Juni 2016
Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Narahubung:
Nisaa Yura: 081380709637
Donna Swita: